Rabu, 30 Mei 2012

3600 Detik (versi Alvia) Part2

SIVIA membuka matanya dengan perlahan. Mentari sudah terang menyilaukan ketika memasuki jendela kamar tidurnya. Dilihatnya jam dinding. Jam sepuluh lebih lima belas menit. Yang pasti, sekolah sudah dimulai beberapa jam yang lalu. Sivia heran mamanya tidak membangunkannya pagi-pagi untuk berangkat sekolah. Yang pasti, jam sekian ini mamanya pastisudah pergi ke kantor. Pekerjaan selalu lebih penting dari apa pun baginya.
Sivia bangkit dari tempat tidurnya dengan perlahan. Selesai mandi dia mengenakan baju seragamnya dan dengan sengaja mengeluarkan bajunya, membuatnya jadi terlihat berantakan. Ketika Sivia tiba di sekolahnya, gerbang sekolah sudah ditutup. Dia memanjat gerbang tersebut tanpa masalah.
Sesaat setelah kaki Sivia menyentuh lapangan sekolah, seorang satpam berjalan menghampirinya. Sial, gerutu Sivia dalam hati. Sebetulnya dia senang-senang saja aksi mmanjatnya diketahui seseorang. Semakin cepat dia membuat kesalahan, semakin cepat dia akan dikeluarkan dari sekolah ini. Tetapi perutnya sedang keroncongan karena tadi pagi belum makan. Saat ini yang dipikirkannya adalah bagaimana dia bisa menuju kantin secepatnya.
“Selamat pagi!” kata si satpam. “Apakah kau tidak tahu jika gerbang sudah ditutup, para siswa dilarang memasuki sekolah tanpa seizing guru?”
“Saya tahu kok!” kata Sivia dengan enteng. “Pertama-tama Bapak akan menanyakan nama saya, lalu melapporkan saya pada guru piket hari ini, kemudian guru tersebut akan menentukan hukuman untuk saya.”
Si bapak satpam mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia menemui seorang murid yang tidak merasa bersalah setelah melakukan pelanggaran sekolah. Dilihatnya Sivia dari atas sampai bawah dengan teliti.
“Tunggu dulu!” kata Pak Satpam mengenali. “Kau murid baru itu, bukan? Baru masuk kemarin?”
Sivia mengangguk. “Begini saja, Pak, bagaimana kalau Bapak berpura-pura tidak tahu tentang pelanggaran saya ini? Sebetulnya saya tidak keberatan kalau saya dihukum. Malah itu lebih baik. Tapi perut saya lapar saat ini, jadi saya tidak punya waktu untuk berbasa-basi lagi.”
Si bapak satpam mendesah. “Baiklah!” katanya menyerah. “Karena kau masih murid baru di sekolah ini, Bapak akan mengabaikan pelanggaranmu kali ini. Tapi lain waktu kau tidak boleh melakukannya lagi.”
Siviatersenyum. “Saya yakin saya akan melakukan hal ini lagi kapan-kapan. Saat itu Bapak boleh melaporkan saya pada para guru. Saya tidak keberatan sama sekali!”
Sivia berlari meninggalkan pak satpam yang kebingungan mencerna arti perkataan tersebut. Dalam hati Sivia menyadari bahwa mencari cara untuk membuat onar ternyata lebih mudah daripada menjadi murid terladan. Sama halnya dengan membuat kenangan buruk lebih mudah daripada membuat kenangan baik.
Perutnya berbunyi lagi. Sivia berlari ke arah kantin. Tak berapa lama kemudia, dia duduk di bangku kantin sambil menimati makanannya. Setelah selesai, dia berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Langkahnya terhenti saat melihat Alvin yang duduk di bangku taman sekolah. Dilihatnya teman-teman sekelas cowok itu sedang berolahraga tak jauh dari sana.
Sivia berjalan mendekati lalu duduk di sebelahnya. “Wah! Rupanya si anak teladan bisa membolos pelajaran juga!”
Alvin menoleh ke arah Sivia tapi tidak berkata apa-apa.
“Kau memang anak aneh! Tidak mau bicara lagi?” tanya Sivia. “Bagaimana kalau aku beritahu Pak Guru kau bolos pelajaran olahraga?”
Kali ini Alvin menatap mata Sivia. “Bukankah kau juga bolos?”
Sivia tertawa. “Ya! Itu maksudku! Apakah sebaiknya kita memberitahu Pak Guru kalau kita berdua membolos? Aku jadi penasaran hukuman apa yang akan diberikan oleh mereka!”
“Aku tidak tahu!” kata Alvin jujur. “Aku belum pernah dihukum!”
Sivia menggeleng-geleng. “Ya! Aku yakin begitu! Kau tidak pernah melakukan kesalahan makanya tidak pernah dihukum. Apakah kau tidak bosan menjadi anak teladan terus-menerus? Cobalah sekali-sekali menjadi anak nakal dan melihat betapa kreatifnya para guru membuat hukuman!”
“Kreatif?” tanya Alvin bingung.
“Dari lari keliling lapangan, mengecat meja sekoalh, menulis ‘aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi’ di atas seratus lembar kertas, membereskan buku perpustakaan, sampai membersihkan WC!”
Alvin tertawa. “Dan kau merasakan semuanya?”
Sivia menggeleng. “Tidak! Aku bilang aku melihat, bukan merasakan! Aku sudah keburu drop out sebelum hukuman itu dilaksanakan!”
“Kenapa kau tidak terkejut mendengarnya?” bisik Alvin perlahan.
Tangan Sivia mengeluarkan sebatang rokok dan pematik api yang memang sudah dia bawa di sakunya. Sivia menyelipkan rokok di bibirnya. Sebelum dia sempat menyulutnya, Alvin menatapnya dan berkata, “Tolong jangan merokok!”
Sivia tertawa pendek. “Kenapa? Mau menasehatiku kalau merokok tidak bagus buat kesehatanku?”
Alvin menggeleng. “Tidak! Sebenarnya justru tidak bagus buat kesehatanku!”
Sivia tertegun mendengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Sivia bingung.
“Aku sakit!” jelas Alvin sederhana.
“Sakit?” tanya Sivia lagi.
Alvin mengangguk. “Aku tidak membolos pelajaran olahraga. aku memang tidak bisa mengikutinya.”
“Memangnya kau sakit apa?” tanya Sivia penasaran. “Flu, sakit perut, demam, atau apa?”
Alvin menatap Sivia dengan serius dan berkata tenang. “Aku punya kelainan jantung sejak lahir!”
Untuk sesaat Sivia tidak sanggup berkata-kata. Mereka berdiam diri selama beberapa saat.
“Mengapa kau memperhatikanku kemarin sewaktu aku berolahraga?” tanya Sivia tiba-tiba.
Alvin menatap Sivia.
“Asal tahu saja, aku benar-benar tidak suka kalau ada orang yang memperhatikanku tanpa sepengetahuanku,” lanjut Sivia lagi. “Apa kerena kau ingin melihat si anak baru yang berandalan, dan berfikir betapa beruntungnya kau menjadi murid teladan?”
“Tidak,” jawab Alvin singkat.
“Lalu kenapa?” tanya Sivia penasaran.
Alvin terdiam sesaat, tapi kemudian menjawab, “Karena aku iri.”
“Iri?” Sivia bingung.
“Ya! Aku iri padamu! Kau bisa bermain voli dengan senang. Aku tidak pernah bisa bermain seperti itu. Hidupku hanya berkisar di sekolah dan di rumah sakit. Tidak boleh berolahraga sekali pun karena itu bisa membahanyakan jantungku.”
Sivia tidak menyangka Alvin akan berpikiran seperti itu. Baru pertama kali ada orang yang iri padanya hanya karena ia bermain voli. Sesaat Sivia merasakan kasihan pada pemuda ini. Sivia berusaha keras untuk menghancurkan hidupnya, dilain pihak Alvin justru berusaha keras untuk mempertahankan hidupnya.
Tiba-tiba saja Pak Duta muncul di hadapan mereka berdua. “Di sini kau rupanya! Sivia, kenapa kau membolos? Dan apa itu? Rokok! Kau merokok juga? Apa yang kaulakukan bersama Alvin di sini? Sekarang juga kalian ikut ke ruangan Bapak!”
Pak Duta langsung mencabut rokok yang ada di tangan Sivia dan membuangnya. Sivia dan Alvin mengikuti Pak Duta ke ruangannya. Setibanya di sana, Pak Duta duduk dan tanpa basa-basi memulai pembicaraan.
“Sivia!” katanya sambil menatap mata Sivia. “Ini hari keduamu di sekolah, dan kau sudah membolos. Bapak sudah melihat data dirimu dari sekolah-sekolah sebelumnya. Banyak sekali pelanggaran yang kaulakukan. Merokok, bertengkar dengan temanmu, berpakaian tidak pantas di sekolah, membolos sampai kau dikeluarkan dari sana! Pihak sekolah sana tidak mau memberitahukan hal tersebut kepada Bapak!”
Sivia tersenyum perlahan. “Saya menyebabkan ruangan olahraga nereka rusak terbakar!”
“Benarkah?” tanya Pak Duta terkejut.
“Kalau Bapak mau mengunjungi sekolah tersebut pastinya Bapak masih bisa melihat hasil pengecatan kembali ruang olahraganya!”
Pak Duta terdiam sesaat mendengar penjelasan Sivia. “Menurutmu itu sesuatu yang membanggakan?”
Sivia tidak menjawab pertanyaan Pak Duta.
“Baiklah!” desah Pak Duta. “Kira-kira apa hukuman yang layak untukmu, Sivia?”
Sivia tertawa. “Saya tidak tahu, Pak. Saya rasa Bapak lebih ahli soal hukuman daripada saya!”
“Kalau bagitu mulai besok kamu Bapak hokum untuk membersihkan toilet selama dua minggu!” kata Pak Duta tergas.
“Baiklah!” kata Sivia enteng, “Tapi Bapak tahu kalau saya tidak akan melakukannya!”
“Kalau kau tidak mau melaksanakannya,” kata Pak Duta, “hukumannya bertambah menjadi tiga minggu!”
“Kenapa tidak dikeluarkans aja sekalian?” tanya Sivia akhirnya.
Pak Duta menatap Sivia dengan tegas. “Karena mengeluarkanmu adalah perkara yang terlalu mudah dan itu justru sesuai dengan keinginanmu, bukan?” saying sekali, Sivia, kau tidak akan semudah itu dikeluarkan!”
“Kita lihat saja nanti!” kata Sivia tenang.
Pak Duta juga membalasnya sambil tersenyum, “Bapak tidak sabar untuk melihatnya!” Tatapannya beralih pada Alvin. “Sekarang kau, Alvin, apa yang kau lakukan bersama Sivia?”
Alvin menjawab dengan tenang, “Tidak ada, Pak!”
“Benarkah tidak ada apa-apa?” tanya Pak Duta sekali lagi.
Alvin mengangguk.
“Bapak percaya padamu!” kata Pak Duta.
Sivia memandang Alvin dan Pak Duta dengan sinis. Begitu mudahnya wali kelasnya itu percaya pada Alvin. Tidak pernah ada yang percaya pada Sivia. Tidak seorang pun.
Pak Duta melirik Sivia lagi. “Cobalah untuk bersikap baik, Sivia. Masa muda hanya terjadi sekali seumur hidup. Kau akan menyesal kalau menyia-nyia-kannya!”
Kenapa sih guru-guru selalu berpetuah panjang-lebar? Tanya Sivia dalam hati.
“Nikmati masa mudamu! Bertemanlah sebanyak-banyaknya!” kata Pak Duta.
“Bapak pasti bercanda!” kata Sivia ketus. “Tidak ada seorang pun yang mau berteman dengan saya!”
Alvin tiba-tiba berkata, “Aku mau berteman denganmu!”
“Sayang sekali.” Balas Sivia, “aku tidak mau berteman denganmu!”
Pak Duta berdiri dari kursinya. “Bapak harus menghentikan perdebatan kalian karena harus masuk kelas untuk mengajar, dan sebaiknya kau juga berada di sana, Sivia!”
Sivia dan Alvin keluar dari ruangan Pak Duta.
“Benarkah semua data tentang dirimu tadi?” tanya Alvin penasaran di luar kantor.
Sivia tersenyum. “Sebetulnya ada satu yang tidak akurat! Aku tidak membolos lima kali, aku membolos setiap hati!”
Alvin tertawa. “Tiap hari?”
“Ya!” kata Sivia. “Kau yakin kau mau jadi temanku, anak teladan?”
“Perkataan terakhir tadi membuatku yakin untuk menjadi temanmu!” Alvin berkata tulus.
“Oh! Perkataan yang manis!” ejek sivia. “Tapi saying sekali, aku tidak mau jadi temanmu. Tidak sekarang, tidak juga nanti!”
“Aku hanya ingin menjadi temanmu. Kalau kau tidak mau jadi temanku, tidak apa-apa! Aku mengerti. Aku akan tunggu sampai kau mau jadi temanku!”
“Itu tidak akan terjadi!” kata Sivia ketus.
“Aku orang yang optimis, Sivia! Aku punya keyakinan hal itu akan terjadi,” kata Alvin yakin sambil berlalu dari hadapan Sivia.
***
Sivia memainkan makanan dipiringnya. Dia memandang mamanya dengan kesal. Malam ini, saat Sivia sedang makan, mamanya tiba-tiba masuk dan duduk di seberangnya.
“Jadi kau membuat masalah lagi di sekolah!” kata Mama langsung.

Sivia tertawa. “Wow! Aku kira Mama datang mau makan malam bersamaku, ternyata Mama hanya mau menegurku lagi! Jadi apa yang terjadi? Wali kelasku menelpon Mama?”
“Sivia!”
Sivia membalas teriakan mamanya dengan menusukkan garpunya pada lauk di piringnya dan mengunyahnya.
“Merokok dan bolos pelajaran?” tanya mamanya marah. “Apakah kau tidak kapok juga?” apa ini caramu menarik perhatian Mama?”
“Aku rasa Mama salah!” kata Sivia. “Aku tidak bermaksud menarik perhatian Mama!” kata Sivia tanang. “Aku hanya bermaksud membuat Mama marah! Dan tampaknya itu berhasil!”
Mama Sivia langsung menggebrak meja. “Mama tidak mau melihat kelakukanmu seperti ini lagi, Sivia! Hentikan sifat kekanak-kanakan ini! Mau sampai kapan kau begini?”
Sivia tertawa lebar.
“Kenapa kau tertawa?” teriak mamanya kesal.
“Aku merasa lucu sekali!” kata Sivia. “Mama toh tidak akan sempat melihat kenakalanku karena Mama tidak akan beraa di sini saat aku melakukannya! Bukankah Mama mau pergi ke luar kota lagi?”
“Sivia!!!!” teriak mamanya kehilangan kesabaran. Sivia memandang mamanya dengan bosan dan bangkit dari tempat duduknya di meja makan. Dilihatnya vas bunga kesayangan mamanya di buffet dekat pintu, dan dengan sengaja Sivia menjatuhkannya. Vas bunga itu pecah berkeping-keping.
Mama Sivia semakin murka. “Cukup, Sivia! Hentikan semua ini sekarang juga! Kau tahu itu vas bunga kesayangan Mama!”
“Ya, aku tahu!” kata Sivia. “Toh Mama bisa membelinya lagi, iya kan?” Lalu dengan manisnya Sivia berkata, “Permisi Ma, Sivia capek, mau istirahat dulu!”
“Tunggu, Sivia!” kata mamanya perlahan. “Kenapa kita selalu saja berteriak satu sama lain? Tidak bisakah kita berbicara dengan tenang?”
Sivia menggeleng. “Aku rasa tidak. Lagi pula hanya inilah satu-satunya persamaan yang kita miliki! Berteriak satu sama lain! Aku tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun dari Mama. Karena aku tidak akan memercayai satu pun perkataan Mama saat ini. Mama kan tahu hanya Papa yang bisa menenangkanku!”
“Tapi papamu sekarang tidak ada di sini!” jawab mamanya.
“Dan salah siapakah itu?” cemooh Sivia.
Mamanya menarik napas. “Kalau kau merasa lebih baik dengan menyalahkan Mama atas kepergian papamu, Mama tidak keberatan! Silahkan salahkan Mama sepuasmu! Tapi hal itu tetap tidak membuatmu puas, bukan? Mama berpisah dengan papamu karena kami berdua menginginkan hal yang berbeda. Tentu saja Mama mencintai papamu, tadi kadang urusannya tidak sesederhana itu!”
“Kalau Mama mencintai Papa, Mama tidak akan berpisah dengannya!” kata Sivia tegas. “Apa pun yang Mama katakana tidak akan membuatku lebih baik. Mama tahu kenapa? Karena semakin Mama bicara seperti itu, semakin aku membenci Mama!”
Setelah itu Sivia bergegas ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang terdiam di ruang makan. Tak berapa lama kemudian, telepon berdering. Mama Sivia mengangkatnya.
“Halo!”
“Ini aku!” kata suara di telepon. “Bagaimana keadaanmu, Gina?”
Mama Sivia, yang bernama Gina Sonia, mendesah. Dia tidak siap menerima telepon mantan suaminya saat ini. Selama satu tahun ini, mantan suaminya sudah sering menghubunginya untuk menanyakan keadaan dirinya dan Sivia. Terutama Sivia. Dan siring waktu keduanya sudah bisa berteman baik.
“Seperti biasa!” keluh Widia. “Anak kita masih tidak bisa menerima perceraian kita!”
Suara di ujung telepon mendesah, “Aku akan mencoba bicara padanya, Gina!”
Mama sivia menyetujui, “Sebaiknya begitu. Dia tidak mau bicara denganku sama sekali.”
“Aku akan coba, Gina. Oh iya, aku sudah mengirimkan undangan pertunanganku seminggu yang lalu!” kata mantan suaminya.
“Aku belum sempat mengucapkan selamat padamu!” kata mama Sivia. “Aku harap kau berbahagia dengan calon istri barumu!”
“Terima kasih!” balas papa Sivia. “Semoga kau juga cepat menemukan kebahagiaanmu!”
“Lebih baik kau tidak membicarakan pertunangan ini pada Sivia!” kata mantan istrinya. “Dia sedang benar-benar marah saat ini. Aku rasa berita ini akan membatnya semakin marah. Aku rasa sebaiknya kita menunggu sampai dia tenang dahulu baru memberitahunya.”
“Setuju!” kata papa Sivia. “Aku akan menelponnya sekarang. Selamat malam, Gina!”
“Selamat malam!” balas mama Sivia lalu menutup teleponnya.

Mama Sivia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya. Di benaknya tergambar kembali perpisahan mereka satu tahun yang lalu.

“Aku ingin Sivia ikut denganku, Gina!” kata suaminya waktu itu.
“Aku tahu!” kata Gina. “Tapi aku ingin memohon satu hal padamu. Aku tahu ini pasti sangat berat untuk kaulakukan.”
“Apa itu?” tanya papa Sivia lagi.
“Biarkan Sivia tinggal di sini bersamaku!” kata Gina.
“Tapi…”
“Aku ingin kau memberiku kesempatan supaya aku bisa dekat dengan Sivia. Aku tahu selama ini aku selalu sibuk, sehingga kaulah yang lebih dekat dengannya.”
“Aku tidak begitu yakin Sivia akan menerimanya dengan baik.” Papa Sivia menatap mantan istrinya dengan cemas.
Gina tidak kuasa menahan tangisnya. “Tolong kabulkan permintaanku ini. Aku ingin Sivia tinggal bersamaku. Sampai dia lulus SMA saja. Setelah itu kau bisa tinggal bersamanya.”
Papa Sivia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah.”
“Satu hal lagi,” kata Gina, “aku ingin permintaanku ini dirahasiakan dari Sivia. Aku mohon padamu! Aku ingin Sivia member kesempatan untuk membuka hatinya padaku. Kalau dia tahu dia akan pergi bersamamu setelah lulus SMA, dia pasti tidak akan memedulikan aku sama sekali. Aku ingin anakku mencintaiku seperti aku mencintainya.”
Melihat kesedihan di mata mantan istrinya, papa Sivia tidak kuasa menolak permintaannya. “Baiklah!” katanya.
Sangat tidak mudah memberitahukan perpisahan mereka pada Sivia. Dari awal Sivia sudah bersikap keras kepala dan tidak menerima perpisahan kadua orangtuanya. Apalagi setelah tahu Papa akan pergi meninggalkannya untuk pekerjaan barunya di luar negeri. Saat itu Sivia menatap papanya dengan tajam.
“Kenapa Papa tega melakukan hal ini padaku?” tanya Sivia. “Kenapa Papa harus meninggalkanku?”
“Sivia…,” kata suaminya, “mamamu dan papa sudah tidak bisa bersama lagi. Kami merasa ini jalan yang terbaik buat kami.”
Sivia menangis dengan keras. “Tapi bukan jalan terbaik untukku, Pa!”
“Maaf!” kata suaminya.
“Maafkan kami, Sivia!” kata Gina sambil menyentuh tangan anaknya. Sivia langsung menepis tangan mamanya.
“Ini pasti karena Mama, bukan?” Sivia menatapnya dengan marah. “Semua pasti karena Mama!”
“Sivia!” teriak suaminya. “Jangan berbicara seperti itu pada mamamu!”
Sivia menatap kedua orangtuanya dengan putus asa. Lalu dia menatap papanya. “Papa mau pisah dengan Mama?!! Aku tidak terima. Pokoknya Sivia ingin Papa tinggal di sini. Jangan pergi ke luar negeri.”
Suaminya menatap Sivia dengan gelisah. “Sivia… Papa…”
“Pilih!” teriak Sivia. “Pekerjaan Papa di luar negeri atau Sivia!”
“Sivia! Masalahnya tidak sesederhana itu!”
Sivia menatap papanya untuk pertama kalinya dengan tatapan kosong. Lalu dia tersenyum sedih. “Jadi… Papa lebih memilih pekerjaan Papa.”
“Tidak!”
“Kalau begitu tinggal!” kata Sivia.
Suaminya terdiam. Pekerjaan barunya ini benar-benar berarti baginya. Dia mendapatkannya dengan susah payah. Dia juga ingin memberitahu Sivia bahwa setelah lulus SMA, Sivia akan tinggal bersamanya. Tapi dia sudah berjanji pada Gina untuk merahasiakan hal tersebut dari Sivia.
Sivia tertawa histeris. “Sekarang Papa sudah sama seperti Mama. Pekerjaan lebih oenting daripada anak sendiri. Tak akan satu pun dari kalian yang memedulikan perasaanku saat ini.”
Setelah itu Sivia berlari masuk ke kamar tidurnya dan membanting pintunya. Dia menutup diri dan berkurung di kamarnya selama dua minggu. Sekeras apa pun orangtuanya membujuknya, Sivia tetap tinggal di kamarnya. Kecuali jika ingin membeli makanan, itu pun dilakukan dengan diam-diam. Saat akhirnya Sivia kelaur dari kamarnya, dia tidak mengucapkan satu patah kata pun. Dia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan orangtuanya. Satu hari sebelum keberangkatannya ke luar negeri, suaminya menunggui Sivia di luar kamanya. Sivia malah tidak keluar sama sekali.
Keesokan paginya, suaminya berkata dari balik pintu. Ia benar-benar sedih. Air mata tergenang di matanya.
“Sivia… Papa harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik! Papa pasti akan meneleponmu setiap hari!”
Di kamanya, Sivia juga menangis. Tetapi tangisannya dia redam dengan bantal tidurnya. Dia tidak menyangka Papa benar-benar akan pergi meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dia percayai telah membuatnya kecewa dan terluka.
Sejak saat itu, mantan suaminya memang menelepon putrinya setiap hari. Tetapi Sivia tidak mau mengangkat teleponnya. Bagi Sivia kebutusan papanya untuk meninggalkan dirinya tidak bisa dimaafkan sama sekali. Sivia tidak ingin berbicara apa-apa lagi. Awalnya Sivia merasa rindu dan ingin menelepon papanya. Tetapi rasa benci yang selalu muncul ke permukaan mengalahkan parasaan rindunya. Untuk melupakan masalah orangtuanya, Sivia mulai membolos dan berubah menjadi anak berandalan.
Gina merasa cemas melihat perubahan tingkah laku putinya. Ia langsung menelepon mantan suaminya karena merasa khawatir. Keesokan harinya papa Sivia langsung datang.
Tapi, kedatangan papanya tidak membuat Sivia menjadi tenang, mallah kebalikannya. Dia bahkan tidak mau berbicara sepatah kata pun pada mantan suaminya itu karena masih kecewa dan sakit hati. Usulan mengunjungi psikiater yang disarankannya, dan disetujui oleh papa Sivia, tidak digubris. Ia malah semakin jauh dari kedua orangtuanya. Tak terasa sudah satu tahun berlalu, Sivia masih tetap keras kepala dan tidak mau berbicara pada papanya.
***
Gina membuka matanya dan menatap sedih ke kamar anaknya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia hanya berharap semoga Sivia mau berbicara dengan papanya di telepon kali ini..
***
Terdegar HP Sivia berbunyi di kamarnya. Sivia mengangkat HP-nya dari meja dan melihat siapa yang meneleponnya. Papa. Sivia membiarkannya berdering tanpa henti selama lima menit. Dia tidak mau berbicara pada siapa pun juga saat ini. Dan Sivia tahu Papa hanya akan menyuruh untuk melunak pada Mama. Satu hal yang tidak ingin ia lakukan. Saat ini dia malas berbicara pada kedua orangtuanya. Dia tidak butuh nasihat apa pun. Dia hanya ingin sendirian.
Ketika berdering lagi, Sivia memutuskan untuk mematikan HP dan menaruhnya kembali ke meja. Sivia berusaha memejamkan matanya, dan tak lama kemudian dia tertidur.
***
Keesokan harinya Sivia menemukan Alvin di ruang musik.
“Hai!” sapa Alvin ketika melihat kedatangan Sivia.
“Kau selalu main setiap hari?” tanya Sivia
“Tidak juga!” kata Alvin. “Kau bisa main piano?”
“Dulu waktu kecil!” kata Sivia jujur. “Sekarang aku sudah lupa semuanya!”
Sivia tidak tahu mengapa dia berada di sini, tetapi suara music Alvin anehnya telah membuat hatinya tenang dan nyaman. Bukan reaksi yang ia harapkan sebelumnya.
“Tidak apa-apa!” kata Alvin tersenyum. “Aku bisa mengingatkanmu lagi!”
“Aku tidak mau main piano!” kata Sivia tegas. “Aku sudah bilang, jangan pernah ikut campur urusanku!”
Alvin memainkan lagu baru. “Aku hanya mau menjadi temanmu!”
“Sudah berapa kali kubilang, aku tidak mau!” kata Sivia keras.
Alvin malaha tersenyum lagi mendengarnya. “Aku kan sudah bilang tidak apa-apa!”
Mereka terdiam sesaat sambil beradu pandang.
“Ada satu hal yang menarik perhatianku kemarin!” lanjut Alvin.
Sivia tersenyum sinis. “Kenapa? Kau tidak pernah melihat orang mencuri sebelumnya?”
Alvin menggeleng lalu berkata lagi, “Kau bisa mencuri CD lagu apa saja, tetapi kenapa memilih The Sound of Music?”
Tatapan mata Alvin membuat Sivia brdiri dengan gelisah. “Karena aku menyukai salah satu lagu di dalamnya!”
“Lagu yang mana?” tanya Alvin sambil menatap Sivia lagi dengan lembut.
Do-Re-Mi!” jawab Sivia.
“Alvin mengangguk lalu dia memainkan lagu tersebut dengan pianonya. Mendengar lagu terseut setelah sekian lama membuat Sivia mengenang masa lallu. Perlahan-lahan Sivia melangkah mendekati Alvin. Kemudian duduk di sampingnya.
“Sudah lama aku tidak mendengar lagu ini!” ujar Sivia lemah. “Papa sering memainkannya untukku sewaktu aku kecil!”
Dan hal itu selalu membuatku nyaman, renung Sivia dalam hati.
Ketika dentingan piano berakhir, Sivia memandang Alvin dengan lembut.
“Bisakah kau memainkannya lagi?” pintanya.
Tanpa berkata apa-apa Alvin memainkannya lagi.
Lama-kelamaan kenangan lama bermunculan di benak Sivia. Kenangan bahagia dan juga kenangan pahit ketika Papa meninggalkannya. Semua itu membuat Sivia ingin menangis. Perasaan itu muncul kembali. Sakit hati. Kecewa. Marah. Sedih.
Merasa tidak tahan lagi, Sivia menghentikan permainan piano Alvin dengan menekan tuts piano di depannya dengan keras.
Seketika itu juga Alvin menghentikan permainannya. “Ada apa?”
Sivia menatapnya dengan tajam, “Apakah menurutmu seseorang bisa mencintai dan membenci orang yang sama pada saat yang bersamaan?”
Alvin tidak menjawab.
Sivia bangkit dari kursinya dan berlari keluar dari ruangan.
Alvin terdiam tidak bergerak. Sesaat tadi Sivia sempat merasa tenang di samping Alvin, tetapi tiba-tiba sesuatu telah membuatnya gusar. Ketika Alvin mengatakan dia iri pada Sivia, dia mengatakan yang sebenarnya. Pertama kali Sivia muncul di ruang music ini, Alvin merasakan energy kehidupan terpancar dari gadis itu. Sewaktu mengamatinya main voli, energy itu semakin bersinar. Dan Sivia satu-satunya orang yang tidak memperlakukannya seperti seseorang yang lemah, walaupun dia sudah mengatakan penyakit yang dideritanya.
Sementara itu, Sivia berlari menuju kelasnya. Napasnya terengah-engah. Berapa kali pun kenangan itu muncul, perasaan Sivia tetap kacau. Karena sesungguhnya sebenci apa pun dia pada papanya, dia tetap merindukannya.
Selama pelajaran berlangsung, Sivia tidak mendengarkan satu pun perkataan para guru yang mengajar di depannya. Ketika salah satu guru mennyakan sesuatu kepadanya, Sivia tidak menjawab sama sekali. Guru tersebut marah karena merasa diabaikan.
Sivia tetap berdiam diri. Malah dirinya sengaja menggambar seorang murid yang sedang mengantuk di mejanya dengan bolpoin. Melihat hal itu guru tersebut langsung mengusir Sivia keluar dari kelas, karena jelas-jelas Sivia tidak berkonsentrasi mengikuti pelajaran.
Sivia malah tersenyum kurang ajar, “kenapa tidak bilang dari tadi?” Lalu dengan santainya dia keluar dari kelas.
Pelajaran selanjutnya Sivia sama sekali tidak memerhatikan dan sengaja tidur di bangkunya. Ketika istirahat tiba, salah seorang murid, yang ternyata si ketua kelas, berkata kepadanya.
“Bisakah kau menghapus papan tulis? Kami sudah memutuskan kalau hari ini giliranmu piket!”
Sivia melotot memandangnya.
Si ketua kelas mengurungkan niatnya melihat tatapan mata Sivia. Dia tidak mau bermasalah dengan Sivia. Akhirnya dia berjalan menjahui Sivia dan menghapus sendiri papan tulis tersebut. Sivia merebahkan diri di mejanya dan menutup matanya. Hari ini berjalan lambat sekali, keluhnya dalam hati.
“He, tebak, siapa yang mendapat nilai paling tinggi saat ujian uji coba EBTANAS minggu lalu?” salah seorang murid di depan Sivia berkata dengan antusias.
“Siapa?” tanya murid di sebelahnya.
“Alvin! Anak 3 IPA 1,” katanya, “hebat sekali dia!”
“Bukankah sejak kelas satu dia selalu mendapat juara satu? Lalu minggu kemarin juga dia menjuarai lomba piano itu, kan?”
“Wah, seandainya saja aku punya otak sehebat dia! Pasti mamaku tidak akan rewel, ketakutan aku tidak lulus!”
“Memangnya Cuma mamamu yang rewel? Mamaku malah mengancam akan menghukumku kalau sampai tidak lulus!”
Pembicaraan kedua orang itu membuat Sivia terdiam. Ternyata Alvin adalah murid yang pandai. Jadi sekarang selain tukang ikut campur, disukai guru, jago main piano, ternyata dia pandai juga? Keluh Sivia. Benar-benar tipe murid teladan sejati.
Sivia penasaran apa yang akan dipikirkan kedua orang di depannya kalau dia mengatakan si teladan yang dibicarakan mereka setelah meminta dirinya untuk menjadi temannya. Pasti mereka tidak akan percaya. Ada satu hal yang mengganggu perasaan Sivia. Tadi untuk sesaat, dia benar-benar tersentuh mendengar permainan piano Alvin dan tatapannya yang tulus. Satu hal yang jarang Sivia rasakan selama satu tahun ini.
Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, Sivia bangkit dari tempat duduknya dan berlari menuju gerbang sekolah. Tentu saja dia tahu kalau hari ini dia harus membersihkan WC sepulang sekolah sebagai hukuman merokok dan membolos kemarin, tetapi Sivia tidak akan melakukannya.
Sepulang sekolah Pak Duta mendatangi WC sekolah dan tidak melihat seorang pun di dalamnya. Dia mengangkat bahu. Dalam hati merasa kecewa. Tak lama setelah Pak Duta meninggalkan WC, Alvin melangkah ke tempat itu. Dia juga tidak melihat Sivia di sana. Alvin terdiam. Perkataan Sivia saat pertemuan pertama terngiang-ngiang di benaknya.
“Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi saat kau mengucapkan selamat tinggal padaku!
Kini Alvin tahu apa maksudnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar