Kamis, 07 Juni 2012

3600 Detik versi Alvia part 3

SIVIA menatap rumahnya dengan perasaan hampa. Sebesar apa pun rumahnya, tidak ada kehangatan di dalamnya. Walaupun banyak pembantu yang berada di rumahnya untuk memasak, memotong rumput, membersihkan rumah, Sivia tetap merasa kesepian. Bahkan ketika mamanya ada juga, dia tetap merasa kesepian. Sivia tahu banyak orang yang ingin bertukar tempat dengannya untuk menjalani kehidupan mewah seperti itu, tetapi Sivia malah tidak menginginkannya sama sekali.
Setelah meletakkan tasnya di kamarnya, Sivia bersiap-siap berganti pakaian untuk pergi ke sebuah kelab. Ketika melihat uang di dompetnya habis, dia menuju kamar mamanya. Satu-satunya saat dia melihat kamar mamanya adalah saat dia membutuhkan uang. Sivia membuka lemari dan laci-lacinya. Dia tidak menemukan apa yang dicarinya di sana.
Lalu dia melangkah ke atas meja rias mamanya. Sivia menarik lacinya. Tidak ada uang, tetapi ada kartu kredit dan jam tangan emas mamanya. Sivia tersenyum. Diambilnya kartu kredit tersebut dan dikenakannya jam tangan emas itu di tangannya. Apa yang akan dipikirkan mamanya kalau dalam satu hari dia menghabiskan limit kartu kredit itu. Ketika Sivia hendak menutup laci itu lagi, pandangannya jatuh pada selembar undangan yang ada di sana, yang baru ia perhatikan keberadaannya.
Karena penasaran Sivia mengambilnya dan membuka isinya. Rasa terkejut menerjangnya hingga ia terduduk di kursi rias. Dia tidak memercayai isi undangan itu. Sivia menarik napas pendek-pendek untuk menahan amarahnya. Dia meremas tangannya lalu memorak-porandakan seluruh barang yang ada di meja rias mamanya. Dan berteriak keras.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Sivia melihat dengan kesal. Papanya menelepon lagi. Dia langsung memutuskan hubungan telepon itu. Setelah tiga kali mencoba menghubungi Sivia dan terus ditolak, papa Sivia akhirnya memutuskan untuk mengirim SMS.
Hubungi Papa. Papa ingin berbicara denganmu.
Sivia membacanya lalu langsung menghapus pesan itu. Setelah itu ia mematikan HP-nya. Sivia benar-benar sebal pada papanya. Dengan perasaan marah, ia berjalan ke ruang tamu dan duduk di sana sampai mamanya pulang.
Ketika Ginapulang dari kantor sore harinya, ia mendapati Sivia duduk dengan tenang di ruang tamu. Ia terkejut karena Sivia menungguinya.
“Ada apa?” Gina meletakkan tas kerja dan kunci pintu rumah di meja lalu berjalan ke arah putrinya.
Sivia melemparkan undangan yang ditemuinya siang tadi ke meja. Ia melihat undangan tersebut dan wajahnya langsung memucat.
“Apa ini?” tanya Sivia dingin.
“Sivia….,” katanya dengan lemah.
“Mama mau menyimpannya sampai kapan?” teriak Sivia. “Kapan Mama mau memberitahu aku!?”
“Sivia…,” ujarnya berusaha menenangkan Sivia, “Mama akan memberitahumu besok!”
“Mama bohong!!!!” teriak Sivia. “Undangan itu dikirim seminggu lalu. Kenapa Mama tidak memberitahuku saat itu? Aku benci Mama!!!!!!!”
Sivia berlari ke luar ruangan sambil membanting pintu. Di dalam rumah, Gina duduk dengan lelah di ruang tamu. Dia melihat undangan di depannya sambil mendesah. Dia tahu cepat atau lambat Siviaakan mengetahuinya juga. Hanya saja dia mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya.
Tak berapa lama kemudian, Sivia tiba di sebuah kelab. Ditunjukkannya KTP palsu yang pernah ia buat unttuk memalsukan umurnya yang sebenarnya. Sivia tidak menyangka membuat KTP palsi begitu mudah ketika uang tidak menjadi masalah. KTP palsu itu sering dia perlukan kalau ingin memesan minuman keras. Penjaga kelab memerhatikan KTP di tangannya dan melihat orang di hadapannya.
