Aku benci hidupku!!!
Sivia berteriak dalam hati sambil
memandang langit-langit ruang olahraga. Dia tidak tahu sudah berapa
lama berada di sana. Yang jelas, dia sudah membolos pelajaran sejak tadi
pagi. tangan kanannya memegang sebatang rokok. Dia merokok sambil duduk
di tepi jendela, mencoba mengingat sudah berapa banyak rokok yang
diisapnya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Terus terang dia tidak
ingat, sama seperti dia tidak ingat sudah berapa banyak sekolah yang dia
masuki sejak tahun lalu. semuanya tidak pernah bertahan lebih dari
sepuluh hari.
Sivia sudah tidak pernah mau memedulikan apa pun
lagi semenjak ayahnya bercerai dengan ibunya setahun lalu. Padahal dia
sangat dekat dengan ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu kalau hubungan
orangtuanya bermasalah. Jadi tahun lalu tanpa adatanda apa-apa
sebelumnya, Papa menjelaskan bahwa dia ingin bercerai dengan Mama dan
pergi ke luar negri.
***
Pada saat yang
bersamaan, di tempat lain, Alvin berjalan memasuki panggung dengan
langkah perlahan. Di depannya dewan juri melihatnya dengan seksama.
Ratusan penonton berada di dalam gedung. Alvin membungkuk, memberi
hormat pada para juri dan penonton. Lalu dia bergerak ke depan piano
yang ada di tegah panggung. Alvin duduk dengan tenang dan mempersiapkan
diri. Tangannya berasa di atas tuts. Dia menarik napas beberapa saat
sambil menutup matanya. Saat matanya terbuka kembali, jarinya sudah
mulai menekan tuts di hadapannya. Denting musik Canon In D –
Pachebel terdengar ke seluruh gedung.
***
Dari
dulu Sivia tidak pernah dekat dengan Ibunya. Mama sering tidak di
rumah, sibuk dengan pekerjaan kantornya. Teman tempat berbagi cerita
adalah Papa. Jadi ketika Papa pergi meninggalkannya, dunia Sivia
banar-banar hancur. Orang yang paling dia andalkan selama ini telah
pergi dari kehidupannya. Sivia menutup diri rapat-rapat selama dua
minggu. Makan ia beli dari luar. Tidak bicara. Tidak sekolah.
Setelah
dua minggu, Sivia mulai keluar dari kamar. Tapi pribadinya berubah
total. Dia berangkat sekolah, tapi mulai membolos sekolah, belajar
merokok, dan pergi ke kelab sampai dini hari.
Mamanya tentu saja
marah besar. Tetapi apa pun yang dikatakan ibunya, Sivia tidak pernah
mengindahkan. Dia tidak mau peduli lagi. Padahal dulunya Sivia adalah
anak yang berprestasi dan peduli pada orang lain.
Sahabatnya mulai
menjauhinya, dan Sivia pun harus meninggalkan sekolah lamanya karena
sudah membolos semala lebih dari satu bulan. Sejak saat itu ibunya
mencoba memindahkan putrinya ke sekolah lain. Tapi tidak ada satu pun
sekolah yang pernah ditinggalinya lebih dari sepuluh hari. Para guru
kewalahan menghadapinya. Diberi hukuman separah apa pun Sivia tetap
tidak peduli, malah hal itu membuatnya lebih nakal lagi.
Pernah
sekali ibunya mencoba membawa putrinya ke psikiater, tetapi psikiater
tersebut juga angkat tangan. Sivia tidak mau bicara sama sekali. Sedikit
pun tidak. Dia hanya menatap sang psikiater dengan pandangan kosong.
Sma sekali tidak ada reaksi.
***
Alunan lagu
yang dimainkan Alvin membuat semua penonton terpana. Mama dan papanya
yang berada di antara penonton menatap anak mereka dengan bangga. Di
atas panggung Alvin memainkan pianonya dengan serius. para juri terlihat
mengangguk tanda setuju dan berbisik perlahan satu sama lain. Alvin
menyelesaikan permainannya dengan sempurna.Dia bangkit dan memberi
hormat kembali kepada para juri dan penonton.
***
Sivia
menatap ruang olahraga sekolahnya yang sepi sambil menikmati rokoknya.
Sudah pasti beberapa saat lagi para guru akan mencarinya. Sivia membuka
kaca jendela ruang olahraga. Ia berniat untuk kabur dari sekolah. Sivia
membuang sisa rokoknya ke luar jendela dan mengambil rokok baru dari
sakunya. Ketika menyalakan korek api ia membuangnya sembarangan. Tanpa
sengaja api korek itu mengena tirai jendela. Sivia yang tidak menyadari
hal itu, tidak melihat ketika api perlahan mulai menjalar. Api dengan
cepat mulai membakar tirai-tirai tipis itu.
“Oh! Sial!” gerutu
Sivia.
Dia berlari menuju kamar mandi yang ada di sebelah ruang
olahraga, dan mengambil ember. Tapi tak ada air di bak mandinya. Sivia
panik. Ia pindah ke WC di sebelahnya. Sama. Baknya kosong. Akhirnya
sambil mengumpat Sivia membuka keran air, dan menatap pasrah ketika
kucuran yang kecil itu masuk ke ember.
***
Melihat
asap yang mengepul dari ruang olahraga, para murid terkejut. Mereka
langsung berlarian keluar dan mencoba membantu memadamkan api.
***
Tepuk
tangan penonton terdengar sengat keras saat Alvin berdiri di depan
panggung, menerima piala sebagai pemenang pertama Lomba Piano Nasional.
Mama menangis bangga, sementara Papa tersenyum padanya. Alvin menyalami
para juri sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia merasa
senang telah menjuarai lomba yang diikutinya.
***
Api
di ruang olahraga telah padam. Sebagian dinding ruangan terlihat
gosong. Pak Kepala Skolah masuk ke ruang olahraga dan terkejut menatap
ruangan itu. Lalu pandangannya jatuh pada Sivia yang sedang berdiri
tenang dan bermaksud menyalakan rokoknya lagi.
“SIVIAAAA!!!!!”
teriaknya.
hai.. cerbungnya bagus. lanjut dong.. :D
BalasHapus