Rabu, 30 Mei 2012

3600 Detik (versi Alvia) Part 1

SIVIA berjalan memasuki sekolah barunya. Hari masih pagi. Dia tidak melihat seorang murid pun disekitarnya. Matahari pagi menyinari rambutnya yang dicat merah, sangat sesuai dengan kukunya yang juga dicat dengan warna serupa. Sivia memandang sekolah barunya sepintas lalu. Beberapa kali pun ia pindah sekolah, hasilnya hanya membuatnya semakin kesal. Toh dia sudah tak berminat sekolah.
Sebenarnya Sivia merasa bosan karena harus mengulang pelajaran yang sama di tahun ini, karena tahun kemarin dia tidak lulus ujian SMA. Mama benar-benar kecewa terhadapnya. Setelahberpikir matang-matang dan karena hotelnya membuka cabang baru, beliau pun memutuskan untuk pindah ke luar kota dan menyekolahkan Sivia di kota baru tersebut. Sivia tahu ibunya berharap awal yang baru dan lingkungan yang baru dapat membuatnya barubah.
Sivia berhenti di lorong kelas barunya.
“Jadi ini sekolah baruku!” katanya dalam hati.
Sivia tahu saat itu juga bahwa dia tidak akan bertahan lama. paling satu atau dua minggu. Tiba-tiba kupingnya menangkap suara merdu yang mengalun dari ruang di lorong itu. Suara piano itu sangat jernih dan indah, membuat Sivia bergerak mendekati.
Di dalam ruangan itu ia melihat seorang murid cowok sedang memainkan piano.
Setiap dentingan tuts piano yang dimainkan membuat perasaan Sivia berangsur tenang. Setelah lagu berakhir, Sivia terdiam sambil memandangi pemuda itu. Seolah merasa ada yang memperhatikan, pemain piano tersebut menoleh ke belakang, tatapannya bertemu dengan Sivia.
Dia tersenyum.
Sivia balas tersenyum sambil menyapa, “Hai!”
“Hai!”
Sivia memperhatikan cowok itu dari atas sampai bawah. Pakaiannya sangat rapi, rambutnya juga dipotong pendek di atas kerah. Sangat kontras dengan Sivia yang berantakan. “Tipe murid baik!” desahnya dalam hati.
“Eh, kau murid baru, ya?” tanya cowok itu. “Rasanya aku belum pernah melihatmu!”
Sivia tersenyum kecil. “Ya! Baru pindah hari ini!”
“kalau begitu, selamat datang!” katanya lagi.
Sivia mendesah. Dia tidak mau bergaul dengan murid seperti cowok di hadapannya itu. Terlalu membosankan.
“Nggak usah bersikap ramah!” tegas Sivia.
Kata-kata itu membuat si pemain piano kaget. “Kenapa?”
Sivia menatapnya tajam. “Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi, saat kau mengucapkan selamat tinggal padaku!”
Setelah itu Sivia membalikkan tubunya dan berjalan keluar dari ruangan.
Sementara itu Alvin, si pemain piano, tertawa perlahan. Baru kali ini dia bertemu cewek yang sikapnya lain dari yang lain.
Ketika bel tanda masuk berbunyi, Sivia melenggang masuk kelas dengan santai. Teman-teman sekelasnya menoleh ke arahnya dengan tatapan ingin tahu. Sivia yakin mereka pasti akan membicarakan dirinya seharian ini. Matanya melirik pakaian seragam yang dikenakan teman-teman perempuannya. Semua baju seragam dimasukkan ke dalam rok dengan rapi, dan di pinggang mereka melingkar ikat pinggang hitam serupa. Rupanya Mama Sivia telah memasukkan dia ke sekolah beretiket tinggi. Sivia jadi ingin tersenyum sendiri.
Pak Duta, guru wali kelas 3 IPA2, yang juga guru fisika, mengenalkan Sivia pada teman-teman sekelasnya.
“Ada yang mau kausampaikan, Sivia?” lanjut Pak Duta. Ia sudah tahu bahwa murid bari ini murid bermasalah.
Sivia menjawab dengan singkat. “Tidak!”
Pak Duta sedikit terkejut. “Tidak ada? Tidak mau menjelaskan tentang hobimu atau yang lainnya?”
Sivia memandang Pak Duta dengan tatapan bosan. “Tidak!”
“baiklah.” kata Pak Duta, menyerah. “Kau boleh duduk.”
Ketika Sivia berjalan ke arah tempat duduknya, Pak Duta melihat blus seragam Sivia yang setengah keluar dari roknya.
“Sivia!” katanya lagi. “Bisakah kau merapikan pakaian seragammu?”
Guru wali kelas yang cerewet sekali! keluh Sivia dalam hati.
Sivia menoleh ke arah Pak Duta, lalu dengan tenang sengaja mengeluarkan seluruh blus seragamnya dari roknya. Setelah itu dia duduk di tempat duduknya.
Pak Duta mendesah melihat tingkah laku murid barunya itu tetapi tidak mengatakan apa-apa. Tak berapa lama kemudian dia sibuk menjelaskan rumus-rumus di depan papan tulis. Sivia mendengarkan penjelasan tersebut sambil menguap lebar. Hari ini bakal lama sekali, pikir Sivia tidak tenang.
***

Pelajaran olahraga adalah satu-satunya pelajaran yang menarik minat Sivia. Dia tidak perlu merasa bosan mendengarkan rumus-rumus aneh di dalam ruangan sementara semua orang memperhatikan sang guru. Sivia lebih suka udara terbuka. Dan satu-satunya kesempatan hanya saat pelajaran olahraga. Dia memukul bola voli di tangannya keras-keras. Bola tersebut melambung tinggi ke daerah lawan dan jatuh tanpa ada yang bisa mengembalikannya. Sivia tertawa. Dia suka saat-saat seperti ini. Sivia menutup matanya dan menghirup udara segar. Setelah itu dibukanya mata dan tanpa sengaja tatapannya beradu dengan seseorang. Si cowok pemain piano itu memperhatikan dirinya dari lantai dua gadung sekolah.
Sivia tidak senang kalau ada orang yang diam-diam memperhatikannya. Dibalasnya tatapn cowok itu dengan sinis. Sivia mengalihkan pandangannya pada teman di sebelahnya.
“Hei!” katanya. “Kau tahu nama cowok itu?”
Temannya, yang memang agak takut dengan perangai Sivia, langsung menjawab, “Ya. Alvin!”
Sivia menatap cowok yang bernama Alvin itu sekali lagi dan memberikan tatapan peringatan padanya. Saat Sivia mendapat giliran untuk serve bola, dia melambungkan bola tersebut tepat ke arah muka Alvin.
Di lantai dua, dalam perjalanannya kembali dari toilet, Alvin tidak menyangka akan melihat si Rambut Merah yang ditemuinya tadi pagi di lapangan voli. Ia menatap gadis itu. Namun gadis itu marah dan melambungkan bola ke arahnya.
Sesaat sebelum bola tersebut mengenai mukanya. Alvin menghindar. Bola tersebut jatuh tak jauh dari tempatnya berdiri. kemudian dia mengambil bola voli tersebut dan menatap si Rambut Merah. Dengan tenang dilemparnya bola tersebut padanya sambil tersenyum, lalu masuk ke kelasnya.
Sivia dengan segera menangkap bola tersebut dengan wajah kesal.

***

Pulang sekolah, Sivia terkejut melihat ibunya sudah menunggunya.
“Jadi, bagaimana hari pertamamu?” tanya Mama tanpa basa-basi.
Sivia menatap ibunya tanpa ekspresi.
“Kau masih tidak mau bicara sama Mama?”
Sivia tetap diam.
“Mama mengerti kau sedih. Tapi setidaknya bicaralah pada Mama. Sudah hampir satu tahun kelakukanmu tidak berubah. Mama perduli padamu!”
“Benarkah?” tanya Sivia kamudian.
“Ya! Tentu saja Sivia! Bagaimanapun kau anak Mama!”
“Mama lebih peduli pada pekerjaan Mama daripada aku!” jawab Sivia ketus.
“Itu tidak benar!” kata Mama keras.
Sivia menatap wajah ibunya tanpa emosi. “Tentu saja itu benar! Itu sebabnya Papa pergi meninggalkan Mama!”
“Sivia! Cukup!”
“Mama ingin aku mengatakan perasaanku?” balas Sivia sambil berteriak juga. “Oke! aku tidak sedih, aku marah. Aku marah pada Papa karena dia meninggalkan aku, dan aku marah pada Mama karena membuatku tinggal di sini! Puas?”
Sivia berlari keluar sambil membanting pintu depan. Dia tidak mau lagi bertatap muka dengan mamanya hari ini.
Dua jam kemudian, Sivia menatap dirinya di cermin kamar mandi sebuah mal. Dia beru saja menindik hidungnya dengan anting-anting kecil yang di lihatnya beberapa saat lalu. Sivia yakin teman-teman sekolahnya akan sangat terkejut besok. Terus terang Sivia tidak perduli, dia memang tidak ingin bertahan lebih lama lagi di sekolahnya. Semakin cepat dikeluarkan semakin bagus. Biar saja Mama kalang kabut mencari sekolah baru.
Sivia keluar dari kamar mandi dan berjalan-jalan di dalam mal. Dia melihat toko musik dan memasukinya. Pandangan matanya jatuh pada sebuah CD dan dia mengambilnya. Tiba-tiba saja Sivia mendapat ide dan tersenyum. Dia akan membawa CD itu keluar dan sengaja dan membiarkan dirinya tertangkap. Pasti Mama akan sangat marah padanya. Siapa tahu hal itu juga bisa membuatnya dikeluarkan dari sekolah lebih cepat dari rencana semula.
Dengan langkah santai, Sivia keluar membawa CD di tangannya. Saat tiba di pintu kaluar, seorang satpam menghampirinya.
“Maaf,” katanya, “tapi Anda belum membayar CD yang Anda bawa!”
Sivia tersenyum manis. “Memang! Jadi kenapa?”
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan berkata, “Di sini kau rupanya!”
Sivia menatap orang yang menepuk pundaknya. Cowok itu lagi! Si pemain piano sekolahnya.
Alvin menatap Sivia sambil tersenyum. Dia sudah memerhatikan Sivia sejenak gadis itu memasuki toko musik. Dan dia tahu Sivia melakukan hal tadi dengan sengaja.
“Maaf, Pak!” lanjut Alvin. “Dia teman saya! Saya menyuruhnya membawakan CD ini ke kasir, tapi sepertinya dia keluapaan berjalan ke pintu keluar!”
Si satpam terlihat curiga. “Apa benar begitu?”
Saat Sivia mau bicara, Alvin langsung memotongnya. “Ya benar! Lagi pula kalau dia memang berniat mencuri CD, kenapa dia tidak memasukkannya saja ke tas biar tidak terlihat? Teman saya ini malah membawanya secara terang-terangan.”
Si satpam terdiam mendengar penjelasan Alvin. Di sampinya, Sivia benar-benarterlihat kesal. Dia tidak suka orang yang mencampuri urusannya. Tetapi sebelum Sivia berkata sesuatu, Alvin sudah mengambil CD di tangannya dan berkata lagi pada pak satpam.
“Kalau begitu saya bayar dahulu CD ini, Pak! Sekali lagi saya minta maaf” Alvin berkata dengan tulus sehingga mau tak mau pak satpan tersenyum padanya.
“Tidak apa-apa!” katanya.
Sivia menatap Alvin yang berjalan ka arah kasir. Saat kaluar dan menjahui toko musik, Sivia mencekal lengan Alvin, memaksa pemuda itu menghentikan langkahnya.
“Heh! Kurang kerjaan, ya?” teriaknya. “Untuk apa ikut campur urusan orang?”
Alvin tersenyum. “Seharusnya kau bilang terima kasih dan aku akan membalasnya dengan bilang sama-sama!”
Sivia berkacak pinggang sambil mengacung-acungkan telunjuknya. “Dengar, ya! Aku tidak suka orang sepertimu! Aku hanya akan memperingatkan sekali ini saja! Jangan ikut campur urusanku, atau kau akan menyesal!”
Sivia terengah-engah setelah berteriak pada Alvin. Ditatapnya Alvin yang hanya berdiri dengan tenang mendengarkan semua teriakannya.
“Heh! Denger tidak?” teriak Sivia lagi.
Alvin mengangguk.
Sivia memandang Alvin dengan bingung “Kenapa dia hanya diam seperti patung?” pikirnya.
“Kau ngerti maksudku nggak?” seru Sivia lagi.
Alvin mengangguk untuk kedua kalinya.
Sivia menjadi semakin bingung. “Mana suaramu? Kenapa sekarang kau cuma diam? mendadak bisu ya?”
Alvin menggeleng.
“Jadi kenapa diam saja sekarang?”
Alvin masih diam.
Benar-benar orang aneh, kata Sivia dalam hati. Tadi di toko musik biacara panjang-lebar, sekarang malah diam seribu bahasa.
“Kenapa? Kau sakit?” tanya Sivia, suaranya agak lembut.
Pertanyaannya itu sempat membuat Alvin terjekut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Pertanyaan itu sempat membuat Alvin terkejut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Sivia tidak mau melayani permainan Alvin lagi. Untuk terakhir kalinya ia mengancam, “Pokoknya aku tidak mau kau ikut campur urusanku lagi!! Awas saja!”
Setelah berkata demikian Sivia memutar tubunya, menginggalkan Alvin.
Alvin tersenyum kecil. Diandanginya CD yang ada di tangannya. The Sound of Music. Dia memasukkan CD tersebut ke tasnya lalu keluar dari mal. Tak berapa lama kemudian, Alvin memasuki rumah sakit yang jauhnya hanya 500 meter dari sana.
“Dari mana saja kau?”
Sang dokter menghampiri Alvin dengan wajah panik.
“Jalan-jalan!” kata Alvin.
“Alvin…,” kata dokter itu.
“Aku tahu tidak seharusnya aku kabur!” kata Alvin. “Tapi aku bosan sekali! Maafkan aku, Pa!”
Sang dokter yang ternyata ayah Alvin mendesah, “Tidak apa-apa! Lain kali kalau mau jalan-jalan bilang Papa dulu! Sudah makan belum?”
Alvin menggeleng.
Papa tersenyum sambil merangkul pundak putranya “Ayo, kita cari makan!”
Alvin mengikuti langkah papanya. Kalau dia tidak kabur dari rumah sakit, pasti dia tidak akan bertemu dengan si Rambut Merah. Alvin menyebutnya seerti itu sejak pertama kali bertemu dengannya. Kemudian dia tahu dari teman-teman sekelasnya bahwa si Rambut Merah itu bernama Sivia. Dia juga mendengar kekanak-kanakaan apa saja yang sudah diperbuat Sivia. Gosip memang menyebar dengan cepat.
Sewaktu Sivia marah-marah di mal tadi, Alvin benar-benar terkejut. Seumur hidup belum pernah ada orang yang berteriak di depannya. Pengalaman baru tadi membuatnya merasa asing sekaligus terkesan. Yang pasti bukan perasaan takut, tapi lebih pada perasaan senang.
“Apa yang membuatmu tersenyum-senyum seperti itu?” Suata papanya memasuki pikiran Alvin.
Alvin meneguk minuman di depannya.

“Siapa?” Papa bertanya seraya mengangkat alis.
“Teman sekolah!” jawab Alvin singkat. “Dia anak baru!”
“Kau mau membicarakannya dengan Papa?”
Alvin menggeleng. “Tidak! Nanti saja, bukankah sekarang waktunya pemeriksaan?”
Papa menatap jam yang ada di kantin, lalu mengangguk. “Ayo!”
Alvin sudah mengenal rumah sakit ini sejak kecil. Bisa dikatakan rumah sakit ini adalah rumah keduanya, karena sejak kecil ia sudah keluar-masuk rumah sakit. Alvin tak banyak mengenal kagiatan lain selain berobat, belajar di sekolah, les di rumah, dan sesekali ke mal.
Bunga mawar merah di taman rumah sakit mengingakannya pada rambut Sivia. Alvin tertawa kecil. Entah mengapa ingatan akan Sivia membuatnya lebih rileks dalam menjalani pemeriksaan.

***

Suasana kelab di malam hari tampak ramai . Sivia mengamati keadaan di sekelilingnya dengan bosan. Alasan satu-satunya dia berada di sini adalah karena tidak ingin pulang ke rumah dan berhadapan dengan ibunya. Suara musik yang sangat keras benar-benar sesuai dengan hatinya saat ini. Dinyalakannya sebatang rokok untuk melepas ketegangan. Sivia ingat ketika pertama kali mencoba merokok. Ia melakukannya sewaktu ayahnya pergi ke luar negri tidak berapa lama sesudah sidang perceraian. Karena belum pernah merokok, dia batuk-batuk sampai keluar air mata. Keesokan harinya dia malah mencoba mengisap dua batang rokok sekaligus. Lama-kelamaan Sivia mencoba segala jenis merek rokok yang ditemuinya, tetapi tidak ada satu pun yang bisa mengobati rasa sakit hatinya.
Hatinya nyeri luar biasa setelah kehilangan satu-satunya orang yang dia percayai. Dia tidak menyangka ayahnya akan setega itu meninggalkannya dengan Mama. Padahal Papa tahu dia tidak pernah aku dengan Mama. Mulai saat itu, Sivia tidak pernah lagi percaya pada siapa pun. Dia berhenti peduli pada orang-orang di sekitarnya. Dia juga berhenti peduli terhadap dirinya sendiri. Luka di dalam hatinya tidak kunjung sembuh.
Tiba-tiba pikirannya melayang pada kejadian siang tadi di toko musik. Rencananya pasti berhasil jika saja Alvin tidak menghalanginya. Ada sesuatu yang aneh pada diri Alvin yang tidak dimengerti oleh Sivia. Tapi pikirannya itu hanya singgap sejenak di benaknya, karena perhatian Sivia langsung beralih pada orang-orang yang bergoyang mengikuti irama musik. Dimatikannya rokok yang masih tinggal setengah, dan silangkahkannya kaki menuju lantai dansa. Selama satu jam dia bergoyang tanpa henti. Setelah puas, Sivia kembali ke tempat duduknya.
Seorang pria menghampirinya.
“Hai!” katanya. “Goyanganmu boleh juga.”
Sivia menoleh acuh tak acuh pada pria itu.
Si pria duduk di sebelah Sivia. “Mau ikut jalan-jalan denganku?”
“Tidak!” jawab Sivia ketus.
Si pria tersenyum menggoda. “Ayolah!” katanya. Tangan pria itu memegang tangan Sivia dengan lembut. “Kau pasti tidak akan menyesal!”
Sivia menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam.”Lepaskan tanganmu!”
Pria tersebut malah menggenggam tagan Sivia semakin erat. “Oh! Kau sok jual mahal! Tidak apa-apa, aku suka kok cewek yang tidak gampang menyerah!”
“Aku bilang jangan sentuh tanganku!!!!” teriaknya pada pria itu.
Sivia menarik tangannya dari genggaman pria itu lalu berdiri. Dilemparnya kursi yang tadi didudukinya ke arah pria itu. Si pria terkejut bukan main dan langsung menghindar. Kursi tadi bisa saja mengenai kakinya.
“Kau gila, ya????” tanya pria itu.
Sivia memandang pria itu tanpa ekspresi lalu berbalik dan melangkah pergi. Si pria yang tidak puas diperlakukan seperti itu merenggut baju Sivia, membalikkan tubuhnya sampai berhadapan dengan tangan siap menampar gadis itu.
“Kurang ajar sekali kau!” katanya kemudian.
Sivia menatap lurus pria di depannya. “Silahkan! Pukul saja aku!”
Si pria terpaku mendengar perkataan Sivia.
“Kenapa?” tanya Sivia lagi. “Ayo pukul! Semakin keras semakin baik!”
Si pria sudah nyaris menamparnya menjadi ragu mendengar perkataan Sivia yang terakhir tadi. Ia melepas cengkramannya di baju Sivia.
“Cewek aneh!” desis pria itu sambil berlalu dari hadapan Sivia.
Sivia sungguh berharap orang tersebut memukulnya tadi. Toh hal itu tidak akan bisa menandingi sakit hatinya. Kerumunan orang yang berada di sekitar Sivia terdiam. Saat Sivia melemparkan kursi ke arah pria tadi, semua mata memandangnya.
“APA!!!” teriak Sivia pada mereka. “Kalian mau memukulku juga?!! Ayo, pukul aku!”
Sivia berjalan ke arah penontonnya dan memandang salah seorang di antaranya, “Ayo, coba kaupukul aku!” Sivia mengatakannya dengan santai.
Si penonton malah beranjak darinya, dan perlahan-lahan kerumunan tersebut bubar. Sivia tertawa sendiri dan keluar dari kelab. Ketika melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ketika sampai di rumah, orang yang tidak ingin ia temui sedang menunggunya di ruang tamu.
“Dari mana saja kau?” teriak Mama saat Sivia memasuki rumah.
Sivia tidak menjawab.
“Apa itu?” tanya Mama lagi saat melihat anting-anting di hidung Sivia. “Kau menindik hidungmu?!”
“Ya!” kata Sivia enteng. “Keren, kan?”
“Mama mau kau melepaskan anting-anting itu sekarang juga!” Ibunya histeris.
Sivia tertawa sinis. “Yeah! aku juga mau Papa berada di sini! Tapi kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?”
Sivia berlari ke lantai atas, ke kamarnya.
“Sivia!” teriak Mama sambil menyusul Sivia ke lantai atas.
Sivia menerjang masuk ke kamarnya sambil membanting pintu di depan Mama dan menguncinya.
“Sivia! Buka pintunya! Mama belum selesai berbicara!” Ibunya menggedor-gedor pintu kamar Sivia dengan kencang.
“Tapi aku sudah selesai bicara!” balas Sivia.
Sivia duduk di kursi meja belajarnya dengan napas terengah-engah. Dan ia semakin kesal begitu melihat foto keluarganya. Dalam foto tersebut Papa memeluk Sivia yang masih balita; di sebelah Papa, Mama memegang tangannya sambil tersenyum. Salah satu kenangan bahagia yang diingat Sivia.
Gedoran di pintu kamarnya membuat Sivia kesal. Dibantingya foto tersebut ke arah pintu sampai pecah berantakan. “Pergi!!” teriaknya. “Jangan ganggu aku lagi!”
Seketika itu juga gedoran berhanti. Lalu terdengar langkah kaki menuruni tangga.
Sivia menatap wajahnya di cermin. Tampangnya sangat berantakan. Tangannya merogoh kantong celananya, mengeluarkan bungkus rokok. Diambilnya satu dan dinyalakannya rokok tersebut. Setelah rokok itu habis, Sivia naik ke tempat tidur dan tertidur tak beberapa lama kemudian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar