Rabu, 30 Mei 2012

3600 Detik (versi Alvia)

Aku benci hidupku!!!
Sivia berteriak dalam hati sambil memandang langit-langit ruang olahraga. Dia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana. Yang jelas, dia sudah membolos pelajaran sejak tadi pagi. tangan kanannya memegang sebatang rokok. Dia merokok sambil duduk di tepi jendela, mencoba mengingat sudah berapa banyak rokok yang diisapnya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Terus terang dia tidak ingat, sama seperti dia tidak ingat sudah berapa banyak sekolah yang dia masuki sejak tahun lalu. semuanya tidak pernah bertahan lebih dari sepuluh hari.
Sivia sudah tidak pernah mau memedulikan apa pun lagi semenjak ayahnya bercerai dengan ibunya setahun lalu. Padahal dia sangat dekat dengan ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu kalau hubungan orangtuanya bermasalah. Jadi tahun lalu tanpa adatanda apa-apa sebelumnya, Papa menjelaskan bahwa dia ingin bercerai dengan Mama dan pergi ke luar negri.

***

Pada saat yang bersamaan, di tempat lain, Alvin berjalan memasuki panggung dengan langkah perlahan. Di depannya dewan juri melihatnya dengan seksama. Ratusan penonton berada di dalam gedung. Alvin membungkuk, memberi hormat pada para juri dan penonton. Lalu dia bergerak ke depan piano yang ada di tegah panggung. Alvin duduk dengan tenang dan mempersiapkan diri. Tangannya berasa di atas tuts. Dia menarik napas beberapa saat sambil menutup matanya. Saat matanya terbuka kembali, jarinya sudah mulai menekan tuts di hadapannya. Denting musik Canon In D – Pachebel terdengar ke seluruh gedung.

***

Dari dulu Sivia tidak pernah dekat dengan Ibunya. Mama sering tidak di rumah, sibuk dengan pekerjaan kantornya. Teman tempat berbagi cerita adalah Papa. Jadi ketika Papa pergi meninggalkannya, dunia Sivia banar-banar hancur. Orang yang paling dia andalkan selama ini telah pergi dari kehidupannya. Sivia menutup diri rapat-rapat selama dua minggu. Makan ia beli dari luar. Tidak bicara. Tidak sekolah.
Setelah dua minggu, Sivia mulai keluar dari kamar. Tapi pribadinya berubah total. Dia berangkat sekolah, tapi mulai membolos sekolah, belajar merokok, dan pergi ke kelab sampai dini hari.
Mamanya tentu saja marah besar. Tetapi apa pun yang dikatakan ibunya, Sivia tidak pernah mengindahkan. Dia tidak mau peduli lagi. Padahal dulunya Sivia adalah anak yang berprestasi dan peduli pada orang lain.
Sahabatnya mulai menjauhinya, dan Sivia pun harus meninggalkan sekolah lamanya karena sudah membolos semala lebih dari satu bulan. Sejak saat itu ibunya mencoba memindahkan putrinya ke sekolah lain. Tapi tidak ada satu pun sekolah yang pernah ditinggalinya lebih dari sepuluh hari. Para guru kewalahan menghadapinya. Diberi hukuman separah apa pun Sivia tetap tidak peduli, malah hal itu membuatnya lebih nakal lagi.
Pernah sekali ibunya mencoba membawa putrinya ke psikiater, tetapi psikiater tersebut juga angkat tangan. Sivia tidak mau bicara sama sekali. Sedikit pun tidak. Dia hanya menatap sang psikiater dengan pandangan kosong. Sma sekali tidak ada reaksi.

***

Alunan lagu yang dimainkan Alvin membuat semua penonton terpana. Mama dan papanya yang berada di antara penonton menatap anak mereka dengan bangga. Di atas panggung Alvin memainkan pianonya dengan serius. para juri terlihat mengangguk tanda setuju dan berbisik perlahan satu sama lain. Alvin menyelesaikan permainannya dengan sempurna.Dia bangkit dan memberi hormat kembali kepada para juri dan penonton.

***

Sivia menatap ruang olahraga sekolahnya yang sepi sambil menikmati rokoknya. Sudah pasti beberapa saat lagi para guru akan mencarinya. Sivia membuka kaca jendela ruang olahraga. Ia berniat untuk kabur dari sekolah. Sivia membuang sisa rokoknya ke luar jendela dan mengambil rokok baru dari sakunya. Ketika menyalakan korek api ia membuangnya sembarangan. Tanpa sengaja api korek itu mengena tirai jendela. Sivia yang tidak menyadari hal itu, tidak melihat ketika api perlahan mulai menjalar. Api dengan cepat mulai membakar tirai-tirai tipis itu.
“Oh! Sial!” gerutu Sivia.
Dia berlari menuju kamar mandi yang ada di sebelah ruang olahraga, dan mengambil ember. Tapi tak ada air di bak mandinya. Sivia panik. Ia pindah ke WC di sebelahnya. Sama. Baknya kosong. Akhirnya sambil mengumpat Sivia membuka keran air, dan menatap pasrah ketika kucuran yang kecil itu masuk ke ember.

***

Melihat asap yang mengepul dari ruang olahraga, para murid terkejut. Mereka langsung berlarian keluar dan mencoba membantu memadamkan api.

***

Tepuk tangan penonton terdengar sengat keras saat Alvin berdiri di depan panggung, menerima piala sebagai pemenang pertama Lomba Piano Nasional. Mama menangis bangga, sementara Papa tersenyum padanya. Alvin menyalami para juri sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia merasa senang telah menjuarai lomba yang diikutinya.

***

Api di ruang olahraga telah padam. Sebagian dinding ruangan terlihat gosong. Pak Kepala Skolah masuk ke ruang olahraga dan terkejut menatap ruangan itu. Lalu pandangannya jatuh pada Sivia yang sedang berdiri tenang dan bermaksud menyalakan rokoknya lagi.
“SIVIAAAA!!!!!” teriaknya.

1 komentar: