SIVIA membuka matanya dengan perlahan. Mentari sudah terang
menyilaukan ketika memasuki jendela kamar tidurnya. Dilihatnya jam
dinding. Jam sepuluh lebih lima belas menit. Yang pasti, sekolah sudah
dimulai beberapa jam yang lalu. Sivia heran mamanya tidak
membangunkannya pagi-pagi untuk berangkat sekolah. Yang pasti, jam
sekian ini mamanya pastisudah pergi ke kantor. Pekerjaan selalu lebih
penting dari apa pun baginya.
Sivia bangkit dari tempat tidurnya
dengan perlahan. Selesai mandi dia mengenakan baju seragamnya dan dengan
sengaja mengeluarkan bajunya, membuatnya jadi terlihat berantakan.
Ketika Sivia tiba di sekolahnya, gerbang sekolah sudah ditutup. Dia
memanjat gerbang tersebut tanpa masalah.
Sesaat setelah kaki Sivia
menyentuh lapangan sekolah, seorang satpam berjalan menghampirinya. Sial,
gerutu Sivia dalam hati. Sebetulnya dia senang-senang saja aksi
mmanjatnya diketahui seseorang. Semakin cepat dia membuat kesalahan,
semakin cepat dia akan dikeluarkan dari sekolah ini. Tetapi perutnya
sedang keroncongan karena tadi pagi belum makan. Saat ini yang
dipikirkannya adalah bagaimana dia bisa menuju kantin secepatnya.
“Selamat
pagi!” kata si satpam. “Apakah kau tidak tahu jika gerbang sudah
ditutup, para siswa dilarang memasuki sekolah tanpa seizing guru?”
“Saya
tahu kok!” kata Sivia dengan enteng. “Pertama-tama Bapak akan
menanyakan nama saya, lalu melapporkan saya pada guru piket hari ini,
kemudian guru tersebut akan menentukan hukuman untuk saya.”
Si
bapak satpam mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia menemui seorang
murid yang tidak merasa bersalah setelah melakukan pelanggaran sekolah.
Dilihatnya Sivia dari atas sampai bawah dengan teliti.
“Tunggu
dulu!” kata Pak Satpam mengenali. “Kau murid baru itu, bukan? Baru masuk
kemarin?”
Sivia mengangguk. “Begini saja, Pak, bagaimana kalau
Bapak berpura-pura tidak tahu tentang pelanggaran saya ini? Sebetulnya
saya tidak keberatan kalau saya dihukum. Malah itu lebih baik. Tapi
perut saya lapar saat ini, jadi saya tidak punya waktu untuk
berbasa-basi lagi.”
Si bapak satpam mendesah. “Baiklah!” katanya
menyerah. “Karena kau masih murid baru di sekolah ini, Bapak akan
mengabaikan pelanggaranmu kali ini. Tapi lain waktu kau tidak boleh
melakukannya lagi.”
Siviatersenyum. “Saya yakin saya akan
melakukan hal ini lagi kapan-kapan. Saat itu Bapak boleh melaporkan saya
pada para guru. Saya tidak keberatan sama sekali!”
Sivia berlari
meninggalkan pak satpam yang kebingungan mencerna arti perkataan
tersebut. Dalam hati Sivia menyadari bahwa mencari cara untuk membuat
onar ternyata lebih mudah daripada menjadi murid terladan. Sama halnya
dengan membuat kenangan buruk lebih mudah daripada membuat kenangan
baik.
Perutnya berbunyi lagi. Sivia berlari ke arah kantin. Tak
berapa lama kemudia, dia duduk di bangku kantin sambil menimati
makanannya. Setelah selesai, dia berjalan-jalan mengelilingi sekolah.
Langkahnya terhenti saat melihat Alvin yang duduk di bangku taman
sekolah. Dilihatnya teman-teman sekelas cowok itu sedang berolahraga tak
jauh dari sana.
Sivia berjalan mendekati lalu duduk di
sebelahnya. “Wah! Rupanya si anak teladan bisa membolos pelajaran juga!”
Alvin
menoleh ke arah Sivia tapi tidak berkata apa-apa.
“Kau memang
anak aneh! Tidak mau bicara lagi?” tanya Sivia. “Bagaimana kalau aku
beritahu Pak Guru kau bolos pelajaran olahraga?”
Kali ini Alvin
menatap mata Sivia. “Bukankah kau juga bolos?”
Sivia tertawa. “Ya!
Itu maksudku! Apakah sebaiknya kita memberitahu Pak Guru kalau kita
berdua membolos? Aku jadi penasaran hukuman apa yang akan diberikan oleh
mereka!”
“Aku tidak tahu!” kata Alvin jujur. “Aku belum pernah
dihukum!”
Sivia menggeleng-geleng. “Ya! Aku yakin begitu! Kau
tidak pernah melakukan kesalahan makanya tidak pernah dihukum. Apakah
kau tidak bosan menjadi anak teladan terus-menerus? Cobalah
sekali-sekali menjadi anak nakal dan melihat betapa kreatifnya para guru
membuat hukuman!”
“Kreatif?” tanya Alvin bingung.
“Dari
lari keliling lapangan, mengecat meja sekoalh, menulis ‘aku tidak
akan mengulangi kesalahan ini lagi’ di atas seratus lembar kertas,
membereskan buku perpustakaan, sampai membersihkan WC!”
Alvin
tertawa. “Dan kau merasakan semuanya?”
Sivia menggeleng. “Tidak!
Aku bilang aku melihat, bukan merasakan! Aku sudah keburu drop out
sebelum hukuman itu dilaksanakan!”
“Kenapa kau tidak terkejut
mendengarnya?” bisik Alvin perlahan.
Tangan Sivia mengeluarkan
sebatang rokok dan pematik api yang memang sudah dia bawa di sakunya.
Sivia menyelipkan rokok di bibirnya. Sebelum dia sempat menyulutnya,
Alvin menatapnya dan berkata, “Tolong jangan merokok!”
Sivia
tertawa pendek. “Kenapa? Mau menasehatiku kalau merokok tidak bagus buat
kesehatanku?”
Alvin menggeleng. “Tidak! Sebenarnya justru tidak
bagus buat kesehatanku!”
Sivia tertegun mendengarnya. “Apa
maksudmu?” tanya Sivia bingung.
“Aku sakit!” jelas Alvin
sederhana.
“Sakit?” tanya Sivia lagi.
Alvin mengangguk. “Aku
tidak membolos pelajaran olahraga. aku memang tidak bisa mengikutinya.”
“Memangnya
kau sakit apa?” tanya Sivia penasaran. “Flu, sakit perut, demam, atau
apa?”
Alvin menatap Sivia dengan serius dan berkata tenang. “Aku
punya kelainan jantung sejak lahir!”
Untuk sesaat Sivia tidak
sanggup berkata-kata. Mereka berdiam diri selama beberapa saat.
“Mengapa
kau memperhatikanku kemarin sewaktu aku berolahraga?” tanya Sivia
tiba-tiba.
Alvin menatap Sivia.
“Asal tahu saja, aku
benar-benar tidak suka kalau ada orang yang memperhatikanku tanpa
sepengetahuanku,” lanjut Sivia lagi. “Apa kerena kau ingin melihat si
anak baru yang berandalan, dan berfikir betapa beruntungnya kau menjadi
murid teladan?”
“Tidak,” jawab Alvin singkat.
“Lalu kenapa?”
tanya Sivia penasaran.
Alvin terdiam sesaat, tapi kemudian
menjawab, “Karena aku iri.”
“Iri?” Sivia bingung.
“Ya! Aku
iri padamu! Kau bisa bermain voli dengan senang. Aku tidak pernah bisa
bermain seperti itu. Hidupku hanya berkisar di sekolah dan di rumah
sakit. Tidak boleh berolahraga sekali pun karena itu bisa membahanyakan
jantungku.”
Sivia tidak menyangka Alvin akan berpikiran seperti
itu. Baru pertama kali ada orang yang iri padanya hanya karena ia
bermain voli. Sesaat Sivia merasakan kasihan pada pemuda ini. Sivia
berusaha keras untuk menghancurkan hidupnya, dilain pihak Alvin justru
berusaha keras untuk mempertahankan hidupnya.
Tiba-tiba saja Pak
Duta muncul di hadapan mereka berdua. “Di sini kau rupanya! Sivia,
kenapa kau membolos? Dan apa itu? Rokok! Kau merokok juga? Apa yang
kaulakukan bersama Alvin di sini? Sekarang juga kalian ikut ke ruangan
Bapak!”
Pak Duta langsung mencabut rokok yang ada di tangan Sivia
dan membuangnya. Sivia dan Alvin mengikuti Pak Duta ke ruangannya.
Setibanya di sana, Pak Duta duduk dan tanpa basa-basi memulai
pembicaraan.
“Sivia!” katanya sambil menatap mata Sivia. “Ini hari
keduamu di sekolah, dan kau sudah membolos. Bapak sudah melihat data
dirimu dari sekolah-sekolah sebelumnya. Banyak sekali pelanggaran yang
kaulakukan. Merokok, bertengkar dengan temanmu, berpakaian tidak pantas
di sekolah, membolos sampai kau dikeluarkan dari sana! Pihak sekolah
sana tidak mau memberitahukan hal tersebut kepada Bapak!”
Sivia
tersenyum perlahan. “Saya menyebabkan ruangan olahraga nereka rusak
terbakar!”
“Benarkah?” tanya Pak Duta terkejut.
“Kalau Bapak
mau mengunjungi sekolah tersebut pastinya Bapak masih bisa melihat
hasil pengecatan kembali ruang olahraganya!”
Pak Duta terdiam
sesaat mendengar penjelasan Sivia. “Menurutmu itu sesuatu yang
membanggakan?”
Sivia tidak menjawab pertanyaan Pak Duta.
“Baiklah!”
desah Pak Duta. “Kira-kira apa hukuman yang layak untukmu, Sivia?”
Sivia
tertawa. “Saya tidak tahu, Pak. Saya rasa Bapak lebih ahli soal hukuman
daripada saya!”
“Kalau bagitu mulai besok kamu Bapak hokum untuk
membersihkan toilet selama dua minggu!” kata Pak Duta tergas.
“Baiklah!”
kata Sivia enteng, “Tapi Bapak tahu kalau saya tidak akan
melakukannya!”
“Kalau kau tidak mau melaksanakannya,” kata Pak
Duta, “hukumannya bertambah menjadi tiga minggu!”
“Kenapa tidak
dikeluarkans aja sekalian?” tanya Sivia akhirnya.
Pak Duta menatap
Sivia dengan tegas. “Karena mengeluarkanmu adalah perkara yang terlalu
mudah dan itu justru sesuai dengan keinginanmu, bukan?” saying sekali,
Sivia, kau tidak akan semudah itu dikeluarkan!”
“Kita lihat saja
nanti!” kata Sivia tenang.
Pak Duta juga membalasnya sambil
tersenyum, “Bapak tidak sabar untuk melihatnya!” Tatapannya beralih pada
Alvin. “Sekarang kau, Alvin, apa yang kau lakukan bersama Sivia?”
Alvin
menjawab dengan tenang, “Tidak ada, Pak!”
“Benarkah tidak ada
apa-apa?” tanya Pak Duta sekali lagi.
Alvin mengangguk.
“Bapak
percaya padamu!” kata Pak Duta.
Sivia memandang Alvin dan Pak
Duta dengan sinis. Begitu mudahnya wali kelasnya itu percaya pada Alvin.
Tidak pernah ada yang percaya pada Sivia. Tidak seorang pun.
Pak
Duta melirik Sivia lagi. “Cobalah untuk bersikap baik, Sivia. Masa muda
hanya terjadi sekali seumur hidup. Kau akan menyesal kalau
menyia-nyia-kannya!”
Kenapa sih guru-guru selalu berpetuah
panjang-lebar? Tanya Sivia dalam hati.
“Nikmati masa mudamu!
Bertemanlah sebanyak-banyaknya!” kata Pak Duta.
“Bapak pasti
bercanda!” kata Sivia ketus. “Tidak ada seorang pun yang mau berteman
dengan saya!”
Alvin tiba-tiba berkata, “Aku mau berteman
denganmu!”
“Sayang sekali.” Balas Sivia, “aku tidak mau berteman
denganmu!”
Pak Duta berdiri dari kursinya. “Bapak harus
menghentikan perdebatan kalian karena harus masuk kelas untuk mengajar,
dan sebaiknya kau juga berada di sana, Sivia!”
Sivia dan Alvin
keluar dari ruangan Pak Duta.
“Benarkah semua data tentang dirimu
tadi?” tanya Alvin penasaran di luar kantor.
Sivia tersenyum.
“Sebetulnya ada satu yang tidak akurat! Aku tidak membolos lima kali,
aku membolos setiap hati!”
Alvin tertawa. “Tiap hari?”
“Ya!”
kata Sivia. “Kau yakin kau mau jadi temanku, anak teladan?”
“Perkataan
terakhir tadi membuatku yakin untuk menjadi temanmu!” Alvin berkata
tulus.
“Oh! Perkataan yang manis!” ejek sivia. “Tapi saying
sekali, aku tidak mau jadi temanmu. Tidak sekarang, tidak juga nanti!”
“Aku
hanya ingin menjadi temanmu. Kalau kau tidak mau jadi temanku, tidak
apa-apa! Aku mengerti. Aku akan tunggu sampai kau mau jadi temanku!”
“Itu
tidak akan terjadi!” kata Sivia ketus.
“Aku orang yang optimis,
Sivia! Aku punya keyakinan hal itu akan terjadi,” kata Alvin yakin
sambil berlalu dari hadapan Sivia.
***
Sivia memainkan
makanan dipiringnya. Dia memandang mamanya dengan kesal. Malam ini, saat
Sivia sedang makan, mamanya tiba-tiba masuk dan duduk di seberangnya.
“Jadi
kau membuat masalah lagi di sekolah!” kata Mama langsung.
Sivia
tertawa. “Wow! Aku kira Mama datang mau makan malam bersamaku, ternyata
Mama hanya mau menegurku lagi! Jadi apa yang terjadi? Wali kelasku
menelpon Mama?”
“Sivia!”
Sivia membalas teriakan mamanya
dengan menusukkan garpunya pada lauk di piringnya dan mengunyahnya.
“Merokok
dan bolos pelajaran?” tanya mamanya marah. “Apakah kau tidak kapok
juga?” apa ini caramu menarik perhatian Mama?”
“Aku rasa Mama
salah!” kata Sivia. “Aku tidak bermaksud menarik perhatian Mama!” kata
Sivia tanang. “Aku hanya bermaksud membuat Mama marah! Dan tampaknya itu
berhasil!”
Mama Sivia langsung menggebrak meja. “Mama tidak mau
melihat kelakukanmu seperti ini lagi, Sivia! Hentikan sifat
kekanak-kanakan ini! Mau sampai kapan kau begini?”
Sivia tertawa
lebar.
“Kenapa kau tertawa?” teriak mamanya kesal.
“Aku
merasa lucu sekali!” kata Sivia. “Mama toh tidak akan sempat melihat
kenakalanku karena Mama tidak akan beraa di sini saat aku melakukannya!
Bukankah Mama mau pergi ke luar kota lagi?”
“Sivia!!!!” teriak
mamanya kehilangan kesabaran. Sivia memandang mamanya dengan bosan dan
bangkit dari tempat duduknya di meja makan. Dilihatnya vas bunga
kesayangan mamanya di buffet dekat pintu, dan dengan sengaja Sivia
menjatuhkannya. Vas bunga itu pecah berkeping-keping.
Mama Sivia
semakin murka. “Cukup, Sivia! Hentikan semua ini sekarang juga! Kau tahu
itu vas bunga kesayangan Mama!”
“Ya, aku tahu!” kata Sivia. “Toh
Mama bisa membelinya lagi, iya kan?” Lalu dengan manisnya Sivia berkata,
“Permisi Ma, Sivia capek, mau istirahat dulu!”
“Tunggu, Sivia!”
kata mamanya perlahan. “Kenapa kita selalu saja berteriak satu sama
lain? Tidak bisakah kita berbicara dengan tenang?”
Sivia
menggeleng. “Aku rasa tidak. Lagi pula hanya inilah satu-satunya
persamaan yang kita miliki! Berteriak satu sama lain! Aku tidak ingin
mendengarkan penjelasan apa pun dari Mama. Karena aku tidak akan
memercayai satu pun perkataan Mama saat ini. Mama kan tahu hanya Papa
yang bisa menenangkanku!”
“Tapi papamu sekarang tidak ada di
sini!” jawab mamanya.
“Dan salah siapakah itu?” cemooh Sivia.
Mamanya
menarik napas. “Kalau kau merasa lebih baik dengan menyalahkan Mama
atas kepergian papamu, Mama tidak keberatan! Silahkan salahkan Mama
sepuasmu! Tapi hal itu tetap tidak membuatmu puas, bukan? Mama berpisah
dengan papamu karena kami berdua menginginkan hal yang berbeda. Tentu
saja Mama mencintai papamu, tadi kadang urusannya tidak sesederhana
itu!”
“Kalau Mama mencintai Papa, Mama tidak akan berpisah
dengannya!” kata Sivia tegas. “Apa pun yang Mama katakana tidak akan
membuatku lebih baik. Mama tahu kenapa? Karena semakin Mama bicara
seperti itu, semakin aku membenci Mama!”
Setelah itu Sivia
bergegas ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang terdiam di ruang makan.
Tak berapa lama kemudian, telepon berdering. Mama Sivia mengangkatnya.
“Halo!”
“Ini
aku!” kata suara di telepon. “Bagaimana keadaanmu, Gina?”
Mama
Sivia, yang bernama Gina Sonia, mendesah. Dia tidak siap menerima
telepon mantan suaminya saat ini. Selama satu tahun ini, mantan suaminya
sudah sering menghubunginya untuk menanyakan keadaan dirinya dan Sivia.
Terutama Sivia. Dan siring waktu keduanya sudah bisa berteman baik.
“Seperti
biasa!” keluh Widia. “Anak kita masih tidak bisa menerima perceraian
kita!”
Suara di ujung telepon mendesah, “Aku akan mencoba bicara
padanya, Gina!”
Mama sivia menyetujui, “Sebaiknya begitu. Dia
tidak mau bicara denganku sama sekali.”
“Aku akan coba, Gina. Oh
iya, aku sudah mengirimkan undangan pertunanganku seminggu yang lalu!”
kata mantan suaminya.
“Aku belum sempat mengucapkan selamat
padamu!” kata mama Sivia. “Aku harap kau berbahagia dengan calon istri
barumu!”
“Terima kasih!” balas papa Sivia. “Semoga kau juga cepat
menemukan kebahagiaanmu!”
“Lebih baik kau tidak membicarakan
pertunangan ini pada Sivia!” kata mantan istrinya. “Dia sedang
benar-benar marah saat ini. Aku rasa berita ini akan membatnya semakin
marah. Aku rasa sebaiknya kita menunggu sampai dia tenang dahulu baru
memberitahunya.”
“Setuju!” kata papa Sivia. “Aku akan menelponnya
sekarang. Selamat malam, Gina!”
“Selamat malam!” balas mama Sivia
lalu menutup teleponnya.
Mama Sivia menarik napas
dalam-dalam, lalu memejamkan matanya. Di benaknya tergambar kembali
perpisahan mereka satu tahun yang lalu.
“Aku ingin
Sivia ikut denganku, Gina!” kata suaminya waktu itu.
“Aku
tahu!” kata Gina. “Tapi aku ingin memohon satu hal padamu. Aku tahu ini
pasti sangat berat untuk kaulakukan.”
“Apa itu?” tanya
papa Sivia lagi.
“Biarkan Sivia tinggal di sini
bersamaku!” kata Gina.
“Tapi…”
“Aku ingin
kau memberiku kesempatan supaya aku bisa dekat dengan Sivia. Aku tahu
selama ini aku selalu sibuk, sehingga kaulah yang lebih dekat
dengannya.”
“Aku tidak begitu yakin Sivia akan
menerimanya dengan baik.” Papa Sivia menatap mantan istrinya dengan
cemas.
Gina tidak kuasa menahan tangisnya. “Tolong
kabulkan permintaanku ini. Aku ingin Sivia tinggal bersamaku. Sampai dia
lulus SMA saja. Setelah itu kau bisa tinggal bersamanya.”
Papa
Sivia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah.”
“Satu
hal lagi,” kata Gina, “aku ingin permintaanku ini dirahasiakan dari
Sivia. Aku mohon padamu! Aku ingin Sivia member kesempatan untuk membuka
hatinya padaku. Kalau dia tahu dia akan pergi bersamamu setelah lulus
SMA, dia pasti tidak akan memedulikan aku sama sekali. Aku ingin anakku
mencintaiku seperti aku mencintainya.”
Melihat kesedihan
di mata mantan istrinya, papa Sivia tidak kuasa menolak permintaannya.
“Baiklah!” katanya.
Sangat tidak mudah memberitahukan
perpisahan mereka pada Sivia. Dari awal Sivia sudah bersikap keras
kepala dan tidak menerima perpisahan kadua orangtuanya. Apalagi setelah
tahu Papa akan pergi meninggalkannya untuk pekerjaan barunya di luar
negeri. Saat itu Sivia menatap papanya dengan tajam.
“Kenapa
Papa tega melakukan hal ini padaku?” tanya Sivia. “Kenapa Papa harus
meninggalkanku?”
“Sivia…,” kata suaminya, “mamamu dan
papa sudah tidak bisa bersama lagi. Kami merasa ini jalan yang terbaik
buat kami.”
Sivia menangis dengan keras. “Tapi bukan
jalan terbaik untukku, Pa!”
“Maaf!” kata suaminya.
“Maafkan
kami, Sivia!” kata Gina sambil menyentuh tangan anaknya. Sivia langsung
menepis tangan mamanya.
“Ini pasti karena Mama, bukan?”
Sivia menatapnya dengan marah. “Semua pasti karena Mama!”
“Sivia!”
teriak suaminya. “Jangan berbicara seperti itu pada mamamu!”
Sivia
menatap kedua orangtuanya dengan putus asa. Lalu dia menatap papanya.
“Papa mau pisah dengan Mama?!! Aku tidak terima. Pokoknya Sivia ingin
Papa tinggal di sini. Jangan pergi ke luar negeri.”
Suaminya
menatap Sivia dengan gelisah. “Sivia… Papa…”
“Pilih!”
teriak Sivia. “Pekerjaan Papa di luar negeri atau Sivia!”
“Sivia!
Masalahnya tidak sesederhana itu!”
Sivia menatap papanya
untuk pertama kalinya dengan tatapan kosong. Lalu dia tersenyum sedih.
“Jadi… Papa lebih memilih pekerjaan Papa.”
“Tidak!”
“Kalau
begitu tinggal!” kata Sivia.
Suaminya terdiam. Pekerjaan
barunya ini benar-benar berarti baginya. Dia mendapatkannya dengan
susah payah. Dia juga ingin memberitahu Sivia bahwa setelah lulus SMA,
Sivia akan tinggal bersamanya. Tapi dia sudah berjanji pada Gina untuk
merahasiakan hal tersebut dari Sivia.
Sivia tertawa
histeris. “Sekarang Papa sudah sama seperti Mama. Pekerjaan lebih
oenting daripada anak sendiri. Tak akan satu pun dari kalian yang
memedulikan perasaanku saat ini.”
Setelah itu Sivia
berlari masuk ke kamar tidurnya dan membanting pintunya. Dia menutup
diri dan berkurung di kamarnya selama dua minggu. Sekeras apa pun
orangtuanya membujuknya, Sivia tetap tinggal di kamarnya. Kecuali jika
ingin membeli makanan, itu pun dilakukan dengan diam-diam. Saat akhirnya
Sivia kelaur dari kamarnya, dia tidak mengucapkan satu patah kata pun.
Dia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan orangtuanya. Satu hari
sebelum keberangkatannya ke luar negeri, suaminya menunggui Sivia di
luar kamanya. Sivia malah tidak keluar sama sekali.
Keesokan
paginya, suaminya berkata dari balik pintu. Ia benar-benar sedih. Air
mata tergenang di matanya.
“Sivia… Papa harus pergi
sekarang. Jaga dirimu baik-baik! Papa pasti akan meneleponmu setiap
hari!”
Di kamanya, Sivia juga menangis. Tetapi
tangisannya dia redam dengan bantal tidurnya. Dia tidak menyangka Papa
benar-benar akan pergi meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dia
percayai telah membuatnya kecewa dan terluka.
Sejak saat
itu, mantan suaminya memang menelepon putrinya setiap hari. Tetapi Sivia
tidak mau mengangkat teleponnya. Bagi Sivia kebutusan papanya untuk
meninggalkan dirinya tidak bisa dimaafkan sama sekali. Sivia tidak ingin
berbicara apa-apa lagi. Awalnya Sivia merasa rindu dan ingin menelepon
papanya. Tetapi rasa benci yang selalu muncul ke permukaan mengalahkan
parasaan rindunya. Untuk melupakan masalah orangtuanya, Sivia mulai
membolos dan berubah menjadi anak berandalan.
Gina merasa
cemas melihat perubahan tingkah laku putinya. Ia langsung menelepon
mantan suaminya karena merasa khawatir. Keesokan harinya papa Sivia
langsung datang.
Tapi, kedatangan papanya tidak membuat
Sivia menjadi tenang, mallah kebalikannya. Dia bahkan tidak mau
berbicara sepatah kata pun pada mantan suaminya itu karena masih kecewa
dan sakit hati. Usulan mengunjungi psikiater yang disarankannya, dan
disetujui oleh papa Sivia, tidak digubris. Ia malah semakin jauh dari
kedua orangtuanya. Tak terasa sudah satu tahun berlalu, Sivia masih
tetap keras kepala dan tidak mau berbicara pada papanya.
***
Gina
membuka matanya dan menatap sedih ke kamar anaknya. Dia tidak tahu lagi
harus berbuat apa. Dia hanya berharap semoga Sivia mau berbicara dengan
papanya di telepon kali ini..
***
Terdegar HP Sivia
berbunyi di kamarnya. Sivia mengangkat HP-nya dari meja dan melihat
siapa yang meneleponnya. Papa. Sivia membiarkannya berdering tanpa henti
selama lima menit. Dia tidak mau berbicara pada siapa pun juga saat
ini. Dan Sivia tahu Papa hanya akan menyuruh untuk melunak pada Mama.
Satu hal yang tidak ingin ia lakukan. Saat ini dia malas berbicara pada
kedua orangtuanya. Dia tidak butuh nasihat apa pun. Dia hanya ingin
sendirian.
Ketika berdering lagi, Sivia memutuskan untuk mematikan
HP dan menaruhnya kembali ke meja. Sivia berusaha memejamkan matanya,
dan tak lama kemudian dia tertidur.
***
Keesokan harinya
Sivia menemukan Alvin di ruang musik.
“Hai!” sapa Alvin ketika
melihat kedatangan Sivia.
“Kau selalu main setiap hari?” tanya
Sivia
“Tidak juga!” kata Alvin. “Kau bisa main piano?”
“Dulu
waktu kecil!” kata Sivia jujur. “Sekarang aku sudah lupa semuanya!”
Sivia
tidak tahu mengapa dia berada di sini, tetapi suara music Alvin anehnya
telah membuat hatinya tenang dan nyaman. Bukan reaksi yang ia harapkan
sebelumnya.
“Tidak apa-apa!” kata Alvin tersenyum. “Aku bisa
mengingatkanmu lagi!”
“Aku tidak mau main piano!” kata Sivia
tegas. “Aku sudah bilang, jangan pernah ikut campur urusanku!”
Alvin
memainkan lagu baru. “Aku hanya mau menjadi temanmu!”
“Sudah
berapa kali kubilang, aku tidak mau!” kata Sivia keras.
Alvin
malaha tersenyum lagi mendengarnya. “Aku kan sudah bilang tidak
apa-apa!”
Mereka terdiam sesaat sambil beradu pandang.
“Ada
satu hal yang menarik perhatianku kemarin!” lanjut Alvin.
Sivia
tersenyum sinis. “Kenapa? Kau tidak pernah melihat orang mencuri
sebelumnya?”
Alvin menggeleng lalu berkata lagi, “Kau bisa mencuri
CD lagu apa saja, tetapi kenapa memilih The Sound of Music?”
Tatapan
mata Alvin membuat Sivia brdiri dengan gelisah. “Karena aku menyukai
salah satu lagu di dalamnya!”
“Lagu yang mana?” tanya Alvin sambil
menatap Sivia lagi dengan lembut.
“Do-Re-Mi!” jawab
Sivia.
“Alvin mengangguk lalu dia memainkan lagu tersebut dengan
pianonya. Mendengar lagu terseut setelah sekian lama membuat Sivia
mengenang masa lallu. Perlahan-lahan Sivia melangkah mendekati Alvin.
Kemudian duduk di sampingnya.
“Sudah lama aku tidak mendengar lagu
ini!” ujar Sivia lemah. “Papa sering memainkannya untukku sewaktu aku
kecil!”
Dan hal itu selalu membuatku nyaman, renung Sivia
dalam hati.
Ketika dentingan piano berakhir, Sivia memandang
Alvin dengan lembut.
“Bisakah kau memainkannya lagi?” pintanya.
Tanpa
berkata apa-apa Alvin memainkannya lagi.
Lama-kelamaan kenangan
lama bermunculan di benak Sivia. Kenangan bahagia dan juga kenangan
pahit ketika Papa meninggalkannya. Semua itu membuat Sivia ingin
menangis. Perasaan itu muncul kembali. Sakit hati. Kecewa. Marah. Sedih.
Merasa
tidak tahan lagi, Sivia menghentikan permainan piano Alvin dengan
menekan tuts piano di depannya dengan keras.
Seketika itu juga
Alvin menghentikan permainannya. “Ada apa?”
Sivia menatapnya
dengan tajam, “Apakah menurutmu seseorang bisa mencintai dan membenci
orang yang sama pada saat yang bersamaan?”
Alvin tidak menjawab.
Sivia
bangkit dari kursinya dan berlari keluar dari ruangan.
Alvin
terdiam tidak bergerak. Sesaat tadi Sivia sempat merasa tenang di
samping Alvin, tetapi tiba-tiba sesuatu telah membuatnya gusar. Ketika
Alvin mengatakan dia iri pada Sivia, dia mengatakan yang sebenarnya.
Pertama kali Sivia muncul di ruang music ini, Alvin merasakan energy
kehidupan terpancar dari gadis itu. Sewaktu mengamatinya main voli,
energy itu semakin bersinar. Dan Sivia satu-satunya orang yang tidak
memperlakukannya seperti seseorang yang lemah, walaupun dia sudah
mengatakan penyakit yang dideritanya.
Sementara itu, Sivia berlari
menuju kelasnya. Napasnya terengah-engah. Berapa kali pun kenangan itu
muncul, perasaan Sivia tetap kacau. Karena sesungguhnya sebenci apa pun
dia pada papanya, dia tetap merindukannya.
Selama pelajaran
berlangsung, Sivia tidak mendengarkan satu pun perkataan para guru yang
mengajar di depannya. Ketika salah satu guru mennyakan sesuatu
kepadanya, Sivia tidak menjawab sama sekali. Guru tersebut marah karena
merasa diabaikan.
Sivia tetap berdiam diri. Malah dirinya sengaja
menggambar seorang murid yang sedang mengantuk di mejanya dengan
bolpoin. Melihat hal itu guru tersebut langsung mengusir Sivia keluar
dari kelas, karena jelas-jelas Sivia tidak berkonsentrasi mengikuti
pelajaran.
Sivia malah tersenyum kurang ajar, “kenapa tidak bilang
dari tadi?” Lalu dengan santainya dia keluar dari kelas.
Pelajaran
selanjutnya Sivia sama sekali tidak memerhatikan dan sengaja tidur di
bangkunya. Ketika istirahat tiba, salah seorang murid, yang ternyata si
ketua kelas, berkata kepadanya.
“Bisakah kau menghapus papan
tulis? Kami sudah memutuskan kalau hari ini giliranmu piket!”
Sivia
melotot memandangnya.
Si ketua kelas mengurungkan niatnya melihat
tatapan mata Sivia. Dia tidak mau bermasalah dengan Sivia. Akhirnya dia
berjalan menjahui Sivia dan menghapus sendiri papan tulis tersebut.
Sivia merebahkan diri di mejanya dan menutup matanya. Hari ini
berjalan lambat sekali, keluhnya dalam hati.
“He, tebak,
siapa yang mendapat nilai paling tinggi saat ujian uji coba EBTANAS
minggu lalu?” salah seorang murid di depan Sivia berkata dengan
antusias.
“Siapa?” tanya murid di sebelahnya.
“Alvin! Anak 3
IPA 1,” katanya, “hebat sekali dia!”
“Bukankah sejak kelas satu
dia selalu mendapat juara satu? Lalu minggu kemarin juga dia menjuarai
lomba piano itu, kan?”
“Wah, seandainya saja aku punya otak
sehebat dia! Pasti mamaku tidak akan rewel, ketakutan aku tidak lulus!”
“Memangnya
Cuma mamamu yang rewel? Mamaku malah mengancam akan menghukumku kalau
sampai tidak lulus!”
Pembicaraan kedua orang itu membuat Sivia
terdiam. Ternyata Alvin adalah murid yang pandai. Jadi sekarang
selain tukang ikut campur, disukai guru, jago main piano, ternyata dia
pandai juga? Keluh Sivia. Benar-benar tipe murid teladan
sejati.
Sivia penasaran apa yang akan dipikirkan kedua orang
di depannya kalau dia mengatakan si teladan yang dibicarakan mereka
setelah meminta dirinya untuk menjadi temannya. Pasti mereka tidak akan
percaya. Ada satu hal yang mengganggu perasaan Sivia. Tadi untuk sesaat,
dia benar-benar tersentuh mendengar permainan piano Alvin dan
tatapannya yang tulus. Satu hal yang jarang Sivia rasakan selama satu
tahun ini.
Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, Sivia bangkit
dari tempat duduknya dan berlari menuju gerbang sekolah. Tentu saja dia
tahu kalau hari ini dia harus membersihkan WC sepulang sekolah sebagai
hukuman merokok dan membolos kemarin, tetapi Sivia tidak akan
melakukannya.
Sepulang sekolah Pak Duta mendatangi WC sekolah dan
tidak melihat seorang pun di dalamnya. Dia mengangkat bahu. Dalam hati
merasa kecewa. Tak lama setelah Pak Duta meninggalkan WC, Alvin
melangkah ke tempat itu. Dia juga tidak melihat Sivia di sana. Alvin
terdiam. Perkataan Sivia saat pertemuan pertama terngiang-ngiang di
benaknya.
“Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi saat kau
mengucapkan selamat tinggal padaku!”
Kini Alvin tahu apa
maksudnya.
nothing special from me because I'm not perfect, I'm just an ordinary girl follow my twitter @haniaNRG follback just mention
Rabu, 30 Mei 2012
3600 Detik (versi Alvia) Part 1
SIVIA berjalan memasuki sekolah barunya. Hari masih pagi. Dia tidak
melihat seorang murid pun disekitarnya. Matahari pagi menyinari
rambutnya yang dicat merah, sangat sesuai dengan kukunya yang juga dicat
dengan warna serupa. Sivia memandang sekolah barunya sepintas lalu.
Beberapa kali pun ia pindah sekolah, hasilnya hanya membuatnya semakin
kesal. Toh dia sudah tak berminat sekolah.
Sebenarnya Sivia merasa bosan karena harus mengulang pelajaran yang sama di tahun ini, karena tahun kemarin dia tidak lulus ujian SMA. Mama benar-benar kecewa terhadapnya. Setelahberpikir matang-matang dan karena hotelnya membuka cabang baru, beliau pun memutuskan untuk pindah ke luar kota dan menyekolahkan Sivia di kota baru tersebut. Sivia tahu ibunya berharap awal yang baru dan lingkungan yang baru dapat membuatnya barubah.
Sivia berhenti di lorong kelas barunya.
“Jadi ini sekolah baruku!” katanya dalam hati.
Sivia tahu saat itu juga bahwa dia tidak akan bertahan lama. paling satu atau dua minggu. Tiba-tiba kupingnya menangkap suara merdu yang mengalun dari ruang di lorong itu. Suara piano itu sangat jernih dan indah, membuat Sivia bergerak mendekati.
Di dalam ruangan itu ia melihat seorang murid cowok sedang memainkan piano.
Setiap dentingan tuts piano yang dimainkan membuat perasaan Sivia berangsur tenang. Setelah lagu berakhir, Sivia terdiam sambil memandangi pemuda itu. Seolah merasa ada yang memperhatikan, pemain piano tersebut menoleh ke belakang, tatapannya bertemu dengan Sivia.
Dia tersenyum.
Sivia balas tersenyum sambil menyapa, “Hai!”
“Hai!”
Sivia memperhatikan cowok itu dari atas sampai bawah. Pakaiannya sangat rapi, rambutnya juga dipotong pendek di atas kerah. Sangat kontras dengan Sivia yang berantakan. “Tipe murid baik!” desahnya dalam hati.
“Eh, kau murid baru, ya?” tanya cowok itu. “Rasanya aku belum pernah melihatmu!”
Sivia tersenyum kecil. “Ya! Baru pindah hari ini!”
“kalau begitu, selamat datang!” katanya lagi.
Sivia mendesah. Dia tidak mau bergaul dengan murid seperti cowok di hadapannya itu. Terlalu membosankan.
“Nggak usah bersikap ramah!” tegas Sivia.
Kata-kata itu membuat si pemain piano kaget. “Kenapa?”
Sivia menatapnya tajam. “Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi, saat kau mengucapkan selamat tinggal padaku!”
Setelah itu Sivia membalikkan tubunya dan berjalan keluar dari ruangan.
Sementara itu Alvin, si pemain piano, tertawa perlahan. Baru kali ini dia bertemu cewek yang sikapnya lain dari yang lain.
Ketika bel tanda masuk berbunyi, Sivia melenggang masuk kelas dengan santai. Teman-teman sekelasnya menoleh ke arahnya dengan tatapan ingin tahu. Sivia yakin mereka pasti akan membicarakan dirinya seharian ini. Matanya melirik pakaian seragam yang dikenakan teman-teman perempuannya. Semua baju seragam dimasukkan ke dalam rok dengan rapi, dan di pinggang mereka melingkar ikat pinggang hitam serupa. Rupanya Mama Sivia telah memasukkan dia ke sekolah beretiket tinggi. Sivia jadi ingin tersenyum sendiri.
Pak Duta, guru wali kelas 3 IPA2, yang juga guru fisika, mengenalkan Sivia pada teman-teman sekelasnya.
“Ada yang mau kausampaikan, Sivia?” lanjut Pak Duta. Ia sudah tahu bahwa murid bari ini murid bermasalah.
Sivia menjawab dengan singkat. “Tidak!”
Pak Duta sedikit terkejut. “Tidak ada? Tidak mau menjelaskan tentang hobimu atau yang lainnya?”
Sivia memandang Pak Duta dengan tatapan bosan. “Tidak!”
“baiklah.” kata Pak Duta, menyerah. “Kau boleh duduk.”
Ketika Sivia berjalan ke arah tempat duduknya, Pak Duta melihat blus seragam Sivia yang setengah keluar dari roknya.
“Sivia!” katanya lagi. “Bisakah kau merapikan pakaian seragammu?”
Guru wali kelas yang cerewet sekali! keluh Sivia dalam hati.
Sivia menoleh ke arah Pak Duta, lalu dengan tenang sengaja mengeluarkan seluruh blus seragamnya dari roknya. Setelah itu dia duduk di tempat duduknya.
Pak Duta mendesah melihat tingkah laku murid barunya itu tetapi tidak mengatakan apa-apa. Tak berapa lama kemudian dia sibuk menjelaskan rumus-rumus di depan papan tulis. Sivia mendengarkan penjelasan tersebut sambil menguap lebar. Hari ini bakal lama sekali, pikir Sivia tidak tenang.
***
Pelajaran olahraga adalah satu-satunya pelajaran yang menarik minat Sivia. Dia tidak perlu merasa bosan mendengarkan rumus-rumus aneh di dalam ruangan sementara semua orang memperhatikan sang guru. Sivia lebih suka udara terbuka. Dan satu-satunya kesempatan hanya saat pelajaran olahraga. Dia memukul bola voli di tangannya keras-keras. Bola tersebut melambung tinggi ke daerah lawan dan jatuh tanpa ada yang bisa mengembalikannya. Sivia tertawa. Dia suka saat-saat seperti ini. Sivia menutup matanya dan menghirup udara segar. Setelah itu dibukanya mata dan tanpa sengaja tatapannya beradu dengan seseorang. Si cowok pemain piano itu memperhatikan dirinya dari lantai dua gadung sekolah.
Sivia tidak senang kalau ada orang yang diam-diam memperhatikannya. Dibalasnya tatapn cowok itu dengan sinis. Sivia mengalihkan pandangannya pada teman di sebelahnya.
“Hei!” katanya. “Kau tahu nama cowok itu?”
Temannya, yang memang agak takut dengan perangai Sivia, langsung menjawab, “Ya. Alvin!”
Sivia menatap cowok yang bernama Alvin itu sekali lagi dan memberikan tatapan peringatan padanya. Saat Sivia mendapat giliran untuk serve bola, dia melambungkan bola tersebut tepat ke arah muka Alvin.
Di lantai dua, dalam perjalanannya kembali dari toilet, Alvin tidak menyangka akan melihat si Rambut Merah yang ditemuinya tadi pagi di lapangan voli. Ia menatap gadis itu. Namun gadis itu marah dan melambungkan bola ke arahnya.
Sesaat sebelum bola tersebut mengenai mukanya. Alvin menghindar. Bola tersebut jatuh tak jauh dari tempatnya berdiri. kemudian dia mengambil bola voli tersebut dan menatap si Rambut Merah. Dengan tenang dilemparnya bola tersebut padanya sambil tersenyum, lalu masuk ke kelasnya.
Sivia dengan segera menangkap bola tersebut dengan wajah kesal.
***
Pulang sekolah, Sivia terkejut melihat ibunya sudah menunggunya.
“Jadi, bagaimana hari pertamamu?” tanya Mama tanpa basa-basi.
Sivia menatap ibunya tanpa ekspresi.
“Kau masih tidak mau bicara sama Mama?”
Sivia tetap diam.
“Mama mengerti kau sedih. Tapi setidaknya bicaralah pada Mama. Sudah hampir satu tahun kelakukanmu tidak berubah. Mama perduli padamu!”
“Benarkah?” tanya Sivia kamudian.
“Ya! Tentu saja Sivia! Bagaimanapun kau anak Mama!”
“Mama lebih peduli pada pekerjaan Mama daripada aku!” jawab Sivia ketus.
“Itu tidak benar!” kata Mama keras.
Sivia menatap wajah ibunya tanpa emosi. “Tentu saja itu benar! Itu sebabnya Papa pergi meninggalkan Mama!”
“Sivia! Cukup!”
“Mama ingin aku mengatakan perasaanku?” balas Sivia sambil berteriak juga. “Oke! aku tidak sedih, aku marah. Aku marah pada Papa karena dia meninggalkan aku, dan aku marah pada Mama karena membuatku tinggal di sini! Puas?”
Sivia berlari keluar sambil membanting pintu depan. Dia tidak mau lagi bertatap muka dengan mamanya hari ini.
Dua jam kemudian, Sivia menatap dirinya di cermin kamar mandi sebuah mal. Dia beru saja menindik hidungnya dengan anting-anting kecil yang di lihatnya beberapa saat lalu. Sivia yakin teman-teman sekolahnya akan sangat terkejut besok. Terus terang Sivia tidak perduli, dia memang tidak ingin bertahan lebih lama lagi di sekolahnya. Semakin cepat dikeluarkan semakin bagus. Biar saja Mama kalang kabut mencari sekolah baru.
Sivia keluar dari kamar mandi dan berjalan-jalan di dalam mal. Dia melihat toko musik dan memasukinya. Pandangan matanya jatuh pada sebuah CD dan dia mengambilnya. Tiba-tiba saja Sivia mendapat ide dan tersenyum. Dia akan membawa CD itu keluar dan sengaja dan membiarkan dirinya tertangkap. Pasti Mama akan sangat marah padanya. Siapa tahu hal itu juga bisa membuatnya dikeluarkan dari sekolah lebih cepat dari rencana semula.
Dengan langkah santai, Sivia keluar membawa CD di tangannya. Saat tiba di pintu kaluar, seorang satpam menghampirinya.
“Maaf,” katanya, “tapi Anda belum membayar CD yang Anda bawa!”
Sivia tersenyum manis. “Memang! Jadi kenapa?”
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan berkata, “Di sini kau rupanya!”
Sivia menatap orang yang menepuk pundaknya. Cowok itu lagi! Si pemain piano sekolahnya.
Alvin menatap Sivia sambil tersenyum. Dia sudah memerhatikan Sivia sejenak gadis itu memasuki toko musik. Dan dia tahu Sivia melakukan hal tadi dengan sengaja.
“Maaf, Pak!” lanjut Alvin. “Dia teman saya! Saya menyuruhnya membawakan CD ini ke kasir, tapi sepertinya dia keluapaan berjalan ke pintu keluar!”
Si satpam terlihat curiga. “Apa benar begitu?”
Saat Sivia mau bicara, Alvin langsung memotongnya. “Ya benar! Lagi pula kalau dia memang berniat mencuri CD, kenapa dia tidak memasukkannya saja ke tas biar tidak terlihat? Teman saya ini malah membawanya secara terang-terangan.”
Si satpam terdiam mendengar penjelasan Alvin. Di sampinya, Sivia benar-benarterlihat kesal. Dia tidak suka orang yang mencampuri urusannya. Tetapi sebelum Sivia berkata sesuatu, Alvin sudah mengambil CD di tangannya dan berkata lagi pada pak satpam.
“Kalau begitu saya bayar dahulu CD ini, Pak! Sekali lagi saya minta maaf” Alvin berkata dengan tulus sehingga mau tak mau pak satpan tersenyum padanya.
“Tidak apa-apa!” katanya.
Sivia menatap Alvin yang berjalan ka arah kasir. Saat kaluar dan menjahui toko musik, Sivia mencekal lengan Alvin, memaksa pemuda itu menghentikan langkahnya.
“Heh! Kurang kerjaan, ya?” teriaknya. “Untuk apa ikut campur urusan orang?”
Alvin tersenyum. “Seharusnya kau bilang terima kasih dan aku akan membalasnya dengan bilang sama-sama!”
Sivia berkacak pinggang sambil mengacung-acungkan telunjuknya. “Dengar, ya! Aku tidak suka orang sepertimu! Aku hanya akan memperingatkan sekali ini saja! Jangan ikut campur urusanku, atau kau akan menyesal!”
Sivia terengah-engah setelah berteriak pada Alvin. Ditatapnya Alvin yang hanya berdiri dengan tenang mendengarkan semua teriakannya.
“Heh! Denger tidak?” teriak Sivia lagi.
Alvin mengangguk.
Sivia memandang Alvin dengan bingung “Kenapa dia hanya diam seperti patung?” pikirnya.
“Kau ngerti maksudku nggak?” seru Sivia lagi.
Alvin mengangguk untuk kedua kalinya.
Sivia menjadi semakin bingung. “Mana suaramu? Kenapa sekarang kau cuma diam? mendadak bisu ya?”
Alvin menggeleng.
“Jadi kenapa diam saja sekarang?”
Alvin masih diam.
Benar-benar orang aneh, kata Sivia dalam hati. Tadi di toko musik biacara panjang-lebar, sekarang malah diam seribu bahasa.
“Kenapa? Kau sakit?” tanya Sivia, suaranya agak lembut.
Pertanyaannya itu sempat membuat Alvin terjekut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Pertanyaan itu sempat membuat Alvin terkejut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Sivia tidak mau melayani permainan Alvin lagi. Untuk terakhir kalinya ia mengancam, “Pokoknya aku tidak mau kau ikut campur urusanku lagi!! Awas saja!”
Setelah berkata demikian Sivia memutar tubunya, menginggalkan Alvin.
Alvin tersenyum kecil. Diandanginya CD yang ada di tangannya. The Sound of Music. Dia memasukkan CD tersebut ke tasnya lalu keluar dari mal. Tak berapa lama kemudian, Alvin memasuki rumah sakit yang jauhnya hanya 500 meter dari sana.
“Dari mana saja kau?”
Sang dokter menghampiri Alvin dengan wajah panik.
“Jalan-jalan!” kata Alvin.
“Alvin…,” kata dokter itu.
“Aku tahu tidak seharusnya aku kabur!” kata Alvin. “Tapi aku bosan sekali! Maafkan aku, Pa!”
Sang dokter yang ternyata ayah Alvin mendesah, “Tidak apa-apa! Lain kali kalau mau jalan-jalan bilang Papa dulu! Sudah makan belum?”
Alvin menggeleng.
Papa tersenyum sambil merangkul pundak putranya “Ayo, kita cari makan!”
Alvin mengikuti langkah papanya. Kalau dia tidak kabur dari rumah sakit, pasti dia tidak akan bertemu dengan si Rambut Merah. Alvin menyebutnya seerti itu sejak pertama kali bertemu dengannya. Kemudian dia tahu dari teman-teman sekelasnya bahwa si Rambut Merah itu bernama Sivia. Dia juga mendengar kekanak-kanakaan apa saja yang sudah diperbuat Sivia. Gosip memang menyebar dengan cepat.
Sewaktu Sivia marah-marah di mal tadi, Alvin benar-benar terkejut. Seumur hidup belum pernah ada orang yang berteriak di depannya. Pengalaman baru tadi membuatnya merasa asing sekaligus terkesan. Yang pasti bukan perasaan takut, tapi lebih pada perasaan senang.
“Apa yang membuatmu tersenyum-senyum seperti itu?” Suata papanya memasuki pikiran Alvin.
Alvin meneguk minuman di depannya.
“Siapa?” Papa bertanya seraya mengangkat alis.
“Teman sekolah!” jawab Alvin singkat. “Dia anak baru!”
“Kau mau membicarakannya dengan Papa?”
Alvin menggeleng. “Tidak! Nanti saja, bukankah sekarang waktunya pemeriksaan?”
Papa menatap jam yang ada di kantin, lalu mengangguk. “Ayo!”
Alvin sudah mengenal rumah sakit ini sejak kecil. Bisa dikatakan rumah sakit ini adalah rumah keduanya, karena sejak kecil ia sudah keluar-masuk rumah sakit. Alvin tak banyak mengenal kagiatan lain selain berobat, belajar di sekolah, les di rumah, dan sesekali ke mal.
Bunga mawar merah di taman rumah sakit mengingakannya pada rambut Sivia. Alvin tertawa kecil. Entah mengapa ingatan akan Sivia membuatnya lebih rileks dalam menjalani pemeriksaan.
***
Suasana kelab di malam hari tampak ramai . Sivia mengamati keadaan di sekelilingnya dengan bosan. Alasan satu-satunya dia berada di sini adalah karena tidak ingin pulang ke rumah dan berhadapan dengan ibunya. Suara musik yang sangat keras benar-benar sesuai dengan hatinya saat ini. Dinyalakannya sebatang rokok untuk melepas ketegangan. Sivia ingat ketika pertama kali mencoba merokok. Ia melakukannya sewaktu ayahnya pergi ke luar negri tidak berapa lama sesudah sidang perceraian. Karena belum pernah merokok, dia batuk-batuk sampai keluar air mata. Keesokan harinya dia malah mencoba mengisap dua batang rokok sekaligus. Lama-kelamaan Sivia mencoba segala jenis merek rokok yang ditemuinya, tetapi tidak ada satu pun yang bisa mengobati rasa sakit hatinya.
Hatinya nyeri luar biasa setelah kehilangan satu-satunya orang yang dia percayai. Dia tidak menyangka ayahnya akan setega itu meninggalkannya dengan Mama. Padahal Papa tahu dia tidak pernah aku dengan Mama. Mulai saat itu, Sivia tidak pernah lagi percaya pada siapa pun. Dia berhenti peduli pada orang-orang di sekitarnya. Dia juga berhenti peduli terhadap dirinya sendiri. Luka di dalam hatinya tidak kunjung sembuh.
Tiba-tiba pikirannya melayang pada kejadian siang tadi di toko musik. Rencananya pasti berhasil jika saja Alvin tidak menghalanginya. Ada sesuatu yang aneh pada diri Alvin yang tidak dimengerti oleh Sivia. Tapi pikirannya itu hanya singgap sejenak di benaknya, karena perhatian Sivia langsung beralih pada orang-orang yang bergoyang mengikuti irama musik. Dimatikannya rokok yang masih tinggal setengah, dan silangkahkannya kaki menuju lantai dansa. Selama satu jam dia bergoyang tanpa henti. Setelah puas, Sivia kembali ke tempat duduknya.
Seorang pria menghampirinya.
“Hai!” katanya. “Goyanganmu boleh juga.”
Sivia menoleh acuh tak acuh pada pria itu.
Si pria duduk di sebelah Sivia. “Mau ikut jalan-jalan denganku?”
“Tidak!” jawab Sivia ketus.
Si pria tersenyum menggoda. “Ayolah!” katanya. Tangan pria itu memegang tangan Sivia dengan lembut. “Kau pasti tidak akan menyesal!”
Sivia menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam.”Lepaskan tanganmu!”
Pria tersebut malah menggenggam tagan Sivia semakin erat. “Oh! Kau sok jual mahal! Tidak apa-apa, aku suka kok cewek yang tidak gampang menyerah!”
“Aku bilang jangan sentuh tanganku!!!!” teriaknya pada pria itu.
Sivia menarik tangannya dari genggaman pria itu lalu berdiri. Dilemparnya kursi yang tadi didudukinya ke arah pria itu. Si pria terkejut bukan main dan langsung menghindar. Kursi tadi bisa saja mengenai kakinya.
“Kau gila, ya????” tanya pria itu.
Sivia memandang pria itu tanpa ekspresi lalu berbalik dan melangkah pergi. Si pria yang tidak puas diperlakukan seperti itu merenggut baju Sivia, membalikkan tubuhnya sampai berhadapan dengan tangan siap menampar gadis itu.
“Kurang ajar sekali kau!” katanya kemudian.
Sivia menatap lurus pria di depannya. “Silahkan! Pukul saja aku!”
Si pria terpaku mendengar perkataan Sivia.
“Kenapa?” tanya Sivia lagi. “Ayo pukul! Semakin keras semakin baik!”
Si pria sudah nyaris menamparnya menjadi ragu mendengar perkataan Sivia yang terakhir tadi. Ia melepas cengkramannya di baju Sivia.
“Cewek aneh!” desis pria itu sambil berlalu dari hadapan Sivia.
Sivia sungguh berharap orang tersebut memukulnya tadi. Toh hal itu tidak akan bisa menandingi sakit hatinya. Kerumunan orang yang berada di sekitar Sivia terdiam. Saat Sivia melemparkan kursi ke arah pria tadi, semua mata memandangnya.
“APA!!!” teriak Sivia pada mereka. “Kalian mau memukulku juga?!! Ayo, pukul aku!”
Sivia berjalan ke arah penontonnya dan memandang salah seorang di antaranya, “Ayo, coba kaupukul aku!” Sivia mengatakannya dengan santai.
Si penonton malah beranjak darinya, dan perlahan-lahan kerumunan tersebut bubar. Sivia tertawa sendiri dan keluar dari kelab. Ketika melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ketika sampai di rumah, orang yang tidak ingin ia temui sedang menunggunya di ruang tamu.
“Dari mana saja kau?” teriak Mama saat Sivia memasuki rumah.
Sivia tidak menjawab.
“Apa itu?” tanya Mama lagi saat melihat anting-anting di hidung Sivia. “Kau menindik hidungmu?!”
“Ya!” kata Sivia enteng. “Keren, kan?”
“Mama mau kau melepaskan anting-anting itu sekarang juga!” Ibunya histeris.
Sivia tertawa sinis. “Yeah! aku juga mau Papa berada di sini! Tapi kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?”
Sivia berlari ke lantai atas, ke kamarnya.
“Sivia!” teriak Mama sambil menyusul Sivia ke lantai atas.
Sivia menerjang masuk ke kamarnya sambil membanting pintu di depan Mama dan menguncinya.
“Sivia! Buka pintunya! Mama belum selesai berbicara!” Ibunya menggedor-gedor pintu kamar Sivia dengan kencang.
“Tapi aku sudah selesai bicara!” balas Sivia.
Sivia duduk di kursi meja belajarnya dengan napas terengah-engah. Dan ia semakin kesal begitu melihat foto keluarganya. Dalam foto tersebut Papa memeluk Sivia yang masih balita; di sebelah Papa, Mama memegang tangannya sambil tersenyum. Salah satu kenangan bahagia yang diingat Sivia.
Gedoran di pintu kamarnya membuat Sivia kesal. Dibantingya foto tersebut ke arah pintu sampai pecah berantakan. “Pergi!!” teriaknya. “Jangan ganggu aku lagi!”
Seketika itu juga gedoran berhanti. Lalu terdengar langkah kaki menuruni tangga.
Sivia menatap wajahnya di cermin. Tampangnya sangat berantakan. Tangannya merogoh kantong celananya, mengeluarkan bungkus rokok. Diambilnya satu dan dinyalakannya rokok tersebut. Setelah rokok itu habis, Sivia naik ke tempat tidur dan tertidur tak beberapa lama kemudian.
Sebenarnya Sivia merasa bosan karena harus mengulang pelajaran yang sama di tahun ini, karena tahun kemarin dia tidak lulus ujian SMA. Mama benar-benar kecewa terhadapnya. Setelahberpikir matang-matang dan karena hotelnya membuka cabang baru, beliau pun memutuskan untuk pindah ke luar kota dan menyekolahkan Sivia di kota baru tersebut. Sivia tahu ibunya berharap awal yang baru dan lingkungan yang baru dapat membuatnya barubah.
Sivia berhenti di lorong kelas barunya.
“Jadi ini sekolah baruku!” katanya dalam hati.
Sivia tahu saat itu juga bahwa dia tidak akan bertahan lama. paling satu atau dua minggu. Tiba-tiba kupingnya menangkap suara merdu yang mengalun dari ruang di lorong itu. Suara piano itu sangat jernih dan indah, membuat Sivia bergerak mendekati.
Di dalam ruangan itu ia melihat seorang murid cowok sedang memainkan piano.
Setiap dentingan tuts piano yang dimainkan membuat perasaan Sivia berangsur tenang. Setelah lagu berakhir, Sivia terdiam sambil memandangi pemuda itu. Seolah merasa ada yang memperhatikan, pemain piano tersebut menoleh ke belakang, tatapannya bertemu dengan Sivia.
Dia tersenyum.
Sivia balas tersenyum sambil menyapa, “Hai!”
“Hai!”
Sivia memperhatikan cowok itu dari atas sampai bawah. Pakaiannya sangat rapi, rambutnya juga dipotong pendek di atas kerah. Sangat kontras dengan Sivia yang berantakan. “Tipe murid baik!” desahnya dalam hati.
“Eh, kau murid baru, ya?” tanya cowok itu. “Rasanya aku belum pernah melihatmu!”
Sivia tersenyum kecil. “Ya! Baru pindah hari ini!”
“kalau begitu, selamat datang!” katanya lagi.
Sivia mendesah. Dia tidak mau bergaul dengan murid seperti cowok di hadapannya itu. Terlalu membosankan.
“Nggak usah bersikap ramah!” tegas Sivia.
Kata-kata itu membuat si pemain piano kaget. “Kenapa?”
Sivia menatapnya tajam. “Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi, saat kau mengucapkan selamat tinggal padaku!”
Setelah itu Sivia membalikkan tubunya dan berjalan keluar dari ruangan.
Sementara itu Alvin, si pemain piano, tertawa perlahan. Baru kali ini dia bertemu cewek yang sikapnya lain dari yang lain.
Ketika bel tanda masuk berbunyi, Sivia melenggang masuk kelas dengan santai. Teman-teman sekelasnya menoleh ke arahnya dengan tatapan ingin tahu. Sivia yakin mereka pasti akan membicarakan dirinya seharian ini. Matanya melirik pakaian seragam yang dikenakan teman-teman perempuannya. Semua baju seragam dimasukkan ke dalam rok dengan rapi, dan di pinggang mereka melingkar ikat pinggang hitam serupa. Rupanya Mama Sivia telah memasukkan dia ke sekolah beretiket tinggi. Sivia jadi ingin tersenyum sendiri.
Pak Duta, guru wali kelas 3 IPA2, yang juga guru fisika, mengenalkan Sivia pada teman-teman sekelasnya.
“Ada yang mau kausampaikan, Sivia?” lanjut Pak Duta. Ia sudah tahu bahwa murid bari ini murid bermasalah.
Sivia menjawab dengan singkat. “Tidak!”
Pak Duta sedikit terkejut. “Tidak ada? Tidak mau menjelaskan tentang hobimu atau yang lainnya?”
Sivia memandang Pak Duta dengan tatapan bosan. “Tidak!”
“baiklah.” kata Pak Duta, menyerah. “Kau boleh duduk.”
Ketika Sivia berjalan ke arah tempat duduknya, Pak Duta melihat blus seragam Sivia yang setengah keluar dari roknya.
“Sivia!” katanya lagi. “Bisakah kau merapikan pakaian seragammu?”
Guru wali kelas yang cerewet sekali! keluh Sivia dalam hati.
Sivia menoleh ke arah Pak Duta, lalu dengan tenang sengaja mengeluarkan seluruh blus seragamnya dari roknya. Setelah itu dia duduk di tempat duduknya.
Pak Duta mendesah melihat tingkah laku murid barunya itu tetapi tidak mengatakan apa-apa. Tak berapa lama kemudian dia sibuk menjelaskan rumus-rumus di depan papan tulis. Sivia mendengarkan penjelasan tersebut sambil menguap lebar. Hari ini bakal lama sekali, pikir Sivia tidak tenang.
***
Pelajaran olahraga adalah satu-satunya pelajaran yang menarik minat Sivia. Dia tidak perlu merasa bosan mendengarkan rumus-rumus aneh di dalam ruangan sementara semua orang memperhatikan sang guru. Sivia lebih suka udara terbuka. Dan satu-satunya kesempatan hanya saat pelajaran olahraga. Dia memukul bola voli di tangannya keras-keras. Bola tersebut melambung tinggi ke daerah lawan dan jatuh tanpa ada yang bisa mengembalikannya. Sivia tertawa. Dia suka saat-saat seperti ini. Sivia menutup matanya dan menghirup udara segar. Setelah itu dibukanya mata dan tanpa sengaja tatapannya beradu dengan seseorang. Si cowok pemain piano itu memperhatikan dirinya dari lantai dua gadung sekolah.
Sivia tidak senang kalau ada orang yang diam-diam memperhatikannya. Dibalasnya tatapn cowok itu dengan sinis. Sivia mengalihkan pandangannya pada teman di sebelahnya.
“Hei!” katanya. “Kau tahu nama cowok itu?”
Temannya, yang memang agak takut dengan perangai Sivia, langsung menjawab, “Ya. Alvin!”
Sivia menatap cowok yang bernama Alvin itu sekali lagi dan memberikan tatapan peringatan padanya. Saat Sivia mendapat giliran untuk serve bola, dia melambungkan bola tersebut tepat ke arah muka Alvin.
Di lantai dua, dalam perjalanannya kembali dari toilet, Alvin tidak menyangka akan melihat si Rambut Merah yang ditemuinya tadi pagi di lapangan voli. Ia menatap gadis itu. Namun gadis itu marah dan melambungkan bola ke arahnya.
Sesaat sebelum bola tersebut mengenai mukanya. Alvin menghindar. Bola tersebut jatuh tak jauh dari tempatnya berdiri. kemudian dia mengambil bola voli tersebut dan menatap si Rambut Merah. Dengan tenang dilemparnya bola tersebut padanya sambil tersenyum, lalu masuk ke kelasnya.
Sivia dengan segera menangkap bola tersebut dengan wajah kesal.
***
Pulang sekolah, Sivia terkejut melihat ibunya sudah menunggunya.
“Jadi, bagaimana hari pertamamu?” tanya Mama tanpa basa-basi.
Sivia menatap ibunya tanpa ekspresi.
“Kau masih tidak mau bicara sama Mama?”
Sivia tetap diam.
“Mama mengerti kau sedih. Tapi setidaknya bicaralah pada Mama. Sudah hampir satu tahun kelakukanmu tidak berubah. Mama perduli padamu!”
“Benarkah?” tanya Sivia kamudian.
“Ya! Tentu saja Sivia! Bagaimanapun kau anak Mama!”
“Mama lebih peduli pada pekerjaan Mama daripada aku!” jawab Sivia ketus.
“Itu tidak benar!” kata Mama keras.
Sivia menatap wajah ibunya tanpa emosi. “Tentu saja itu benar! Itu sebabnya Papa pergi meninggalkan Mama!”
“Sivia! Cukup!”
“Mama ingin aku mengatakan perasaanku?” balas Sivia sambil berteriak juga. “Oke! aku tidak sedih, aku marah. Aku marah pada Papa karena dia meninggalkan aku, dan aku marah pada Mama karena membuatku tinggal di sini! Puas?”
Sivia berlari keluar sambil membanting pintu depan. Dia tidak mau lagi bertatap muka dengan mamanya hari ini.
Dua jam kemudian, Sivia menatap dirinya di cermin kamar mandi sebuah mal. Dia beru saja menindik hidungnya dengan anting-anting kecil yang di lihatnya beberapa saat lalu. Sivia yakin teman-teman sekolahnya akan sangat terkejut besok. Terus terang Sivia tidak perduli, dia memang tidak ingin bertahan lebih lama lagi di sekolahnya. Semakin cepat dikeluarkan semakin bagus. Biar saja Mama kalang kabut mencari sekolah baru.
Sivia keluar dari kamar mandi dan berjalan-jalan di dalam mal. Dia melihat toko musik dan memasukinya. Pandangan matanya jatuh pada sebuah CD dan dia mengambilnya. Tiba-tiba saja Sivia mendapat ide dan tersenyum. Dia akan membawa CD itu keluar dan sengaja dan membiarkan dirinya tertangkap. Pasti Mama akan sangat marah padanya. Siapa tahu hal itu juga bisa membuatnya dikeluarkan dari sekolah lebih cepat dari rencana semula.
Dengan langkah santai, Sivia keluar membawa CD di tangannya. Saat tiba di pintu kaluar, seorang satpam menghampirinya.
“Maaf,” katanya, “tapi Anda belum membayar CD yang Anda bawa!”
Sivia tersenyum manis. “Memang! Jadi kenapa?”
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan berkata, “Di sini kau rupanya!”
Sivia menatap orang yang menepuk pundaknya. Cowok itu lagi! Si pemain piano sekolahnya.
Alvin menatap Sivia sambil tersenyum. Dia sudah memerhatikan Sivia sejenak gadis itu memasuki toko musik. Dan dia tahu Sivia melakukan hal tadi dengan sengaja.
“Maaf, Pak!” lanjut Alvin. “Dia teman saya! Saya menyuruhnya membawakan CD ini ke kasir, tapi sepertinya dia keluapaan berjalan ke pintu keluar!”
Si satpam terlihat curiga. “Apa benar begitu?”
Saat Sivia mau bicara, Alvin langsung memotongnya. “Ya benar! Lagi pula kalau dia memang berniat mencuri CD, kenapa dia tidak memasukkannya saja ke tas biar tidak terlihat? Teman saya ini malah membawanya secara terang-terangan.”
Si satpam terdiam mendengar penjelasan Alvin. Di sampinya, Sivia benar-benarterlihat kesal. Dia tidak suka orang yang mencampuri urusannya. Tetapi sebelum Sivia berkata sesuatu, Alvin sudah mengambil CD di tangannya dan berkata lagi pada pak satpam.
“Kalau begitu saya bayar dahulu CD ini, Pak! Sekali lagi saya minta maaf” Alvin berkata dengan tulus sehingga mau tak mau pak satpan tersenyum padanya.
“Tidak apa-apa!” katanya.
Sivia menatap Alvin yang berjalan ka arah kasir. Saat kaluar dan menjahui toko musik, Sivia mencekal lengan Alvin, memaksa pemuda itu menghentikan langkahnya.
“Heh! Kurang kerjaan, ya?” teriaknya. “Untuk apa ikut campur urusan orang?”
Alvin tersenyum. “Seharusnya kau bilang terima kasih dan aku akan membalasnya dengan bilang sama-sama!”
Sivia berkacak pinggang sambil mengacung-acungkan telunjuknya. “Dengar, ya! Aku tidak suka orang sepertimu! Aku hanya akan memperingatkan sekali ini saja! Jangan ikut campur urusanku, atau kau akan menyesal!”
Sivia terengah-engah setelah berteriak pada Alvin. Ditatapnya Alvin yang hanya berdiri dengan tenang mendengarkan semua teriakannya.
“Heh! Denger tidak?” teriak Sivia lagi.
Alvin mengangguk.
Sivia memandang Alvin dengan bingung “Kenapa dia hanya diam seperti patung?” pikirnya.
“Kau ngerti maksudku nggak?” seru Sivia lagi.
Alvin mengangguk untuk kedua kalinya.
Sivia menjadi semakin bingung. “Mana suaramu? Kenapa sekarang kau cuma diam? mendadak bisu ya?”
Alvin menggeleng.
“Jadi kenapa diam saja sekarang?”
Alvin masih diam.
Benar-benar orang aneh, kata Sivia dalam hati. Tadi di toko musik biacara panjang-lebar, sekarang malah diam seribu bahasa.
“Kenapa? Kau sakit?” tanya Sivia, suaranya agak lembut.
Pertanyaannya itu sempat membuat Alvin terjekut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Pertanyaan itu sempat membuat Alvin terkejut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Sivia tidak mau melayani permainan Alvin lagi. Untuk terakhir kalinya ia mengancam, “Pokoknya aku tidak mau kau ikut campur urusanku lagi!! Awas saja!”
Setelah berkata demikian Sivia memutar tubunya, menginggalkan Alvin.
Alvin tersenyum kecil. Diandanginya CD yang ada di tangannya. The Sound of Music. Dia memasukkan CD tersebut ke tasnya lalu keluar dari mal. Tak berapa lama kemudian, Alvin memasuki rumah sakit yang jauhnya hanya 500 meter dari sana.
“Dari mana saja kau?”
Sang dokter menghampiri Alvin dengan wajah panik.
“Jalan-jalan!” kata Alvin.
“Alvin…,” kata dokter itu.
“Aku tahu tidak seharusnya aku kabur!” kata Alvin. “Tapi aku bosan sekali! Maafkan aku, Pa!”
Sang dokter yang ternyata ayah Alvin mendesah, “Tidak apa-apa! Lain kali kalau mau jalan-jalan bilang Papa dulu! Sudah makan belum?”
Alvin menggeleng.
Papa tersenyum sambil merangkul pundak putranya “Ayo, kita cari makan!”
Alvin mengikuti langkah papanya. Kalau dia tidak kabur dari rumah sakit, pasti dia tidak akan bertemu dengan si Rambut Merah. Alvin menyebutnya seerti itu sejak pertama kali bertemu dengannya. Kemudian dia tahu dari teman-teman sekelasnya bahwa si Rambut Merah itu bernama Sivia. Dia juga mendengar kekanak-kanakaan apa saja yang sudah diperbuat Sivia. Gosip memang menyebar dengan cepat.
Sewaktu Sivia marah-marah di mal tadi, Alvin benar-benar terkejut. Seumur hidup belum pernah ada orang yang berteriak di depannya. Pengalaman baru tadi membuatnya merasa asing sekaligus terkesan. Yang pasti bukan perasaan takut, tapi lebih pada perasaan senang.
“Apa yang membuatmu tersenyum-senyum seperti itu?” Suata papanya memasuki pikiran Alvin.
Alvin meneguk minuman di depannya.
“Siapa?” Papa bertanya seraya mengangkat alis.
“Teman sekolah!” jawab Alvin singkat. “Dia anak baru!”
“Kau mau membicarakannya dengan Papa?”
Alvin menggeleng. “Tidak! Nanti saja, bukankah sekarang waktunya pemeriksaan?”
Papa menatap jam yang ada di kantin, lalu mengangguk. “Ayo!”
Alvin sudah mengenal rumah sakit ini sejak kecil. Bisa dikatakan rumah sakit ini adalah rumah keduanya, karena sejak kecil ia sudah keluar-masuk rumah sakit. Alvin tak banyak mengenal kagiatan lain selain berobat, belajar di sekolah, les di rumah, dan sesekali ke mal.
Bunga mawar merah di taman rumah sakit mengingakannya pada rambut Sivia. Alvin tertawa kecil. Entah mengapa ingatan akan Sivia membuatnya lebih rileks dalam menjalani pemeriksaan.
***
Suasana kelab di malam hari tampak ramai . Sivia mengamati keadaan di sekelilingnya dengan bosan. Alasan satu-satunya dia berada di sini adalah karena tidak ingin pulang ke rumah dan berhadapan dengan ibunya. Suara musik yang sangat keras benar-benar sesuai dengan hatinya saat ini. Dinyalakannya sebatang rokok untuk melepas ketegangan. Sivia ingat ketika pertama kali mencoba merokok. Ia melakukannya sewaktu ayahnya pergi ke luar negri tidak berapa lama sesudah sidang perceraian. Karena belum pernah merokok, dia batuk-batuk sampai keluar air mata. Keesokan harinya dia malah mencoba mengisap dua batang rokok sekaligus. Lama-kelamaan Sivia mencoba segala jenis merek rokok yang ditemuinya, tetapi tidak ada satu pun yang bisa mengobati rasa sakit hatinya.
Hatinya nyeri luar biasa setelah kehilangan satu-satunya orang yang dia percayai. Dia tidak menyangka ayahnya akan setega itu meninggalkannya dengan Mama. Padahal Papa tahu dia tidak pernah aku dengan Mama. Mulai saat itu, Sivia tidak pernah lagi percaya pada siapa pun. Dia berhenti peduli pada orang-orang di sekitarnya. Dia juga berhenti peduli terhadap dirinya sendiri. Luka di dalam hatinya tidak kunjung sembuh.
Tiba-tiba pikirannya melayang pada kejadian siang tadi di toko musik. Rencananya pasti berhasil jika saja Alvin tidak menghalanginya. Ada sesuatu yang aneh pada diri Alvin yang tidak dimengerti oleh Sivia. Tapi pikirannya itu hanya singgap sejenak di benaknya, karena perhatian Sivia langsung beralih pada orang-orang yang bergoyang mengikuti irama musik. Dimatikannya rokok yang masih tinggal setengah, dan silangkahkannya kaki menuju lantai dansa. Selama satu jam dia bergoyang tanpa henti. Setelah puas, Sivia kembali ke tempat duduknya.
Seorang pria menghampirinya.
“Hai!” katanya. “Goyanganmu boleh juga.”
Sivia menoleh acuh tak acuh pada pria itu.
Si pria duduk di sebelah Sivia. “Mau ikut jalan-jalan denganku?”
“Tidak!” jawab Sivia ketus.
Si pria tersenyum menggoda. “Ayolah!” katanya. Tangan pria itu memegang tangan Sivia dengan lembut. “Kau pasti tidak akan menyesal!”
Sivia menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam.”Lepaskan tanganmu!”
Pria tersebut malah menggenggam tagan Sivia semakin erat. “Oh! Kau sok jual mahal! Tidak apa-apa, aku suka kok cewek yang tidak gampang menyerah!”
“Aku bilang jangan sentuh tanganku!!!!” teriaknya pada pria itu.
Sivia menarik tangannya dari genggaman pria itu lalu berdiri. Dilemparnya kursi yang tadi didudukinya ke arah pria itu. Si pria terkejut bukan main dan langsung menghindar. Kursi tadi bisa saja mengenai kakinya.
“Kau gila, ya????” tanya pria itu.
Sivia memandang pria itu tanpa ekspresi lalu berbalik dan melangkah pergi. Si pria yang tidak puas diperlakukan seperti itu merenggut baju Sivia, membalikkan tubuhnya sampai berhadapan dengan tangan siap menampar gadis itu.
“Kurang ajar sekali kau!” katanya kemudian.
Sivia menatap lurus pria di depannya. “Silahkan! Pukul saja aku!”
Si pria terpaku mendengar perkataan Sivia.
“Kenapa?” tanya Sivia lagi. “Ayo pukul! Semakin keras semakin baik!”
Si pria sudah nyaris menamparnya menjadi ragu mendengar perkataan Sivia yang terakhir tadi. Ia melepas cengkramannya di baju Sivia.
“Cewek aneh!” desis pria itu sambil berlalu dari hadapan Sivia.
Sivia sungguh berharap orang tersebut memukulnya tadi. Toh hal itu tidak akan bisa menandingi sakit hatinya. Kerumunan orang yang berada di sekitar Sivia terdiam. Saat Sivia melemparkan kursi ke arah pria tadi, semua mata memandangnya.
“APA!!!” teriak Sivia pada mereka. “Kalian mau memukulku juga?!! Ayo, pukul aku!”
Sivia berjalan ke arah penontonnya dan memandang salah seorang di antaranya, “Ayo, coba kaupukul aku!” Sivia mengatakannya dengan santai.
Si penonton malah beranjak darinya, dan perlahan-lahan kerumunan tersebut bubar. Sivia tertawa sendiri dan keluar dari kelab. Ketika melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ketika sampai di rumah, orang yang tidak ingin ia temui sedang menunggunya di ruang tamu.
“Dari mana saja kau?” teriak Mama saat Sivia memasuki rumah.
Sivia tidak menjawab.
“Apa itu?” tanya Mama lagi saat melihat anting-anting di hidung Sivia. “Kau menindik hidungmu?!”
“Ya!” kata Sivia enteng. “Keren, kan?”
“Mama mau kau melepaskan anting-anting itu sekarang juga!” Ibunya histeris.
Sivia tertawa sinis. “Yeah! aku juga mau Papa berada di sini! Tapi kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?”
Sivia berlari ke lantai atas, ke kamarnya.
“Sivia!” teriak Mama sambil menyusul Sivia ke lantai atas.
Sivia menerjang masuk ke kamarnya sambil membanting pintu di depan Mama dan menguncinya.
“Sivia! Buka pintunya! Mama belum selesai berbicara!” Ibunya menggedor-gedor pintu kamar Sivia dengan kencang.
“Tapi aku sudah selesai bicara!” balas Sivia.
Sivia duduk di kursi meja belajarnya dengan napas terengah-engah. Dan ia semakin kesal begitu melihat foto keluarganya. Dalam foto tersebut Papa memeluk Sivia yang masih balita; di sebelah Papa, Mama memegang tangannya sambil tersenyum. Salah satu kenangan bahagia yang diingat Sivia.
Gedoran di pintu kamarnya membuat Sivia kesal. Dibantingya foto tersebut ke arah pintu sampai pecah berantakan. “Pergi!!” teriaknya. “Jangan ganggu aku lagi!”
Seketika itu juga gedoran berhanti. Lalu terdengar langkah kaki menuruni tangga.
Sivia menatap wajahnya di cermin. Tampangnya sangat berantakan. Tangannya merogoh kantong celananya, mengeluarkan bungkus rokok. Diambilnya satu dan dinyalakannya rokok tersebut. Setelah rokok itu habis, Sivia naik ke tempat tidur dan tertidur tak beberapa lama kemudian.
Bila (puisi kak Febiola Novita)
Bila aku adalah Bulan
Dan bila kamu Matahari
Akankah ada waktu kita berjumpa?
Bila aku adalah doa
Dan bila kamulah jawabnya
Akankah selalu demikian adanya?
Bila aku adalah mimpi
Dan bila kamu adalah harap
Akankah kita melangkah bersama hingga tujuan?
Bila aku adalah tangis
Dan bila kamu adalah tawa
Akankah selalu kamu yang sembuhkan luka hati?
Bila aku adalah esok
Dan bila kamu adalah saat ini Akankah aku bisa membuatmu melihat ke depan....
...dan melupakan kemarin?
Dan bila kamu Matahari
Akankah ada waktu kita berjumpa?
Bila aku adalah doa
Dan bila kamulah jawabnya
Akankah selalu demikian adanya?
Bila aku adalah mimpi
Dan bila kamu adalah harap
Akankah kita melangkah bersama hingga tujuan?
Bila aku adalah tangis
Dan bila kamu adalah tawa
Akankah selalu kamu yang sembuhkan luka hati?
Bila aku adalah esok
Dan bila kamu adalah saat ini Akankah aku bisa membuatmu melihat ke depan....
...dan melupakan kemarin?
3600 Detik (versi Alvia)
Aku benci hidupku!!!
Sivia berteriak dalam hati sambil memandang langit-langit ruang olahraga. Dia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana. Yang jelas, dia sudah membolos pelajaran sejak tadi pagi. tangan kanannya memegang sebatang rokok. Dia merokok sambil duduk di tepi jendela, mencoba mengingat sudah berapa banyak rokok yang diisapnya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Terus terang dia tidak ingat, sama seperti dia tidak ingat sudah berapa banyak sekolah yang dia masuki sejak tahun lalu. semuanya tidak pernah bertahan lebih dari sepuluh hari.
Sivia sudah tidak pernah mau memedulikan apa pun lagi semenjak ayahnya bercerai dengan ibunya setahun lalu. Padahal dia sangat dekat dengan ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu kalau hubungan orangtuanya bermasalah. Jadi tahun lalu tanpa adatanda apa-apa sebelumnya, Papa menjelaskan bahwa dia ingin bercerai dengan Mama dan pergi ke luar negri.
***
Pada saat yang bersamaan, di tempat lain, Alvin berjalan memasuki panggung dengan langkah perlahan. Di depannya dewan juri melihatnya dengan seksama. Ratusan penonton berada di dalam gedung. Alvin membungkuk, memberi hormat pada para juri dan penonton. Lalu dia bergerak ke depan piano yang ada di tegah panggung. Alvin duduk dengan tenang dan mempersiapkan diri. Tangannya berasa di atas tuts. Dia menarik napas beberapa saat sambil menutup matanya. Saat matanya terbuka kembali, jarinya sudah mulai menekan tuts di hadapannya. Denting musik Canon In D – Pachebel terdengar ke seluruh gedung.
***
Dari dulu Sivia tidak pernah dekat dengan Ibunya. Mama sering tidak di rumah, sibuk dengan pekerjaan kantornya. Teman tempat berbagi cerita adalah Papa. Jadi ketika Papa pergi meninggalkannya, dunia Sivia banar-banar hancur. Orang yang paling dia andalkan selama ini telah pergi dari kehidupannya. Sivia menutup diri rapat-rapat selama dua minggu. Makan ia beli dari luar. Tidak bicara. Tidak sekolah.
Setelah dua minggu, Sivia mulai keluar dari kamar. Tapi pribadinya berubah total. Dia berangkat sekolah, tapi mulai membolos sekolah, belajar merokok, dan pergi ke kelab sampai dini hari.
Mamanya tentu saja marah besar. Tetapi apa pun yang dikatakan ibunya, Sivia tidak pernah mengindahkan. Dia tidak mau peduli lagi. Padahal dulunya Sivia adalah anak yang berprestasi dan peduli pada orang lain.
Sahabatnya mulai menjauhinya, dan Sivia pun harus meninggalkan sekolah lamanya karena sudah membolos semala lebih dari satu bulan. Sejak saat itu ibunya mencoba memindahkan putrinya ke sekolah lain. Tapi tidak ada satu pun sekolah yang pernah ditinggalinya lebih dari sepuluh hari. Para guru kewalahan menghadapinya. Diberi hukuman separah apa pun Sivia tetap tidak peduli, malah hal itu membuatnya lebih nakal lagi.
Pernah sekali ibunya mencoba membawa putrinya ke psikiater, tetapi psikiater tersebut juga angkat tangan. Sivia tidak mau bicara sama sekali. Sedikit pun tidak. Dia hanya menatap sang psikiater dengan pandangan kosong. Sma sekali tidak ada reaksi.
***
Alunan lagu yang dimainkan Alvin membuat semua penonton terpana. Mama dan papanya yang berada di antara penonton menatap anak mereka dengan bangga. Di atas panggung Alvin memainkan pianonya dengan serius. para juri terlihat mengangguk tanda setuju dan berbisik perlahan satu sama lain. Alvin menyelesaikan permainannya dengan sempurna.Dia bangkit dan memberi hormat kembali kepada para juri dan penonton.
***
Sivia menatap ruang olahraga sekolahnya yang sepi sambil menikmati rokoknya. Sudah pasti beberapa saat lagi para guru akan mencarinya. Sivia membuka kaca jendela ruang olahraga. Ia berniat untuk kabur dari sekolah. Sivia membuang sisa rokoknya ke luar jendela dan mengambil rokok baru dari sakunya. Ketika menyalakan korek api ia membuangnya sembarangan. Tanpa sengaja api korek itu mengena tirai jendela. Sivia yang tidak menyadari hal itu, tidak melihat ketika api perlahan mulai menjalar. Api dengan cepat mulai membakar tirai-tirai tipis itu.
“Oh! Sial!” gerutu Sivia.
Dia berlari menuju kamar mandi yang ada di sebelah ruang olahraga, dan mengambil ember. Tapi tak ada air di bak mandinya. Sivia panik. Ia pindah ke WC di sebelahnya. Sama. Baknya kosong. Akhirnya sambil mengumpat Sivia membuka keran air, dan menatap pasrah ketika kucuran yang kecil itu masuk ke ember.
***
Melihat asap yang mengepul dari ruang olahraga, para murid terkejut. Mereka langsung berlarian keluar dan mencoba membantu memadamkan api.
***
Tepuk tangan penonton terdengar sengat keras saat Alvin berdiri di depan panggung, menerima piala sebagai pemenang pertama Lomba Piano Nasional. Mama menangis bangga, sementara Papa tersenyum padanya. Alvin menyalami para juri sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia merasa senang telah menjuarai lomba yang diikutinya.
***
Api di ruang olahraga telah padam. Sebagian dinding ruangan terlihat gosong. Pak Kepala Skolah masuk ke ruang olahraga dan terkejut menatap ruangan itu. Lalu pandangannya jatuh pada Sivia yang sedang berdiri tenang dan bermaksud menyalakan rokoknya lagi.
“SIVIAAAA!!!!!” teriaknya.
Sivia berteriak dalam hati sambil memandang langit-langit ruang olahraga. Dia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana. Yang jelas, dia sudah membolos pelajaran sejak tadi pagi. tangan kanannya memegang sebatang rokok. Dia merokok sambil duduk di tepi jendela, mencoba mengingat sudah berapa banyak rokok yang diisapnya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Terus terang dia tidak ingat, sama seperti dia tidak ingat sudah berapa banyak sekolah yang dia masuki sejak tahun lalu. semuanya tidak pernah bertahan lebih dari sepuluh hari.
Sivia sudah tidak pernah mau memedulikan apa pun lagi semenjak ayahnya bercerai dengan ibunya setahun lalu. Padahal dia sangat dekat dengan ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu kalau hubungan orangtuanya bermasalah. Jadi tahun lalu tanpa adatanda apa-apa sebelumnya, Papa menjelaskan bahwa dia ingin bercerai dengan Mama dan pergi ke luar negri.
***
Pada saat yang bersamaan, di tempat lain, Alvin berjalan memasuki panggung dengan langkah perlahan. Di depannya dewan juri melihatnya dengan seksama. Ratusan penonton berada di dalam gedung. Alvin membungkuk, memberi hormat pada para juri dan penonton. Lalu dia bergerak ke depan piano yang ada di tegah panggung. Alvin duduk dengan tenang dan mempersiapkan diri. Tangannya berasa di atas tuts. Dia menarik napas beberapa saat sambil menutup matanya. Saat matanya terbuka kembali, jarinya sudah mulai menekan tuts di hadapannya. Denting musik Canon In D – Pachebel terdengar ke seluruh gedung.
***
Dari dulu Sivia tidak pernah dekat dengan Ibunya. Mama sering tidak di rumah, sibuk dengan pekerjaan kantornya. Teman tempat berbagi cerita adalah Papa. Jadi ketika Papa pergi meninggalkannya, dunia Sivia banar-banar hancur. Orang yang paling dia andalkan selama ini telah pergi dari kehidupannya. Sivia menutup diri rapat-rapat selama dua minggu. Makan ia beli dari luar. Tidak bicara. Tidak sekolah.
Setelah dua minggu, Sivia mulai keluar dari kamar. Tapi pribadinya berubah total. Dia berangkat sekolah, tapi mulai membolos sekolah, belajar merokok, dan pergi ke kelab sampai dini hari.
Mamanya tentu saja marah besar. Tetapi apa pun yang dikatakan ibunya, Sivia tidak pernah mengindahkan. Dia tidak mau peduli lagi. Padahal dulunya Sivia adalah anak yang berprestasi dan peduli pada orang lain.
Sahabatnya mulai menjauhinya, dan Sivia pun harus meninggalkan sekolah lamanya karena sudah membolos semala lebih dari satu bulan. Sejak saat itu ibunya mencoba memindahkan putrinya ke sekolah lain. Tapi tidak ada satu pun sekolah yang pernah ditinggalinya lebih dari sepuluh hari. Para guru kewalahan menghadapinya. Diberi hukuman separah apa pun Sivia tetap tidak peduli, malah hal itu membuatnya lebih nakal lagi.
Pernah sekali ibunya mencoba membawa putrinya ke psikiater, tetapi psikiater tersebut juga angkat tangan. Sivia tidak mau bicara sama sekali. Sedikit pun tidak. Dia hanya menatap sang psikiater dengan pandangan kosong. Sma sekali tidak ada reaksi.
***
Alunan lagu yang dimainkan Alvin membuat semua penonton terpana. Mama dan papanya yang berada di antara penonton menatap anak mereka dengan bangga. Di atas panggung Alvin memainkan pianonya dengan serius. para juri terlihat mengangguk tanda setuju dan berbisik perlahan satu sama lain. Alvin menyelesaikan permainannya dengan sempurna.Dia bangkit dan memberi hormat kembali kepada para juri dan penonton.
***
Sivia menatap ruang olahraga sekolahnya yang sepi sambil menikmati rokoknya. Sudah pasti beberapa saat lagi para guru akan mencarinya. Sivia membuka kaca jendela ruang olahraga. Ia berniat untuk kabur dari sekolah. Sivia membuang sisa rokoknya ke luar jendela dan mengambil rokok baru dari sakunya. Ketika menyalakan korek api ia membuangnya sembarangan. Tanpa sengaja api korek itu mengena tirai jendela. Sivia yang tidak menyadari hal itu, tidak melihat ketika api perlahan mulai menjalar. Api dengan cepat mulai membakar tirai-tirai tipis itu.
“Oh! Sial!” gerutu Sivia.
Dia berlari menuju kamar mandi yang ada di sebelah ruang olahraga, dan mengambil ember. Tapi tak ada air di bak mandinya. Sivia panik. Ia pindah ke WC di sebelahnya. Sama. Baknya kosong. Akhirnya sambil mengumpat Sivia membuka keran air, dan menatap pasrah ketika kucuran yang kecil itu masuk ke ember.
***
Melihat asap yang mengepul dari ruang olahraga, para murid terkejut. Mereka langsung berlarian keluar dan mencoba membantu memadamkan api.
***
Tepuk tangan penonton terdengar sengat keras saat Alvin berdiri di depan panggung, menerima piala sebagai pemenang pertama Lomba Piano Nasional. Mama menangis bangga, sementara Papa tersenyum padanya. Alvin menyalami para juri sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia merasa senang telah menjuarai lomba yang diikutinya.
***
Api di ruang olahraga telah padam. Sebagian dinding ruangan terlihat gosong. Pak Kepala Skolah masuk ke ruang olahraga dan terkejut menatap ruangan itu. Lalu pandangannya jatuh pada Sivia yang sedang berdiri tenang dan bermaksud menyalakan rokoknya lagi.
“SIVIAAAA!!!!!” teriaknya.