SIVIA menatap rumahnya dengan perasaan hampa. Sebesar apa pun
rumahnya, tidak ada kehangatan di dalamnya. Walaupun banyak pembantu
yang berada di rumahnya untuk memasak, memotong rumput, membersihkan
rumah, Sivia tetap merasa kesepian. Bahkan ketika mamanya ada juga, dia
tetap merasa kesepian. Sivia tahu banyak orang yang ingin bertukar
tempat dengannya untuk menjalani kehidupan mewah seperti itu, tetapi
Sivia malah tidak menginginkannya sama sekali.
Setelah meletakkan
tasnya di kamarnya, Sivia bersiap-siap berganti pakaian untuk pergi ke
sebuah kelab. Ketika melihat uang di dompetnya habis, dia menuju kamar
mamanya. Satu-satunya saat dia melihat kamar mamanya adalah saat dia
membutuhkan uang. Sivia membuka lemari dan laci-lacinya. Dia tidak
menemukan apa yang dicarinya di sana.
Lalu dia melangkah ke atas
meja rias mamanya. Sivia menarik lacinya. Tidak ada uang, tetapi ada
kartu kredit dan jam tangan emas mamanya. Sivia tersenyum. Diambilnya
kartu kredit tersebut dan dikenakannya jam tangan emas itu di
tangannya. Apa yang akan dipikirkan mamanya kalau dalam satu hari dia
menghabiskan limit kartu kredit itu. Ketika Sivia hendak menutup laci
itu lagi, pandangannya jatuh pada selembar undangan yang ada di sana,
yang baru ia perhatikan keberadaannya.
Karena penasaran Sivia
mengambilnya dan membuka isinya. Rasa terkejut menerjangnya hingga ia
terduduk di kursi rias. Dia tidak memercayai isi undangan itu. Sivia
menarik napas pendek-pendek untuk menahan amarahnya. Dia meremas
tangannya lalu memorak-porandakan seluruh barang yang ada di meja rias
mamanya. Dan berteriak keras.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Sivia
melihat dengan kesal. Papanya menelepon lagi. Dia langsung memutuskan
hubungan telepon itu. Setelah tiga kali mencoba menghubungi Sivia dan
terus ditolak, papa Sivia akhirnya memutuskan untuk mengirim SMS.
Hubungi Papa. Papa ingin berbicara denganmu.
Sivia
membacanya lalu langsung menghapus pesan itu. Setelah itu ia mematikan
HP-nya. Sivia benar-benar sebal pada papanya. Dengan perasaan marah, ia
berjalan ke ruang tamu dan duduk di sana sampai mamanya pulang.
Ketika
Ginapulang dari kantor sore harinya, ia mendapati Sivia duduk dengan
tenang di ruang tamu. Ia terkejut karena Sivia menungguinya.
“Ada apa?” Gina meletakkan tas kerja dan kunci pintu rumah di meja lalu berjalan ke arah putrinya.
Sivia melemparkan undangan yang ditemuinya siang tadi ke meja. Ia melihat undangan tersebut dan wajahnya langsung memucat.
“Apa ini?” tanya Sivia dingin.
“Sivia….,” katanya dengan lemah.
“Mama mau menyimpannya sampai kapan?” teriak Sivia. “Kapan Mama mau memberitahu aku!?”
“Sivia…,” ujarnya berusaha menenangkan Sivia, “Mama akan memberitahumu besok!”
“Mama
bohong!!!!” teriak Sivia. “Undangan itu dikirim seminggu lalu. Kenapa
Mama tidak memberitahuku saat itu? Aku benci Mama!!!!!!!”
Sivia
berlari ke luar ruangan sambil membanting pintu. Di dalam rumah, Gina
duduk dengan lelah di ruang tamu. Dia melihat undangan di depannya
sambil mendesah. Dia tahu cepat atau lambat Siviaakan mengetahuinya
juga. Hanya saja dia mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya.
Tak
berapa lama kemudian, Sivia tiba di sebuah kelab. Ditunjukkannya KTP
palsu yang pernah ia buat unttuk memalsukan umurnya yang sebenarnya.
Sivia tidak menyangka membuat KTP palsi begitu mudah ketika uang tidak
menjadi masalah. KTP palsu itu sering dia perlukan kalau ingin memesan
minuman keras. Penjaga kelab memerhatikan KTP di tangannya dan melihat
orang di hadapannya.
Sivia balas menatap penjaga kelab tersebut
dengan tenang. Dia sudah sering melakukan ini puluhan kali san selalu
berhasil. Sivia selalu terlihat percaya diri dan tidak panic. Si
penjaga kelab mengembalikan KTP Sivia dan mempersilahkannya masuk.
“Terima kasih!” kata Sivia dengan sopan.
Sivia duduk di restoran klab itu, dan beberapa saat kemudian seorang pelayan menawarkan menu padanya.
“Saya minta semua yang ada di menu!” kata Sivia langsung tanpa basa-basi.
“Semua?” tanya pelayan itu bingung.
“Iya! Semuanya! Sekarang juga!” kata Sivia kesal.
Si pelayan pergi tanpa berkata-kata lagi.
Sivia
mengeluarkan bungkus rokok dari tasnya dan mulai merokok. Dia tidak
tahu lagi sudah mengisap rokok beberapa banyak hari itu, tetapi
kegalauan hatinya tidak kunjung mereda. Akhirnya Sivia memejamkan mata,
mencoba melupakan segalanya. Ketika dia membuka matanya kembali, meja
di depannya sudah penuh dengan berbagai macam makanan dan minuman.
Sivia
bangkit berdiri dan menghampiri kasir. Dia mengeluarkan kartu kredit
mamanya. Saat penjaga kasir menyodorkan bonnya, Sivia dengan mudah
meniru tanda tangan mamanya, seperti yang tertera di kartu kredit
tersebut. Dia sudah sering kali meniru tanda tangan mamanya. Terutama
jika guru-gurunya yang terdahulu memintanya untuk mendapatkan tanda
tangan tersebut saat nilai ulangan Sivia jelek. Sivia tidak merasa
menyesal ketika dia keluar dari kelab itu tanpa menyentuh makanan yang
dipesannya sama sekali.
***
Keesokan harinya Alvin mengunjungi kelas Sivia.
Kedatangan
Alvin membuat semua murid kelas 3 IPA2 memandang ke arahnya. Pandangan
Alvin menyapu seluruh ruangan, tetapi dia tidak menemukan orang yang
dicarinya.
“Permisi!” kata Alvin pada seorang murid kelas itu. “Kau tahu Sivia di mana?”
Murid di hadapan Alvin merasa heran. “Aku tidak tahu! Hari ini dia tidak masuk sekolah lagi!”
Perasaan kecewa menghinggapi diri Alvin. Kenapa dia bolos lagi?
“Terima kasih!” kata Alvin sambil berjalan keluar dari kelas.
Siang
itu Alvin hanya bisa mengikuti pelajaran setengah hari karena harus
melakukan pemeriksaan lagi di rumah sakit. Alvin berharap bisa bertemu
dengan Sivia hari itu. Alvin tidak bisa menggambarkan perasaannya saat
bertemu gadis itu. Yang pasti bukan perasaan hampa.
Sewaktu Alvin keluar dari sekolah, Pak Budi, sopir keluarganya, sudah menunggunya di depan gerbang. “Siang, Pak!” sapa Alvin.
“Siang, Alvin!” kata Pak Budi.
Pak
Budi sudah menjadi sopir keluarganya semenjak Alvin lahir, jadi beliau
sudah tahu segalanya tentang Alvin dan dia merasakan simpati yang
mendalam terhadapnya. Ia teringat saat Alvin kecil menangis ketika
diajak ke rumah sakit, Alvin kecil yang berusaha kabur setiap kali
dokter datang, atau bagaimana Alvin meminta untuk dibawa pergi ke
tempat yang tidak seorang pun mengetahuinya.
Pak Budi sangat
menyayangkan pemuda sebaik dan sepintar Alvin mendapat penyakit yang
mematikan. Sesudah membukakan pintu untuk Alvin, Pak Budi beralih ke
kursi kemudian dan menjalankan mobil.
Di tengah perjalanan, Alvin
melihat Sivia memasuki tempat biliar. Alvin pasti tidak salah melihat
karena dia bisa mengenali rambut merah itu di mana saja.
“Pak! Berhenti dulu!” kata Alvin pada Pak Budi tiba-tiba.
Pak Budi menghentikan mobilnya di tempat parkir terdekat.
“Ada apa, Alvin?” tanya Pak Budi panik.
“Tolong Pak Budi tunggu di sini sebentar!” kata Alvin sambil keluar dari mobil.
Alvin
berjalan menuju tempat biliar dan masuk ke dalamnya. Dilihatnya Sivia
sedang memainkan bola biliar di meja paling ujung. Ketika merasa
seseorang melagkah mendekatinya, Sivia langsung menoleh. Alvin adalah
salah satu orang yang tidak ingin dilihatnya hari ini.
“Apa yang kaulakukan di sini?” bentak Sivia. “Keluar! Aku tidak mau melihatmu!”
Alvin berdiri di seberang Sivia.
“Mengapa kau bolos sekolah hari ini?”
Sivia
berkonsentrasi pada sebuah bola tanpa menyimak perkataan Alvin.
Disodoknya bola itu hingga keluar papan dan menuju ke arah perut Alvin.
“Aku sudah bilang jangan pernah campuri urusanku!” kata Sivia dingin.
Alvin
mengambil bola yang jatuh di sebelahnya dan meletakkannya kembali di
papan biliar sambil memandang Sivia dengan tajam. Alvin memandangnya
beberapa saat seperti itu tanpa berkata apa-apa.
Sivia yang tidak senang diperhatikan seperti itu lama-lama membanting tongkat yang dipegangnya dan berjalan mendekati Alvin.
“Kau bisa main biliar?” tantang Sivia.
“Tidak,” jawab Alvin.
“Punya uang untuk taruhan?” tantang Sivia lagi.
“Tidak,” jawab Alvin lagi.
“Kalau begitu apa yang kau lakukan di sini?” teriak Sivia di depan hidung Alvin.
“Menemunimu,” Alvin menjabnya dengan sederhana.
“Kau memang penguntit,” gerutu Sivia sambil merengut. “Tidak punya kerjaan lain, ya?”
Alvin tidak menjawab.
“Baik!”
kata Sivia ketus. “Kalau kau tidak mau leuar, terserah.” Lalu tatapan
Sivia beralih pada orang di sebelahnya. “Ayo, kita lanjutkan!”
“Kita mau bertaruh apa?” tanya orang di sebelahnya.
Sivia
melirik jam tangan emas mamanya yang diambilnya kemarin, lalu
melemparnya kepada orang itu. “Kalau kau menang, kau boleh memiliki jam
tangan emas ini!”
“Kalau aku kalah?” tanya orang itu balik.
“Kau boleh memiliki jam tangan emas ini juga! Bukankah itu tawaran yang menarik?” jelas Sivia.
“Menang
atau kalah aku tetap dapat jam tangan emas inni!” kata orang itu sambil
mengangguk. Dia memerllihatkan jam tersebut dengan teliti. Matanya
sudah terlatih untuk melihat benda-benda berharga. Dia yakin jam tangan
yang dipegangnya adalah emas asli. “Setuju!” katanya kemudian.
Sivia
mengambil tongkat biliarnya lalu mulai bersiap-siap untuk memukul bola.
Tangan Alvin sudah berada di tangan Sivia sebelum dia sempat
menggerakkan tongkatnya.
“Apakah kau tidak lelah menyakiti dirimu sendiri?” kata Alvin perlahan.
Sivia
menyentakkan tangannya dengan kasar. “Cukup! Aku sudah tidak tahan lagi
denganmu! Apa kau berpikir dengan bertemu satu-dua kali kau sudah
mengenalku? Jangan kaukira karena kau penyakitan maka aku tidak bisa
memukulmu! Aku tidak peduli!” Sivia menunjuk dada Alvin. “Apa mungkin
itu yang harus kulakukan? Memukulmu supaya aku dikeluarkan dari
sekolah?”
Alvin hanya terdiam mengamati Sivia.
Lama-kelamaan Sivia menjadi semakin kesal. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebatang rokok.
“Kau
mau coba?” tanya Sivia sinis sambil mengulurkan rokok tersebut pada
Alvin. “Toh jantungmu sudah sakit, jadi apa salahnya mengisap satu
saja?”
Alvin mengambil rokok yang diulurkan Sivia dan membuangnya ke tempat sampah. “Tampaknya hari ini suasana hatimu sedang buruk!”
“Bukankah kau ingin jadi temanku?” tanya Sivia mengejek Alvin lagi. “Kalau begitu temani aku main biliar ini!”
Alvin
tergoda untuk menyanggupinya tetapi dia teringat Pak Budi yang sedang
menunggunya di depan. “Maaf, hari ini aku tidak bisa! Aku ada janji
lain!”
Sivia tertawa terbahak-bahak. “Aku sudah menyangkanya.
Pasti kau mau kabur ke Pak Duta dan memberitahu dia kalau aku ada di
sini sedang main biliar. Silakan saja beritahu. Aku tidak peduli. Malah
bagus, aku sudah tidak sabar ingin keluar dari sekolah itu!”
Alvin menatap Sivia dengan sedih. “Kau salah. Aku tidak akan mengadu pada siapa pun tentang keberadaanmu!”
“Ha ha ha!” tawa Sivia singkat. “Aku tidak percaya padamu! Aku tidak percaya pada semua orang! Jadi pergi saja dari hadapanku!”
Alvin menarik napas panjang. “Aku harap bertemu denganmu di sekolah besok!” Dia lalu berjalan ke arah pintu.
Sivia
tersenyum pendek. “Jangan terlalu berharap banyak, anak teladan. Kalau
aku pergi ke sekolah besok, pasti aku akan berbuat onar. Nanti kau akan
kecewa dan jantungmu tidak kuat menahannya!”
Alvin menoleh,
sekali lagi menatap Sivia. “Lalu kenapa kau tidak datang ke sekolah
besok dan melihatnya sendiri?” setelah itu Alvin membuka pintu dan
pergi dari hadapan Sivia.
Alvin masuk ke mobil.
“Ayo, jalan, Pak!” kata Alvin lemah.
Pak Budi belum pernah melihat Alvin seaneh itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Pak Budi khawatir.
“Tidak apa-apa,” jawab Alvin menenangkan. “Mari kita ke rumah sakit! Papa pasti sudah menunggu!”
Pak Budi segera menjalankan mobilnya.
Melihat
kepergian Alvin, Sivia tidak punya keinginan lagi untuk meneruskan
permainannya. Lalu dia melemparkan tongkat biliar ke atas meja.
“Aku tidak mau main lagi!” kata Sivia.
Sekeluarnya
dari tempat biliar, Sivia mendesah. Dia tahu tadi dia telah bersikap
keterlaluan terhadap Alvin, tetapi dia kan sudah beberapa kali
memperingatkan pemuda itu. Sivia masih tidak bisa memikirkan alasan
kenapa Alvin ingin berteman dengannya, padahal jelas-jelas dia tidak
mau berteman dengan Alvin. Ada sesuatu dari tatapan mata Alvin yang
membuat Sivia merasa bersalah. Seakan-akan Alvin telah melihat jiwanya.
Sesaat tadi, Sivia sempat memercayai perkataan Alvin bahwa dia tidak
akan mengadukan Sivia pada Pak Duta tentang pertemuan mereka di tempat
biliar.
Baiklah, anak teladan. Besok aku akan membuat onar lagi dan kita lihat sejauh mana kau mau menjadi temanku! Tekad Sivia dalam hari.
***
Sudah malam saat Sivia memasuki rumahnya setelah bermain seharian. Mama, seperti biasa sudah duduk di kursi tamu.
“Dari mana saja?” tanya Gina. “Tadi siang Mama mendapat telepon dari sekolahmu, katanya kau membolos lagi!”
Sivia menatap mamanya dengan santai. “Jadi kenapa? Toh itu bukan hal baru lagi!”
Gina menghela napas panjang. “Apakah kau masih mau seperti ini, Sivia?”
“Ya!” kata Sivia. “Aku memang tidak mau berubah!”
Gina
ingin mengatakan sesuatu lagi tetapi dering telepon menghentikan
perkataannya. “Jangan pergi dulu! Mama belum selesai berbicara
denganmu!”
Ia mengangkat telepon di dampingnya. “Halo!”
Untuk
sesaat ia mendengarkan suara si penelpon. “Ya, benar!” katanya
kemudian. “Kemarin sore saya memang melaporkan bahwa saya telah
kehilangan kartu kredit!”
Beberapa detik kemudian, ia mengerutkan
dahinya dengan bingung. “Apa maksud anda? Kartu kredit saya baru saja
digunakan kemarin!? Tapi saya sama sekali tidak menggunakannya kemarin.
Saya yakin kartu kredit saya sudah dicuri.”
Sivia dengan tenang mengampiri mamanya dan memutuskan pembicaraan telepon itu.
“Apa yang kaulakukan?” protes Gina. “Mama sedang menelepon!”
Sivia
mengambil kartu kredit mamanya dari sakunya dan melemparnya ke meja
telepon. “Aku yang mencuri kartu kredit Mama. Dan aku menggunakannya
kemarin malam di kelab!”
Gina terpana tidak percaya. “Kenapa kau tega melakukan hal seperti ini, Sivia? Sekarang kau berani mencuri dari Mama?”
“Seharusnya Mama tidak heran lagi!” kata Sivia. “Mungkin suatu hari aku akan berakhir di penjara!”
Secepat kilat tamparan Gina mengenai pipi Sivia. Tetapi secetat itu pula dia menyesali perbuatannya.
Sivia menyentuh pipinya dan tertawa. “Ayo, tampar aku! Pasti Mama sudah ingin melakukannya dari dulu!”
Gina
menatap putrinya dengan sedih. “Mama tidak bermaksud demikian, Sivia.
Hanya saja perkataanmu tadi sudah keterlaluan. Mama sudah bingung harus
berbuat apa. Mama kira dengan pindah ke kota baru dan rumah baru kau
akan mendapatkan lingkungan baru dan memulai dari awal lagi!”
Sivia
tertawa sinis. “Memulai baru? Satu-satunya alasan kenapa Mama mau
pindah ke kota ini adalah untuk membuka cabang hotel baru Mama.”
“Itu tidak benar!”
“Seakan-akan lima hotel masih kurang!” kata Sivia. “Mama harus menambah satu lagi?”
“Tampaknya
apa pun yang Mama katakana, kau tidak akan mendengarnya!” Gina menatap
Sivia sedih. “Mama hanya mau kau percaya bahwa kau satu-satunya yang
terpenting bagi mama! Mama berharap suatu hari kau dapat mengerti ini.”
“Aku capek!” kata Sivia. “Aku tidak mau mendengar omongan Mama lagi!”
“Sivia…”
Tetapi Sivia sudah menaiki tangga menuju kamarnya.
“Oh
ya, satu hal lagi!” kata Sivia menoleh ke arah mamanya. “Aku juga
mengambil jam tangan emas yang ada di laci Mama. Aku rasa mama tidak
akan melihat jam tangan itu lagi!”
“SIVIAYY!!!” teriak Gina kesal.
Sivia masuk ke kamrnya sambil menutup pintu keras-keras.
Di lantai bawah, Gina menangis terisak-isak.
Satu hari lagi berlalu dengan pertengkaran hebat.
***
Keesokan
paginya Sivia sudah mempersiapkan apa saja yang akan dilakukannya di
sekolah supaya dia dikeluarkan hari itu juga. Ada sejumput perasaan
aneh yang menghinggapi hatinya saat terpikir dia tidak akan bertemu
Alvin lagi. Suka atau tidak, Alvin adalah satu-satunya orang yang
peduli padanya setelah sebelum tidak akan seorang pun yang berani
mendekatinya.
Ketika bel tanda pelajaran berbunyi, Pak Duta mendekati Sivia.
“Istirahat
nanti temui Bapak di ruang guru!” kata Pak Duta tegas. “Kau sudah
membolos seharian kemarin untuk pergi ke tempat biliar! Coba renungkan
hukuman apa yang pantas untukmu”
Setelah berkata demikian, Pak Duta pergi meninggalkannya.
Sivia terkejut bercampur marah mendengar perkataan wali kelasnya.
Percaya pada Alvin??? Betapa bodohnya aku sempat berpikir untuk memercayai anak penyakitan itu, teriak Sivia dalam hati, semua orang sama saja, tidak bisa dipercaya. Teman apanya? Dia hanya ingin jadi anak teladan kesayangan guru
Saat
Istirahat, sebelum menemui Pak Duta, Sivia melabrak Alvin di kelasnya.
Saat itu Alvin sedang duduk seorang diri sambil menulis sesuatu di
bukunya.
“Aku salut padamu!” kata Sivia keras. “Bagaimana kau bisa munafik seperti ini? Dengan memakai alasan teman segala!”
Alvin tidak mengerti perkataan Sivia. Maksudnya?”
Sivia
tertawa sinis. “Masih pura-pura tidak mengerti, lagi! Aktingmu hebat
sekali! Kau memberitahu Pak Duta kalau aku ke tempat biliar kemarin!”
Kali
ini giliran Alvin yang terkejut. Dia meletakkan bolpoinnya dan menatap
Sivia dengan serius. “Aku tidak memberitahu siapa pun!”
“Bohong!”
teriak Sivia. “Wali kelasku baru saja memanggilku pagi ini, memintaku
menemuinya karena aku berada di tempat biliar kemarin. Kalau bukan kau
siapa lagi yang mengatakannya, hah?!”
“Aku benar-benar tidak mengadukanmu!” tegas Alvin.
“Yah!
Aku tidak percaya padamu!” Sivia berjalan keluar dari kelas Alvin. “Aku
hanya ingin melihat tampangmu saat aku memberitahu hal tadi. Dan
percayalah ini adalah hari terakhir kalinya kau melihatku karena sudah
pasti hari ini aku akan dikeluarkan dari sekolah! Kau pasti senang,
kan?”
“Sivia!” teriak Alvin.
Teriakan Alvin berhasil membuat Sivia menghentikan langkahnya, tetapi ua tidak membalikkan badannya.
“Aku
tidak peduli kau percaya atau tidak, tetapi aku benar-benar tidak
memberitahu Pak Guru soal kemarin. Kau temanku dan aku tidak mau
melihatmu pergi dari sekolah!”
Sivia berbalik dan melihat tatapan
sedih memancar dari mata Alvin. “Yah, kita tidak selalu mendapatkan apa
yang kita inginkan, bukan?”
Sesudahnya Sivia menemui Pak Duta di ruangannya.
“Duduk, Sivia!”
Sivia duduk menghadap wali kelasnya.
“Apakah kau mau mengakui kalau kemarin kau bolos dan main ke tempat biliar?” tanya Pak Duta tanpa basa basi.
“Ya, benar!” sahut Sivia. “Apakah sekarang Bapak akan mengeluarkan saya?”
Pak
Duta tersenyum. “Kau benar-benar berpikir Bapak akan mengeluarkanmu?
Aku masih belum menyerah menghadapimu, Sivia! Mengeluarkanmu adalah
langkah terakhir. Bapak masih ingin memberimu kesempatan. Jadi mulai
hari ini hukuman membersihkan WC-mu akan diperpanjang jadi enam minggu!”
“Saya lebih suka dikeluarkan!” kata Sivia tenang.
“Bapak
tahu!” kata Pak Duta sambil tertawa. “Tapi Bapak lebih sukahukuman yang
ini! Kalau kau tidak mau melakukannya, Bapak akan tembah lagi dua
minggu sampai kau mau melakukannya!”
Sivia mendesah.
“Kalau tidak ada pertanyaan lagi, kau boleh keluar!” kata Pak Duta.
Sivia bangkit dan melangkah ke luar.
“Oh
ya, satu hal lagi,” lanjut Pak Duta, “kalau kau mau main biliar, jangan
lakukan lagi di dekat rumah Bapak kalau tidak mau ketahuan!”
Sivia berhenti melangkah dan berbalik menghadap Pak Duta. “Maksud Bapak, kemarin Bapak melihat saya di tempat biliar?”
“Iya!” kata Pak Duta.
Sivia tertawa. “Wow, saya tidak menyangka Bapak membolos juga kemarin!”
Pak
Duta menatap Sivia dengan tajam. “Kemarin Bapak memang izin dari
sekolah karena urusan keluarga! Bapak tidak membolos, Sivia. Bapak
benar-benar ingin melihatmu berubah menjadi lebih baik. Bapak harap kau
bisa menerima hukuman dari Bapak dan melaksanakannya!”
Sivia
hanya mendengus, namun dia akhirnya tahu kalau ternyata bukan Alvin
yang memberitahu pak Duta. Beliau tahu karena melihatnya sendiri.
Tampaknya Sivia telah salah sangka.
Sepulang sekolah, Sivia
melihat Alvin yang sedang duduk sambil melamun sedih. Kelas sudah
kosong karena para murid yang lain sudah pulang semua. Sivia mendekati
Alvin dan berdiri di depannya.
“Bukan kau yang memberitahu Pak Guru!” kata Sivia member pernyataan.
Alvin tersadar dari lamunannya dan menatap Sivia dengan pandangan, “kan sudah kubilang”.
“Aku minta maaf,” lanjut Sivia.
Alvin
bangkit dari kursinya dan meletakkan tasnya di punggungnya. “Jadi aku
tidak akan melihatmu lagi karena kau akan dikeluarkan dari sekolah!”
Sivia tersenyum. “Sebetulnya aku tidak dikeluarkan dari sekolah. Hanya disuruh membersihkan WC enam minggu!”
Alvin tertawa balik. “Enam minggu? Lama sekali. Kau akan melakukannya?”
Sivia nyengir. “Tidak!”
Alvin mendesah. “Sayang sekali!”
“Kenapa?” tanya Sivia heran.
“Karena tadinya aku mau menemanimu!”
Siang
itu, sepulang sekolah Sivia membersihkan toilet ditemani Alvin. Tanpa
sepengetahuan mereka, Pak Duta melihatnya dari jauh dan tersenyum.
Alvin memerhatikan Sivia yang sedang membersihkan WC dengan senang. Tiba-tiba Sivia tertawa.
“Apa yang kautertawakan?” tanya Alvin ingin tahu.
“Aku hanya memikirkan perkataan yang dulu!” kata Sivia.
“Yang mana?”
“Kau bilang hidupmu hanya berkisar di rumah sakit, sekarang aku merasa hidupku hanya akan berkisar di toilet!”
Alvin terbahak mendengarnya.
“Kau tidak akan membersihkan WC kalau kau tidak melakukan kesalahan lagi!”
“Yah, benar!” kata Sivia malas. “Tapi aku punya perasaan aku akan melakukannya lagi!”
“Berhentilah
menyakiti dirimu sendiri!” kata Alvin serius. “Rasanya tidak enak. Aku
pernah mengalaminya waktu berumur dua belas tahun. Papa melarangku
pergi ke taman bermain bersama teman-teman karena aku tidak cukup
sehat. Aku mengamuk seharian. Ketika melihat Papa dan Mama menangis,
akhirnya aku berhenti mengamuk dan sadar bahwa mereka juga sedih!”
Sivia
terdiam mendengar cerita Alvin. Sivia membayangkan Alvin yang berusia
dua belas tahun mengamuk karena tidak bisa pergi ke tempat bermain
seperti anak yang lainnya. Di lain pihak, dirinya mungkin sedang
bersenang-senang di taman bermain tersebut bersama papa dan mamanya.
Kenangan akan papanya membuat Sivia sedih lagi.
“Setahun yang
lalu orangtuaku bercerai! Aku tidak pernah dekat dengan Mama, dan Papa
malah meninggalkan aku dengannya! Aku benci mereka berdua!”
Begitu rupanya, kata Alvin dalam hati.
“Aku marah sekali dan berusaha sekeras mungkin untuk menyakiti Mama dan orang-orang yang kutemui!” lanjut Sivia.
“Tetapi kau malah menyakiti dirimu sendiri lebih dalam lagi!” Alvin menyelesaikan perkataan Sivia.
“Ya!”
Sivia mengangguk. “Dua hari yang lalu aku menemukan undangan
pertunangan papaku! Papa akan bertunangan di luar negeri! Itulah
sebabnya aku marah sekali dan membolos untuk pergi ke tempat biliar.
Tapi betapapun aku membencinya, aku tetap merindukannya!”
“Kalau kau begitu merindukannya, kenapa kau tidak pergi menghadiri pertunangannya?” tanya Alvin lembut.
Sivia
menggeleng. “Aku belum siap menghadapi Papa!” Sivia membersihkan kain
pel yang sudah dipakainya dan mengembalikan tongkat pel itu ke
tempatnya semula.
“Tidak usah terburu-buru!” kata Alvin menghibur. “Kau akan tahu saat yang tepat untuk menemuinya!”
“Waktu itu aku pasti sudah siap!” kata Sivia yakin.
Alvin tersenyum. “Sudah selesai?”
“Ya!” kata Sivia mantap.
“Baiklah!” kata Alvin. “Aku pulang dulu! Pak budi, sopirku, pasti sudah menunggu dari tadi! Kau mau kuantar pulang?”
Sivia menggeleng. “Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri!”
“Sampai jumpa besok!” ujar Alvin, membalikkan badannya dan melangkah menuju gerbang sekolah.
“Alvin!!” teriak Sivia.
Alvin berbalik menghadap Sivia lagi. “Apa?”
“Aku mau jadi temanmu!” kata Sivia keras.
Alvin tersenyum dan berjalan mendekati Sivia lagi. “Terima kasih!”
“Hanya satu yang membuatku penasaran,” lanjut Sivia.
“Apa itu?”
“Kenapa kau mau berteman denganku?”
Alvin
menjawab dengan yakin, “Alasan yang sama kau ingin berteman denganku!
Karena tidak ada yang mau berteman dengan orang yang penyakitan!”
“Dan tidak ada yang mau berteman dengan anak berandalan!” tandas Sivia menyelesaikan.
Mereka berdua tersenyum.
“Bye!” ujar Alvin akhirnya.
Sivia memandang punggung Alvin yang menjahuinya. Untuk pertama kali dalam setahun ini dia merasa gembira.
Lanjutannya mana ya?
BalasHapusaku belum sempat beli novelnya sich