Sivia balas menatap penjaga kelab tersebut dengan tenang. Dia sudah sering melakukan ini puluhan kali san selalu berhasil. Sivia selalu terlihat percaya diri dan tidak panic. Si penjaga kelab mengembalikan KTP Sivia dan mempersilahkannya masuk.
“Terima kasih!” kata Sivia dengan sopan.
Sivia duduk di restoran klab itu, dan beberapa saat kemudian seorang pelayan menawarkan menu padanya.
“Saya minta semua yang ada di menu!” kata Sivia langsung tanpa basa-basi.
“Semua?” tanya pelayan itu bingung.
“Iya! Semuanya! Sekarang juga!” kata Sivia kesal.
Si pelayan pergi tanpa berkata-kata lagi.
Sivia mengeluarkan bungkus rokok dari tasnya dan mulai merokok. Dia tidak tahu lagi sudah mengisap rokok beberapa banyak hari itu, tetapi kegalauan hatinya tidak kunjung mereda. Akhirnya Sivia memejamkan mata, mencoba melupakan segalanya. Ketika dia membuka matanya kembali, meja di depannya sudah penuh dengan berbagai macam makanan dan minuman.
Sivia bangkit berdiri dan menghampiri kasir. Dia mengeluarkan kartu kredit mamanya. Saat penjaga kasir menyodorkan bonnya, Sivia dengan mudah meniru tanda tangan mamanya, seperti yang tertera di kartu kredit tersebut. Dia sudah sering kali meniru tanda tangan mamanya. Terutama jika guru-gurunya yang terdahulu memintanya untuk mendapatkan tanda tangan tersebut saat nilai ulangan Sivia jelek. Sivia tidak merasa menyesal ketika dia keluar dari kelab itu tanpa menyentuh makanan yang dipesannya sama sekali.

***

Keesokan harinya Alvin mengunjungi kelas Sivia.
Kedatangan Alvin membuat semua murid kelas 3 IPA2 memandang ke arahnya. Pandangan Alvin menyapu seluruh ruangan, tetapi dia tidak menemukan orang yang dicarinya.
“Permisi!” kata Alvin pada seorang murid kelas itu. “Kau tahu Sivia di mana?”
Murid di hadapan Alvin merasa heran. “Aku tidak tahu! Hari ini dia tidak masuk sekolah lagi!”
Perasaan kecewa menghinggapi diri Alvin. Kenapa dia bolos lagi?
“Terima kasih!” kata Alvin sambil berjalan keluar dari kelas.
Siang itu Alvin hanya bisa mengikuti pelajaran setengah hari karena harus melakukan pemeriksaan lagi di rumah sakit. Alvin berharap bisa bertemu dengan Sivia hari itu. Alvin tidak bisa menggambarkan perasaannya saat bertemu gadis itu. Yang pasti bukan perasaan hampa.
Sewaktu Alvin keluar dari sekolah, Pak Budi, sopir keluarganya, sudah menunggunya di depan gerbang. “Siang, Pak!” sapa Alvin.
“Siang, Alvin!” kata Pak Budi.
Pak Budi sudah menjadi sopir keluarganya semenjak Alvin lahir, jadi beliau sudah tahu segalanya tentang Alvin dan dia merasakan simpati yang mendalam terhadapnya. Ia teringat saat Alvin kecil menangis ketika diajak ke rumah sakit, Alvin kecil yang berusaha kabur setiap kali dokter datang, atau bagaimana Alvin meminta untuk dibawa pergi ke tempat yang tidak seorang pun mengetahuinya.
Pak Budi sangat menyayangkan pemuda sebaik dan sepintar Alvin mendapat penyakit yang mematikan. Sesudah membukakan pintu untuk Alvin, Pak Budi beralih ke kursi kemudian dan menjalankan mobil.
Di tengah perjalanan, Alvin melihat Sivia memasuki tempat biliar. Alvin pasti tidak salah melihat karena dia bisa mengenali rambut merah itu di mana saja.
“Pak! Berhenti dulu!” kata Alvin pada Pak Budi tiba-tiba.
Pak Budi menghentikan mobilnya di tempat parkir terdekat.
“Ada apa, Alvin?” tanya Pak Budi panik.
“Tolong Pak Budi tunggu di sini sebentar!” kata Alvin sambil keluar dari mobil.
Alvin berjalan menuju tempat biliar dan masuk ke dalamnya. Dilihatnya Sivia sedang memainkan bola biliar di meja paling ujung. Ketika merasa seseorang melagkah mendekatinya, Sivia langsung menoleh. Alvin adalah salah satu orang yang tidak ingin dilihatnya hari ini.
“Apa yang kaulakukan di sini?” bentak Sivia. “Keluar! Aku tidak mau melihatmu!”
Alvin berdiri di seberang Sivia.
“Mengapa kau bolos sekolah hari ini?”
Sivia berkonsentrasi pada sebuah bola tanpa menyimak perkataan Alvin. Disodoknya bola itu hingga keluar papan dan menuju ke arah perut Alvin.
“Aku sudah bilang jangan pernah campuri urusanku!” kata Sivia dingin.
Alvin mengambil bola yang jatuh di sebelahnya dan meletakkannya kembali di papan biliar sambil memandang Sivia dengan tajam. Alvin memandangnya beberapa saat seperti itu tanpa berkata apa-apa.
Sivia yang tidak senang diperhatikan seperti itu lama-lama membanting tongkat yang dipegangnya dan berjalan mendekati Alvin.
“Kau bisa main biliar?” tantang Sivia.
“Tidak,” jawab Alvin.
“Punya uang untuk taruhan?” tantang Sivia lagi.
“Tidak,” jawab Alvin lagi.
“Kalau begitu apa yang kau lakukan di sini?” teriak Sivia di depan hidung Alvin.
“Menemunimu,” Alvin menjabnya dengan sederhana.
“Kau memang penguntit,” gerutu Sivia sambil merengut. “Tidak punya kerjaan lain, ya?”
Alvin tidak menjawab.
“Baik!” kata Sivia ketus. “Kalau kau tidak mau leuar, terserah.” Lalu tatapan Sivia beralih pada orang di sebelahnya. “Ayo, kita lanjutkan!”
“Kita mau bertaruh apa?” tanya orang di sebelahnya.
Sivia melirik jam tangan emas mamanya yang diambilnya kemarin, lalu melemparnya kepada orang itu. “Kalau kau menang, kau boleh memiliki jam tangan emas ini!”
“Kalau aku kalah?” tanya orang itu balik.
“Kau boleh memiliki jam tangan emas ini juga! Bukankah itu tawaran yang menarik?” jelas Sivia.
“Menang atau kalah aku tetap dapat jam tangan emas inni!” kata orang itu sambil mengangguk. Dia memerllihatkan jam tersebut dengan teliti. Matanya sudah terlatih untuk melihat benda-benda berharga. Dia yakin jam tangan yang dipegangnya adalah emas asli. “Setuju!” katanya kemudian.
Sivia mengambil tongkat biliarnya lalu mulai bersiap-siap untuk memukul bola. Tangan Alvin sudah berada di tangan Sivia sebelum dia sempat menggerakkan tongkatnya.
“Apakah kau tidak lelah menyakiti dirimu sendiri?” kata Alvin perlahan.
Sivia menyentakkan tangannya dengan kasar. “Cukup! Aku sudah tidak tahan lagi denganmu! Apa kau berpikir dengan bertemu satu-dua kali kau sudah mengenalku? Jangan kaukira karena kau penyakitan maka aku tidak bisa memukulmu! Aku tidak peduli!” Sivia menunjuk dada Alvin. “Apa mungkin itu yang harus kulakukan? Memukulmu supaya aku dikeluarkan dari sekolah?”
Alvin hanya terdiam mengamati Sivia.
Lama-kelamaan Sivia menjadi semakin kesal. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebatang rokok.
“Kau mau coba?” tanya Sivia sinis sambil mengulurkan rokok tersebut pada Alvin. “Toh jantungmu sudah sakit, jadi apa salahnya mengisap satu saja?”
Alvin mengambil rokok yang diulurkan Sivia dan membuangnya ke tempat sampah. “Tampaknya hari ini suasana hatimu sedang buruk!”
“Bukankah kau ingin jadi temanku?” tanya Sivia mengejek Alvin lagi. “Kalau begitu temani aku main biliar ini!”
Alvin tergoda untuk menyanggupinya tetapi dia teringat Pak Budi yang sedang menunggunya di depan. “Maaf, hari ini aku tidak bisa! Aku ada janji lain!”
Sivia tertawa terbahak-bahak. “Aku sudah menyangkanya. Pasti kau mau kabur ke Pak Duta dan memberitahu dia kalau aku ada di sini sedang main biliar. Silakan saja beritahu. Aku tidak peduli. Malah bagus, aku sudah tidak sabar ingin keluar dari sekolah itu!”
Alvin menatap Sivia dengan sedih. “Kau salah. Aku tidak akan mengadu pada siapa pun tentang keberadaanmu!”
“Ha ha ha!” tawa Sivia singkat. “Aku tidak percaya padamu! Aku tidak percaya pada semua orang! Jadi pergi saja dari hadapanku!”
Alvin menarik napas panjang. “Aku harap bertemu denganmu di sekolah besok!” Dia lalu berjalan ke arah pintu.
Sivia tersenyum pendek. “Jangan terlalu berharap banyak, anak teladan. Kalau aku pergi ke sekolah besok, pasti aku akan berbuat onar. Nanti kau akan kecewa dan jantungmu tidak kuat menahannya!”
Alvin menoleh, sekali lagi menatap Sivia. “Lalu kenapa kau tidak datang ke sekolah besok dan melihatnya sendiri?” setelah itu Alvin membuka pintu dan pergi dari hadapan Sivia.
Alvin masuk ke mobil.
“Ayo, jalan, Pak!” kata Alvin lemah.
Pak Budi belum pernah melihat Alvin seaneh itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Pak Budi khawatir.
“Tidak apa-apa,” jawab Alvin menenangkan. “Mari kita ke rumah sakit! Papa pasti sudah menunggu!”
Pak Budi segera menjalankan mobilnya.
Melihat kepergian Alvin, Sivia tidak punya keinginan lagi untuk meneruskan permainannya. Lalu dia melemparkan tongkat biliar ke atas meja.
“Aku tidak mau main lagi!” kata Sivia.
Sekeluarnya dari tempat biliar, Sivia mendesah. Dia tahu tadi dia telah bersikap keterlaluan terhadap Alvin, tetapi dia kan sudah beberapa kali memperingatkan pemuda itu. Sivia masih tidak bisa memikirkan alasan kenapa Alvin ingin berteman dengannya, padahal jelas-jelas dia tidak mau berteman dengan Alvin. Ada sesuatu dari tatapan mata Alvin yang membuat Sivia merasa bersalah. Seakan-akan Alvin telah melihat jiwanya. Sesaat tadi, Sivia sempat memercayai perkataan Alvin bahwa dia tidak akan mengadukan Sivia pada Pak Duta tentang pertemuan mereka di tempat biliar.
Baiklah, anak teladan. Besok aku akan membuat onar lagi dan kita lihat sejauh mana kau mau menjadi temanku! Tekad Sivia dalam hari.

***

Sudah malam saat Sivia memasuki rumahnya setelah bermain seharian. Mama, seperti biasa sudah duduk di kursi tamu.
“Dari mana saja?” tanya Gina. “Tadi siang Mama mendapat telepon dari sekolahmu, katanya kau membolos lagi!”
Sivia menatap mamanya dengan santai. “Jadi kenapa? Toh itu bukan hal baru lagi!”
Gina menghela napas panjang. “Apakah kau masih mau seperti ini, Sivia?”
“Ya!” kata Sivia. “Aku memang tidak mau berubah!”
Gina ingin mengatakan sesuatu lagi tetapi dering telepon menghentikan perkataannya. “Jangan pergi dulu! Mama belum selesai berbicara denganmu!”
Ia mengangkat telepon di dampingnya. “Halo!”
Untuk sesaat ia mendengarkan suara si penelpon. “Ya, benar!” katanya kemudian. “Kemarin sore saya memang melaporkan bahwa saya telah kehilangan kartu kredit!”
Beberapa detik kemudian, ia mengerutkan dahinya dengan bingung. “Apa maksud anda? Kartu kredit saya baru saja digunakan kemarin!? Tapi saya sama sekali tidak menggunakannya kemarin. Saya yakin kartu kredit saya sudah dicuri.”
Sivia dengan tenang mengampiri mamanya dan memutuskan pembicaraan telepon itu.
“Apa yang kaulakukan?” protes Gina. “Mama sedang menelepon!”
Sivia mengambil kartu kredit mamanya dari sakunya dan melemparnya ke meja telepon. “Aku yang mencuri kartu kredit Mama. Dan aku menggunakannya kemarin malam di kelab!”
Gina terpana tidak percaya. “Kenapa kau tega melakukan hal seperti ini, Sivia? Sekarang kau berani mencuri dari Mama?”
“Seharusnya Mama tidak heran lagi!” kata Sivia. “Mungkin suatu hari aku akan berakhir di penjara!”
Secepat kilat tamparan Gina mengenai pipi Sivia. Tetapi secetat itu pula dia menyesali perbuatannya.
Sivia menyentuh pipinya dan tertawa. “Ayo, tampar aku! Pasti Mama sudah ingin melakukannya dari dulu!”
Gina menatap putrinya dengan sedih. “Mama tidak bermaksud demikian, Sivia. Hanya saja perkataanmu tadi sudah keterlaluan. Mama sudah bingung harus berbuat apa. Mama kira dengan pindah ke kota baru dan rumah baru kau akan mendapatkan lingkungan baru dan memulai dari awal lagi!”
Sivia tertawa sinis. “Memulai baru? Satu-satunya alasan kenapa Mama mau pindah ke kota ini adalah untuk membuka cabang hotel baru Mama.”
“Itu tidak benar!”
“Seakan-akan lima hotel masih kurang!” kata Sivia. “Mama harus menambah satu lagi?”
“Tampaknya apa pun yang Mama katakana, kau tidak akan mendengarnya!” Gina menatap Sivia sedih. “Mama hanya mau kau percaya bahwa kau satu-satunya yang terpenting bagi mama! Mama berharap suatu hari kau dapat mengerti ini.”
“Aku capek!” kata Sivia. “Aku tidak mau mendengar omongan Mama lagi!”
“Sivia…”
Tetapi Sivia sudah menaiki tangga menuju kamarnya.
“Oh ya, satu hal lagi!” kata Sivia menoleh ke arah mamanya. “Aku juga mengambil jam tangan emas yang ada di laci Mama. Aku rasa mama tidak akan melihat jam tangan itu lagi!”
“SIVIAYY!!!” teriak Gina kesal.
Sivia masuk ke kamrnya sambil menutup pintu keras-keras.
Di lantai bawah, Gina menangis terisak-isak.
Satu hari lagi berlalu dengan pertengkaran hebat.

***

Keesokan paginya Sivia sudah mempersiapkan apa saja yang akan dilakukannya di sekolah supaya dia dikeluarkan hari itu juga. Ada sejumput perasaan aneh yang menghinggapi hatinya saat terpikir dia tidak akan bertemu Alvin lagi. Suka atau tidak, Alvin adalah satu-satunya orang yang peduli padanya setelah sebelum tidak akan seorang pun yang berani mendekatinya.
Ketika bel tanda pelajaran berbunyi, Pak Duta mendekati Sivia.
“Istirahat nanti temui Bapak di ruang guru!” kata Pak Duta tegas. “Kau sudah membolos seharian kemarin untuk pergi ke tempat biliar! Coba renungkan hukuman apa yang pantas untukmu”
Setelah berkata demikian, Pak Duta pergi meninggalkannya.
Sivia terkejut bercampur marah mendengar perkataan wali kelasnya.
Percaya pada Alvin??? Betapa bodohnya aku sempat berpikir untuk memercayai anak penyakitan itu, teriak Sivia dalam hati, semua orang sama saja, tidak bisa dipercaya. Teman apanya? Dia hanya ingin jadi anak teladan kesayangan guru
Saat Istirahat, sebelum menemui Pak Duta, Sivia melabrak Alvin di kelasnya. Saat itu Alvin sedang duduk seorang diri sambil menulis sesuatu di bukunya.
“Aku salut padamu!” kata Sivia keras. “Bagaimana kau bisa munafik seperti ini? Dengan memakai alasan teman segala!”
Alvin tidak mengerti perkataan Sivia. Maksudnya?”
Sivia tertawa sinis. “Masih pura-pura tidak mengerti, lagi! Aktingmu hebat sekali! Kau memberitahu Pak Duta kalau aku ke tempat biliar kemarin!”
Kali ini giliran Alvin yang terkejut. Dia meletakkan bolpoinnya dan menatap Sivia dengan serius. “Aku tidak memberitahu siapa pun!”
“Bohong!” teriak Sivia. “Wali kelasku baru saja memanggilku pagi ini, memintaku menemuinya karena aku berada di tempat biliar kemarin. Kalau bukan kau siapa lagi yang mengatakannya, hah?!”
“Aku benar-benar tidak mengadukanmu!” tegas Alvin.
“Yah! Aku tidak percaya padamu!” Sivia berjalan keluar dari kelas Alvin. “Aku hanya ingin melihat tampangmu saat aku memberitahu hal tadi. Dan percayalah ini adalah hari terakhir kalinya kau melihatku karena sudah pasti hari ini aku akan dikeluarkan dari sekolah! Kau pasti senang, kan?”
“Sivia!” teriak Alvin.
Teriakan Alvin berhasil membuat Sivia menghentikan langkahnya, tetapi ua tidak membalikkan badannya.
“Aku tidak peduli kau percaya atau tidak, tetapi aku benar-benar tidak memberitahu Pak Guru soal kemarin. Kau temanku dan aku tidak mau melihatmu pergi dari sekolah!”
Sivia berbalik dan melihat tatapan sedih memancar dari mata Alvin. “Yah, kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?”
Sesudahnya Sivia menemui Pak Duta di ruangannya.
“Duduk, Sivia!”
Sivia duduk menghadap wali kelasnya.
“Apakah kau mau mengakui kalau kemarin kau bolos dan main ke tempat biliar?” tanya Pak Duta tanpa basa basi.
“Ya, benar!” sahut Sivia. “Apakah sekarang Bapak akan mengeluarkan saya?”
Pak Duta tersenyum. “Kau benar-benar berpikir Bapak akan mengeluarkanmu? Aku masih belum menyerah menghadapimu, Sivia! Mengeluarkanmu adalah langkah terakhir. Bapak masih ingin memberimu kesempatan. Jadi mulai hari ini hukuman membersihkan WC-mu akan diperpanjang jadi enam minggu!”
“Saya lebih suka dikeluarkan!” kata Sivia tenang.
“Bapak tahu!” kata Pak Duta sambil tertawa. “Tapi Bapak lebih sukahukuman yang ini! Kalau kau tidak mau melakukannya, Bapak akan tembah lagi dua minggu sampai kau mau melakukannya!”
Sivia mendesah.
“Kalau tidak ada pertanyaan lagi, kau boleh keluar!” kata Pak Duta.
Sivia bangkit dan melangkah ke luar.
“Oh ya, satu hal lagi,” lanjut Pak Duta, “kalau kau mau main biliar, jangan lakukan lagi di dekat rumah Bapak kalau tidak mau ketahuan!”
Sivia berhenti melangkah dan berbalik menghadap Pak Duta. “Maksud Bapak, kemarin Bapak melihat saya di tempat biliar?”
“Iya!” kata Pak Duta.
Sivia tertawa. “Wow, saya tidak menyangka Bapak membolos juga kemarin!”
Pak Duta menatap Sivia dengan tajam. “Kemarin Bapak memang izin dari sekolah karena urusan keluarga! Bapak tidak membolos, Sivia. Bapak benar-benar ingin melihatmu berubah menjadi lebih baik. Bapak harap kau bisa menerima hukuman dari Bapak dan melaksanakannya!”
Sivia hanya mendengus, namun dia akhirnya tahu kalau ternyata bukan Alvin yang memberitahu pak Duta. Beliau tahu karena melihatnya sendiri. Tampaknya Sivia telah salah sangka.
Sepulang sekolah, Sivia melihat Alvin yang sedang duduk sambil melamun sedih. Kelas sudah kosong karena para murid yang lain sudah pulang semua. Sivia mendekati Alvin dan berdiri di depannya.
“Bukan kau yang memberitahu Pak Guru!” kata Sivia member pernyataan.
Alvin tersadar dari lamunannya dan menatap Sivia dengan pandangan, “kan sudah kubilang”.
“Aku minta maaf,” lanjut Sivia.
Alvin bangkit dari kursinya dan meletakkan tasnya di punggungnya. “Jadi aku tidak akan melihatmu lagi karena kau akan dikeluarkan dari sekolah!”
Sivia tersenyum. “Sebetulnya aku tidak dikeluarkan dari sekolah. Hanya disuruh membersihkan WC enam minggu!”
Alvin tertawa balik. “Enam minggu? Lama sekali. Kau akan melakukannya?”
Sivia nyengir. “Tidak!”
Alvin mendesah. “Sayang sekali!”
“Kenapa?” tanya Sivia heran.
“Karena tadinya aku mau menemanimu!”
Siang itu, sepulang sekolah Sivia membersihkan toilet ditemani Alvin. Tanpa sepengetahuan mereka, Pak Duta melihatnya dari jauh dan tersenyum.
Alvin memerhatikan Sivia yang sedang membersihkan WC dengan senang. Tiba-tiba Sivia tertawa.
“Apa yang kautertawakan?” tanya Alvin ingin tahu.
“Aku hanya memikirkan perkataan yang dulu!” kata Sivia.
“Yang mana?”
“Kau bilang hidupmu hanya berkisar di rumah sakit, sekarang aku merasa hidupku hanya akan berkisar di toilet!”
Alvin terbahak mendengarnya.
“Kau tidak akan membersihkan WC kalau kau tidak melakukan kesalahan lagi!”
“Yah, benar!” kata Sivia malas. “Tapi aku punya perasaan aku akan melakukannya lagi!”
“Berhentilah menyakiti dirimu sendiri!” kata Alvin serius. “Rasanya tidak enak. Aku pernah mengalaminya waktu berumur dua belas tahun. Papa melarangku pergi ke taman bermain bersama teman-teman karena aku tidak cukup sehat. Aku mengamuk seharian. Ketika melihat Papa dan Mama menangis, akhirnya aku berhenti mengamuk dan sadar bahwa mereka juga sedih!”
Sivia terdiam mendengar cerita Alvin. Sivia membayangkan Alvin yang berusia dua belas tahun mengamuk karena tidak bisa pergi ke tempat bermain seperti anak yang lainnya. Di lain pihak, dirinya mungkin sedang bersenang-senang di taman bermain tersebut bersama papa dan mamanya. Kenangan akan papanya membuat Sivia sedih lagi.
“Setahun yang lalu orangtuaku bercerai! Aku tidak pernah dekat dengan Mama, dan Papa malah meninggalkan aku dengannya! Aku benci mereka berdua!”
Begitu rupanya, kata Alvin dalam hati.
“Aku marah sekali dan berusaha sekeras mungkin untuk menyakiti Mama dan orang-orang yang kutemui!” lanjut Sivia.
“Tetapi kau malah menyakiti dirimu sendiri lebih dalam lagi!” Alvin menyelesaikan perkataan Sivia.
“Ya!” Sivia mengangguk. “Dua hari yang lalu aku menemukan undangan pertunangan papaku! Papa akan bertunangan di luar negeri! Itulah sebabnya aku marah sekali dan membolos untuk pergi ke tempat biliar. Tapi betapapun aku membencinya, aku tetap merindukannya!”
“Kalau kau begitu merindukannya, kenapa kau tidak pergi menghadiri pertunangannya?” tanya Alvin lembut.
Sivia menggeleng. “Aku belum siap menghadapi Papa!” Sivia membersihkan kain pel yang sudah dipakainya dan mengembalikan tongkat pel itu ke tempatnya semula.
“Tidak usah terburu-buru!” kata Alvin menghibur. “Kau akan tahu saat yang tepat untuk menemuinya!”
“Waktu itu aku pasti sudah siap!” kata Sivia yakin.
Alvin tersenyum. “Sudah selesai?”
“Ya!” kata Sivia mantap.
“Baiklah!” kata Alvin. “Aku pulang dulu! Pak budi, sopirku, pasti sudah menunggu dari tadi! Kau mau kuantar pulang?”
Sivia menggeleng. “Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri!”
“Sampai jumpa besok!” ujar Alvin, membalikkan badannya dan melangkah menuju gerbang sekolah.
“Alvin!!” teriak Sivia.
Alvin berbalik menghadap Sivia lagi. “Apa?”
“Aku mau jadi temanmu!” kata Sivia keras.
Alvin tersenyum dan berjalan mendekati Sivia lagi. “Terima kasih!”
“Hanya satu yang membuatku penasaran,” lanjut Sivia.
“Apa itu?”
“Kenapa kau mau berteman denganku?”
Alvin menjawab dengan yakin, “Alasan yang sama kau ingin berteman denganku! Karena tidak ada yang mau berteman dengan orang yang penyakitan!”
“Dan tidak ada yang mau berteman dengan anak berandalan!” tandas Sivia menyelesaikan.
Mereka berdua tersenyum.
Bye!” ujar Alvin akhirnya.
Sivia memandang punggung Alvin yang menjahuinya. Untuk pertama kali dalam setahun ini dia merasa gembira.

1 komentar: