hai, selamat bertemu lagi
aku sudah lama menghindarimusialkulah kau ada disinisungguh tak mudah bagikurasanya tak ingin bernafas lagitegak berdiri, didepanmu kinisakitnya menusuki jantung inimelawan cinta yang ada dihatireff :dan upaya ku tau diritak selamanya berhasilpabila kau muncul terus beginitanpa pernah kita bisa bersamapergilah menghilang sajalah, lagi
bye, selamat berpisah lagimeski masih ingin memandangimulebih baik kau tiada di sinisungguh tak mudah bagikumenghentikan sgala khayalan gilajika kau ada dan ku cuma bisameradam, menjadi yang di sisimumembenci nasibku yang tak berubah
dan upaya ku tau diritak selamanya berhasilpabila kau muncul terus beginitanpa pernah kita bisa bersamapergilah menghilang sajalah, lagi
berkali-kali kau berkatakau cinta tapi tak bisaberkali-kali ku tlah berjanjimenyerah
dan upaya ku tau diri
tak selamanya berhasil
dan upaya ku tau diri
tak selamanya berhasil
pabila kau muncul terus begini
tanpa pernah kita bisa bersama
pergilah menghilang sajalah, lagi
dan upaya ku tau diri
tak selamanya berhasil
dan upaya ku tau diri
tak selamanya berhasil
pabila kau muncul terus begini
tanpa pernah kita bisa bersama
pergilah menghilang sajalah, lagi
dan upaya ku tau diritak selamanya berhasil
dan upaya ku tau diri
tak selamanya berhasil
pabila kau muncul terus begini
tanpa pernah kita bisa bersama
pergilah menghilang sajalah, lagi
dan upaya ku tau diritak selamanya berhasilpabila kau muncul terus beginitanpa pernah kita bisa bersamapergilah menghilang sajalah, lagi
nothing special from me because I'm not perfect, I'm just an ordinary girl follow my twitter @haniaNRG follback just mention
Senin, 08 Oktober 2012
Menanti Dirimu (cipt Gabriel)
Kutau ku salah
Memaksa kehendakku tuk memilikimu,ku terluka tanpamu
Sungguh ku tak bisa membenci dirimu oh dirimu...
Menanti keajaiban
Hingga kamu membuka hatimu
Untuk diriku...
Hanya kisah ini takkan abadi namun kau abadi dihati ini
Meskipun ku harus menahan sepi
Menanti dirimu dihati..
Oohh Oohh...
Hanya kisah ini takkan abadi namun kau abadi dihati ini
Meskipun ku harus menahan sepi
Menanti dirimu dihati
Menanti dirimu dihati
Oohh Oohh...
Menanti dirimu dihati
Kamis, 07 Juni 2012
3600 Detik versi Alvia part 3
SIVIA menatap rumahnya dengan perasaan hampa. Sebesar apa pun
rumahnya, tidak ada kehangatan di dalamnya. Walaupun banyak pembantu
yang berada di rumahnya untuk memasak, memotong rumput, membersihkan
rumah, Sivia tetap merasa kesepian. Bahkan ketika mamanya ada juga, dia
tetap merasa kesepian. Sivia tahu banyak orang yang ingin bertukar
tempat dengannya untuk menjalani kehidupan mewah seperti itu, tetapi
Sivia malah tidak menginginkannya sama sekali.
Setelah meletakkan tasnya di kamarnya, Sivia bersiap-siap berganti pakaian untuk pergi ke sebuah kelab. Ketika melihat uang di dompetnya habis, dia menuju kamar mamanya. Satu-satunya saat dia melihat kamar mamanya adalah saat dia membutuhkan uang. Sivia membuka lemari dan laci-lacinya. Dia tidak menemukan apa yang dicarinya di sana.
Lalu dia melangkah ke atas meja rias mamanya. Sivia menarik lacinya. Tidak ada uang, tetapi ada kartu kredit dan jam tangan emas mamanya. Sivia tersenyum. Diambilnya kartu kredit tersebut dan dikenakannya jam tangan emas itu di tangannya. Apa yang akan dipikirkan mamanya kalau dalam satu hari dia menghabiskan limit kartu kredit itu. Ketika Sivia hendak menutup laci itu lagi, pandangannya jatuh pada selembar undangan yang ada di sana, yang baru ia perhatikan keberadaannya.
Karena penasaran Sivia mengambilnya dan membuka isinya. Rasa terkejut menerjangnya hingga ia terduduk di kursi rias. Dia tidak memercayai isi undangan itu. Sivia menarik napas pendek-pendek untuk menahan amarahnya. Dia meremas tangannya lalu memorak-porandakan seluruh barang yang ada di meja rias mamanya. Dan berteriak keras.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Sivia melihat dengan kesal. Papanya menelepon lagi. Dia langsung memutuskan hubungan telepon itu. Setelah tiga kali mencoba menghubungi Sivia dan terus ditolak, papa Sivia akhirnya memutuskan untuk mengirim SMS.
Hubungi Papa. Papa ingin berbicara denganmu.
Sivia membacanya lalu langsung menghapus pesan itu. Setelah itu ia mematikan HP-nya. Sivia benar-benar sebal pada papanya. Dengan perasaan marah, ia berjalan ke ruang tamu dan duduk di sana sampai mamanya pulang.
Ketika Ginapulang dari kantor sore harinya, ia mendapati Sivia duduk dengan tenang di ruang tamu. Ia terkejut karena Sivia menungguinya.
“Ada apa?” Gina meletakkan tas kerja dan kunci pintu rumah di meja lalu berjalan ke arah putrinya.
Sivia melemparkan undangan yang ditemuinya siang tadi ke meja. Ia melihat undangan tersebut dan wajahnya langsung memucat.
“Apa ini?” tanya Sivia dingin.
“Sivia….,” katanya dengan lemah.
“Mama mau menyimpannya sampai kapan?” teriak Sivia. “Kapan Mama mau memberitahu aku!?”
“Sivia…,” ujarnya berusaha menenangkan Sivia, “Mama akan memberitahumu besok!”
“Mama bohong!!!!” teriak Sivia. “Undangan itu dikirim seminggu lalu. Kenapa Mama tidak memberitahuku saat itu? Aku benci Mama!!!!!!!”
Sivia berlari ke luar ruangan sambil membanting pintu. Di dalam rumah, Gina duduk dengan lelah di ruang tamu. Dia melihat undangan di depannya sambil mendesah. Dia tahu cepat atau lambat Siviaakan mengetahuinya juga. Hanya saja dia mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya.
Tak berapa lama kemudian, Sivia tiba di sebuah kelab. Ditunjukkannya KTP palsu yang pernah ia buat unttuk memalsukan umurnya yang sebenarnya. Sivia tidak menyangka membuat KTP palsi begitu mudah ketika uang tidak menjadi masalah. KTP palsu itu sering dia perlukan kalau ingin memesan minuman keras. Penjaga kelab memerhatikan KTP di tangannya dan melihat orang di hadapannya.
Sivia balas menatap penjaga kelab tersebut dengan tenang. Dia sudah sering melakukan ini puluhan kali san selalu berhasil. Sivia selalu terlihat percaya diri dan tidak panic. Si penjaga kelab mengembalikan KTP Sivia dan mempersilahkannya masuk.
“Terima kasih!” kata Sivia dengan sopan.
Sivia duduk di restoran klab itu, dan beberapa saat kemudian seorang pelayan menawarkan menu padanya.
“Saya minta semua yang ada di menu!” kata Sivia langsung tanpa basa-basi.
“Semua?” tanya pelayan itu bingung.
“Iya! Semuanya! Sekarang juga!” kata Sivia kesal.
Si pelayan pergi tanpa berkata-kata lagi.
Sivia mengeluarkan bungkus rokok dari tasnya dan mulai merokok. Dia tidak tahu lagi sudah mengisap rokok beberapa banyak hari itu, tetapi kegalauan hatinya tidak kunjung mereda. Akhirnya Sivia memejamkan mata, mencoba melupakan segalanya. Ketika dia membuka matanya kembali, meja di depannya sudah penuh dengan berbagai macam makanan dan minuman.
Sivia bangkit berdiri dan menghampiri kasir. Dia mengeluarkan kartu kredit mamanya. Saat penjaga kasir menyodorkan bonnya, Sivia dengan mudah meniru tanda tangan mamanya, seperti yang tertera di kartu kredit tersebut. Dia sudah sering kali meniru tanda tangan mamanya. Terutama jika guru-gurunya yang terdahulu memintanya untuk mendapatkan tanda tangan tersebut saat nilai ulangan Sivia jelek. Sivia tidak merasa menyesal ketika dia keluar dari kelab itu tanpa menyentuh makanan yang dipesannya sama sekali.
***
Keesokan harinya Alvin mengunjungi kelas Sivia.
Kedatangan Alvin membuat semua murid kelas 3 IPA2 memandang ke arahnya. Pandangan Alvin menyapu seluruh ruangan, tetapi dia tidak menemukan orang yang dicarinya.
“Permisi!” kata Alvin pada seorang murid kelas itu. “Kau tahu Sivia di mana?”
Murid di hadapan Alvin merasa heran. “Aku tidak tahu! Hari ini dia tidak masuk sekolah lagi!”
Perasaan kecewa menghinggapi diri Alvin. Kenapa dia bolos lagi?
“Terima kasih!” kata Alvin sambil berjalan keluar dari kelas.
Siang itu Alvin hanya bisa mengikuti pelajaran setengah hari karena harus melakukan pemeriksaan lagi di rumah sakit. Alvin berharap bisa bertemu dengan Sivia hari itu. Alvin tidak bisa menggambarkan perasaannya saat bertemu gadis itu. Yang pasti bukan perasaan hampa.
Sewaktu Alvin keluar dari sekolah, Pak Budi, sopir keluarganya, sudah menunggunya di depan gerbang. “Siang, Pak!” sapa Alvin.
“Siang, Alvin!” kata Pak Budi.
Pak Budi sudah menjadi sopir keluarganya semenjak Alvin lahir, jadi beliau sudah tahu segalanya tentang Alvin dan dia merasakan simpati yang mendalam terhadapnya. Ia teringat saat Alvin kecil menangis ketika diajak ke rumah sakit, Alvin kecil yang berusaha kabur setiap kali dokter datang, atau bagaimana Alvin meminta untuk dibawa pergi ke tempat yang tidak seorang pun mengetahuinya.
Pak Budi sangat menyayangkan pemuda sebaik dan sepintar Alvin mendapat penyakit yang mematikan. Sesudah membukakan pintu untuk Alvin, Pak Budi beralih ke kursi kemudian dan menjalankan mobil.
Di tengah perjalanan, Alvin melihat Sivia memasuki tempat biliar. Alvin pasti tidak salah melihat karena dia bisa mengenali rambut merah itu di mana saja.
“Pak! Berhenti dulu!” kata Alvin pada Pak Budi tiba-tiba.
Pak Budi menghentikan mobilnya di tempat parkir terdekat.
“Ada apa, Alvin?” tanya Pak Budi panik.
“Tolong Pak Budi tunggu di sini sebentar!” kata Alvin sambil keluar dari mobil.
Alvin berjalan menuju tempat biliar dan masuk ke dalamnya. Dilihatnya Sivia sedang memainkan bola biliar di meja paling ujung. Ketika merasa seseorang melagkah mendekatinya, Sivia langsung menoleh. Alvin adalah salah satu orang yang tidak ingin dilihatnya hari ini.
“Apa yang kaulakukan di sini?” bentak Sivia. “Keluar! Aku tidak mau melihatmu!”
Alvin berdiri di seberang Sivia.
“Mengapa kau bolos sekolah hari ini?”
Sivia berkonsentrasi pada sebuah bola tanpa menyimak perkataan Alvin. Disodoknya bola itu hingga keluar papan dan menuju ke arah perut Alvin.
“Aku sudah bilang jangan pernah campuri urusanku!” kata Sivia dingin.
Alvin mengambil bola yang jatuh di sebelahnya dan meletakkannya kembali di papan biliar sambil memandang Sivia dengan tajam. Alvin memandangnya beberapa saat seperti itu tanpa berkata apa-apa.
Sivia yang tidak senang diperhatikan seperti itu lama-lama membanting tongkat yang dipegangnya dan berjalan mendekati Alvin.
“Kau bisa main biliar?” tantang Sivia.
“Tidak,” jawab Alvin.
“Punya uang untuk taruhan?” tantang Sivia lagi.
“Tidak,” jawab Alvin lagi.
“Kalau begitu apa yang kau lakukan di sini?” teriak Sivia di depan hidung Alvin.
“Menemunimu,” Alvin menjabnya dengan sederhana.
“Kau memang penguntit,” gerutu Sivia sambil merengut. “Tidak punya kerjaan lain, ya?”
Alvin tidak menjawab.
“Baik!” kata Sivia ketus. “Kalau kau tidak mau leuar, terserah.” Lalu tatapan Sivia beralih pada orang di sebelahnya. “Ayo, kita lanjutkan!”
“Kita mau bertaruh apa?” tanya orang di sebelahnya.
Sivia melirik jam tangan emas mamanya yang diambilnya kemarin, lalu melemparnya kepada orang itu. “Kalau kau menang, kau boleh memiliki jam tangan emas ini!”
“Kalau aku kalah?” tanya orang itu balik.
“Kau boleh memiliki jam tangan emas ini juga! Bukankah itu tawaran yang menarik?” jelas Sivia.
“Menang atau kalah aku tetap dapat jam tangan emas inni!” kata orang itu sambil mengangguk. Dia memerllihatkan jam tersebut dengan teliti. Matanya sudah terlatih untuk melihat benda-benda berharga. Dia yakin jam tangan yang dipegangnya adalah emas asli. “Setuju!” katanya kemudian.
Sivia mengambil tongkat biliarnya lalu mulai bersiap-siap untuk memukul bola. Tangan Alvin sudah berada di tangan Sivia sebelum dia sempat menggerakkan tongkatnya.
“Apakah kau tidak lelah menyakiti dirimu sendiri?” kata Alvin perlahan.
Sivia menyentakkan tangannya dengan kasar. “Cukup! Aku sudah tidak tahan lagi denganmu! Apa kau berpikir dengan bertemu satu-dua kali kau sudah mengenalku? Jangan kaukira karena kau penyakitan maka aku tidak bisa memukulmu! Aku tidak peduli!” Sivia menunjuk dada Alvin. “Apa mungkin itu yang harus kulakukan? Memukulmu supaya aku dikeluarkan dari sekolah?”
Alvin hanya terdiam mengamati Sivia.
Lama-kelamaan Sivia menjadi semakin kesal. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebatang rokok.
“Kau mau coba?” tanya Sivia sinis sambil mengulurkan rokok tersebut pada Alvin. “Toh jantungmu sudah sakit, jadi apa salahnya mengisap satu saja?”
Alvin mengambil rokok yang diulurkan Sivia dan membuangnya ke tempat sampah. “Tampaknya hari ini suasana hatimu sedang buruk!”
“Bukankah kau ingin jadi temanku?” tanya Sivia mengejek Alvin lagi. “Kalau begitu temani aku main biliar ini!”
Alvin tergoda untuk menyanggupinya tetapi dia teringat Pak Budi yang sedang menunggunya di depan. “Maaf, hari ini aku tidak bisa! Aku ada janji lain!”
Sivia tertawa terbahak-bahak. “Aku sudah menyangkanya. Pasti kau mau kabur ke Pak Duta dan memberitahu dia kalau aku ada di sini sedang main biliar. Silakan saja beritahu. Aku tidak peduli. Malah bagus, aku sudah tidak sabar ingin keluar dari sekolah itu!”
Alvin menatap Sivia dengan sedih. “Kau salah. Aku tidak akan mengadu pada siapa pun tentang keberadaanmu!”
“Ha ha ha!” tawa Sivia singkat. “Aku tidak percaya padamu! Aku tidak percaya pada semua orang! Jadi pergi saja dari hadapanku!”
Alvin menarik napas panjang. “Aku harap bertemu denganmu di sekolah besok!” Dia lalu berjalan ke arah pintu.
Sivia tersenyum pendek. “Jangan terlalu berharap banyak, anak teladan. Kalau aku pergi ke sekolah besok, pasti aku akan berbuat onar. Nanti kau akan kecewa dan jantungmu tidak kuat menahannya!”
Alvin menoleh, sekali lagi menatap Sivia. “Lalu kenapa kau tidak datang ke sekolah besok dan melihatnya sendiri?” setelah itu Alvin membuka pintu dan pergi dari hadapan Sivia.
Alvin masuk ke mobil.
“Ayo, jalan, Pak!” kata Alvin lemah.
Pak Budi belum pernah melihat Alvin seaneh itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Pak Budi khawatir.
“Tidak apa-apa,” jawab Alvin menenangkan. “Mari kita ke rumah sakit! Papa pasti sudah menunggu!”
Pak Budi segera menjalankan mobilnya.
Melihat kepergian Alvin, Sivia tidak punya keinginan lagi untuk meneruskan permainannya. Lalu dia melemparkan tongkat biliar ke atas meja.
“Aku tidak mau main lagi!” kata Sivia.
Sekeluarnya dari tempat biliar, Sivia mendesah. Dia tahu tadi dia telah bersikap keterlaluan terhadap Alvin, tetapi dia kan sudah beberapa kali memperingatkan pemuda itu. Sivia masih tidak bisa memikirkan alasan kenapa Alvin ingin berteman dengannya, padahal jelas-jelas dia tidak mau berteman dengan Alvin. Ada sesuatu dari tatapan mata Alvin yang membuat Sivia merasa bersalah. Seakan-akan Alvin telah melihat jiwanya. Sesaat tadi, Sivia sempat memercayai perkataan Alvin bahwa dia tidak akan mengadukan Sivia pada Pak Duta tentang pertemuan mereka di tempat biliar.
Baiklah, anak teladan. Besok aku akan membuat onar lagi dan kita lihat sejauh mana kau mau menjadi temanku! Tekad Sivia dalam hari.
***
Sudah malam saat Sivia memasuki rumahnya setelah bermain seharian. Mama, seperti biasa sudah duduk di kursi tamu.
“Dari mana saja?” tanya Gina. “Tadi siang Mama mendapat telepon dari sekolahmu, katanya kau membolos lagi!”
Sivia menatap mamanya dengan santai. “Jadi kenapa? Toh itu bukan hal baru lagi!”
Gina menghela napas panjang. “Apakah kau masih mau seperti ini, Sivia?”
“Ya!” kata Sivia. “Aku memang tidak mau berubah!”
Gina ingin mengatakan sesuatu lagi tetapi dering telepon menghentikan perkataannya. “Jangan pergi dulu! Mama belum selesai berbicara denganmu!”
Ia mengangkat telepon di dampingnya. “Halo!”
Untuk sesaat ia mendengarkan suara si penelpon. “Ya, benar!” katanya kemudian. “Kemarin sore saya memang melaporkan bahwa saya telah kehilangan kartu kredit!”
Beberapa detik kemudian, ia mengerutkan dahinya dengan bingung. “Apa maksud anda? Kartu kredit saya baru saja digunakan kemarin!? Tapi saya sama sekali tidak menggunakannya kemarin. Saya yakin kartu kredit saya sudah dicuri.”
Sivia dengan tenang mengampiri mamanya dan memutuskan pembicaraan telepon itu.
“Apa yang kaulakukan?” protes Gina. “Mama sedang menelepon!”
Sivia mengambil kartu kredit mamanya dari sakunya dan melemparnya ke meja telepon. “Aku yang mencuri kartu kredit Mama. Dan aku menggunakannya kemarin malam di kelab!”
Gina terpana tidak percaya. “Kenapa kau tega melakukan hal seperti ini, Sivia? Sekarang kau berani mencuri dari Mama?”
“Seharusnya Mama tidak heran lagi!” kata Sivia. “Mungkin suatu hari aku akan berakhir di penjara!”
Secepat kilat tamparan Gina mengenai pipi Sivia. Tetapi secetat itu pula dia menyesali perbuatannya.
Sivia menyentuh pipinya dan tertawa. “Ayo, tampar aku! Pasti Mama sudah ingin melakukannya dari dulu!”
Gina menatap putrinya dengan sedih. “Mama tidak bermaksud demikian, Sivia. Hanya saja perkataanmu tadi sudah keterlaluan. Mama sudah bingung harus berbuat apa. Mama kira dengan pindah ke kota baru dan rumah baru kau akan mendapatkan lingkungan baru dan memulai dari awal lagi!”
Sivia tertawa sinis. “Memulai baru? Satu-satunya alasan kenapa Mama mau pindah ke kota ini adalah untuk membuka cabang hotel baru Mama.”
“Itu tidak benar!”
“Seakan-akan lima hotel masih kurang!” kata Sivia. “Mama harus menambah satu lagi?”
“Tampaknya apa pun yang Mama katakana, kau tidak akan mendengarnya!” Gina menatap Sivia sedih. “Mama hanya mau kau percaya bahwa kau satu-satunya yang terpenting bagi mama! Mama berharap suatu hari kau dapat mengerti ini.”
“Aku capek!” kata Sivia. “Aku tidak mau mendengar omongan Mama lagi!”
“Sivia…”
Tetapi Sivia sudah menaiki tangga menuju kamarnya.
“Oh ya, satu hal lagi!” kata Sivia menoleh ke arah mamanya. “Aku juga mengambil jam tangan emas yang ada di laci Mama. Aku rasa mama tidak akan melihat jam tangan itu lagi!”
“SIVIAYY!!!” teriak Gina kesal.
Sivia masuk ke kamrnya sambil menutup pintu keras-keras.
Di lantai bawah, Gina menangis terisak-isak.
Satu hari lagi berlalu dengan pertengkaran hebat.
***
Keesokan paginya Sivia sudah mempersiapkan apa saja yang akan dilakukannya di sekolah supaya dia dikeluarkan hari itu juga. Ada sejumput perasaan aneh yang menghinggapi hatinya saat terpikir dia tidak akan bertemu Alvin lagi. Suka atau tidak, Alvin adalah satu-satunya orang yang peduli padanya setelah sebelum tidak akan seorang pun yang berani mendekatinya.
Ketika bel tanda pelajaran berbunyi, Pak Duta mendekati Sivia.
“Istirahat nanti temui Bapak di ruang guru!” kata Pak Duta tegas. “Kau sudah membolos seharian kemarin untuk pergi ke tempat biliar! Coba renungkan hukuman apa yang pantas untukmu”
Setelah berkata demikian, Pak Duta pergi meninggalkannya.
Sivia terkejut bercampur marah mendengar perkataan wali kelasnya.
Percaya pada Alvin??? Betapa bodohnya aku sempat berpikir untuk memercayai anak penyakitan itu, teriak Sivia dalam hati, semua orang sama saja, tidak bisa dipercaya. Teman apanya? Dia hanya ingin jadi anak teladan kesayangan guru
Saat Istirahat, sebelum menemui Pak Duta, Sivia melabrak Alvin di kelasnya. Saat itu Alvin sedang duduk seorang diri sambil menulis sesuatu di bukunya.
“Aku salut padamu!” kata Sivia keras. “Bagaimana kau bisa munafik seperti ini? Dengan memakai alasan teman segala!”
Alvin tidak mengerti perkataan Sivia. Maksudnya?”
Sivia tertawa sinis. “Masih pura-pura tidak mengerti, lagi! Aktingmu hebat sekali! Kau memberitahu Pak Duta kalau aku ke tempat biliar kemarin!”
Kali ini giliran Alvin yang terkejut. Dia meletakkan bolpoinnya dan menatap Sivia dengan serius. “Aku tidak memberitahu siapa pun!”
“Bohong!” teriak Sivia. “Wali kelasku baru saja memanggilku pagi ini, memintaku menemuinya karena aku berada di tempat biliar kemarin. Kalau bukan kau siapa lagi yang mengatakannya, hah?!”
“Aku benar-benar tidak mengadukanmu!” tegas Alvin.
“Yah! Aku tidak percaya padamu!” Sivia berjalan keluar dari kelas Alvin. “Aku hanya ingin melihat tampangmu saat aku memberitahu hal tadi. Dan percayalah ini adalah hari terakhir kalinya kau melihatku karena sudah pasti hari ini aku akan dikeluarkan dari sekolah! Kau pasti senang, kan?”
“Sivia!” teriak Alvin.
Teriakan Alvin berhasil membuat Sivia menghentikan langkahnya, tetapi ua tidak membalikkan badannya.
“Aku tidak peduli kau percaya atau tidak, tetapi aku benar-benar tidak memberitahu Pak Guru soal kemarin. Kau temanku dan aku tidak mau melihatmu pergi dari sekolah!”
Sivia berbalik dan melihat tatapan sedih memancar dari mata Alvin. “Yah, kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?”
Sesudahnya Sivia menemui Pak Duta di ruangannya.
“Duduk, Sivia!”
Sivia duduk menghadap wali kelasnya.
“Apakah kau mau mengakui kalau kemarin kau bolos dan main ke tempat biliar?” tanya Pak Duta tanpa basa basi.
“Ya, benar!” sahut Sivia. “Apakah sekarang Bapak akan mengeluarkan saya?”
Pak Duta tersenyum. “Kau benar-benar berpikir Bapak akan mengeluarkanmu? Aku masih belum menyerah menghadapimu, Sivia! Mengeluarkanmu adalah langkah terakhir. Bapak masih ingin memberimu kesempatan. Jadi mulai hari ini hukuman membersihkan WC-mu akan diperpanjang jadi enam minggu!”
“Saya lebih suka dikeluarkan!” kata Sivia tenang.
“Bapak tahu!” kata Pak Duta sambil tertawa. “Tapi Bapak lebih sukahukuman yang ini! Kalau kau tidak mau melakukannya, Bapak akan tembah lagi dua minggu sampai kau mau melakukannya!”
Sivia mendesah.
“Kalau tidak ada pertanyaan lagi, kau boleh keluar!” kata Pak Duta.
Sivia bangkit dan melangkah ke luar.
“Oh ya, satu hal lagi,” lanjut Pak Duta, “kalau kau mau main biliar, jangan lakukan lagi di dekat rumah Bapak kalau tidak mau ketahuan!”
Sivia berhenti melangkah dan berbalik menghadap Pak Duta. “Maksud Bapak, kemarin Bapak melihat saya di tempat biliar?”
“Iya!” kata Pak Duta.
Sivia tertawa. “Wow, saya tidak menyangka Bapak membolos juga kemarin!”
Pak Duta menatap Sivia dengan tajam. “Kemarin Bapak memang izin dari sekolah karena urusan keluarga! Bapak tidak membolos, Sivia. Bapak benar-benar ingin melihatmu berubah menjadi lebih baik. Bapak harap kau bisa menerima hukuman dari Bapak dan melaksanakannya!”
Sivia hanya mendengus, namun dia akhirnya tahu kalau ternyata bukan Alvin yang memberitahu pak Duta. Beliau tahu karena melihatnya sendiri. Tampaknya Sivia telah salah sangka.
Sepulang sekolah, Sivia melihat Alvin yang sedang duduk sambil melamun sedih. Kelas sudah kosong karena para murid yang lain sudah pulang semua. Sivia mendekati Alvin dan berdiri di depannya.
“Bukan kau yang memberitahu Pak Guru!” kata Sivia member pernyataan.
Alvin tersadar dari lamunannya dan menatap Sivia dengan pandangan, “kan sudah kubilang”.
“Aku minta maaf,” lanjut Sivia.
Alvin bangkit dari kursinya dan meletakkan tasnya di punggungnya. “Jadi aku tidak akan melihatmu lagi karena kau akan dikeluarkan dari sekolah!”
Sivia tersenyum. “Sebetulnya aku tidak dikeluarkan dari sekolah. Hanya disuruh membersihkan WC enam minggu!”
Alvin tertawa balik. “Enam minggu? Lama sekali. Kau akan melakukannya?”
Sivia nyengir. “Tidak!”
Alvin mendesah. “Sayang sekali!”
“Kenapa?” tanya Sivia heran.
“Karena tadinya aku mau menemanimu!”
Siang itu, sepulang sekolah Sivia membersihkan toilet ditemani Alvin. Tanpa sepengetahuan mereka, Pak Duta melihatnya dari jauh dan tersenyum.
Alvin memerhatikan Sivia yang sedang membersihkan WC dengan senang. Tiba-tiba Sivia tertawa.
“Apa yang kautertawakan?” tanya Alvin ingin tahu.
“Aku hanya memikirkan perkataan yang dulu!” kata Sivia.
“Yang mana?”
“Kau bilang hidupmu hanya berkisar di rumah sakit, sekarang aku merasa hidupku hanya akan berkisar di toilet!”
Alvin terbahak mendengarnya.
“Kau tidak akan membersihkan WC kalau kau tidak melakukan kesalahan lagi!”
“Yah, benar!” kata Sivia malas. “Tapi aku punya perasaan aku akan melakukannya lagi!”
“Berhentilah menyakiti dirimu sendiri!” kata Alvin serius. “Rasanya tidak enak. Aku pernah mengalaminya waktu berumur dua belas tahun. Papa melarangku pergi ke taman bermain bersama teman-teman karena aku tidak cukup sehat. Aku mengamuk seharian. Ketika melihat Papa dan Mama menangis, akhirnya aku berhenti mengamuk dan sadar bahwa mereka juga sedih!”
Sivia terdiam mendengar cerita Alvin. Sivia membayangkan Alvin yang berusia dua belas tahun mengamuk karena tidak bisa pergi ke tempat bermain seperti anak yang lainnya. Di lain pihak, dirinya mungkin sedang bersenang-senang di taman bermain tersebut bersama papa dan mamanya. Kenangan akan papanya membuat Sivia sedih lagi.
“Setahun yang lalu orangtuaku bercerai! Aku tidak pernah dekat dengan Mama, dan Papa malah meninggalkan aku dengannya! Aku benci mereka berdua!”
Begitu rupanya, kata Alvin dalam hati.
“Aku marah sekali dan berusaha sekeras mungkin untuk menyakiti Mama dan orang-orang yang kutemui!” lanjut Sivia.
“Tetapi kau malah menyakiti dirimu sendiri lebih dalam lagi!” Alvin menyelesaikan perkataan Sivia.
“Ya!” Sivia mengangguk. “Dua hari yang lalu aku menemukan undangan pertunangan papaku! Papa akan bertunangan di luar negeri! Itulah sebabnya aku marah sekali dan membolos untuk pergi ke tempat biliar. Tapi betapapun aku membencinya, aku tetap merindukannya!”
“Kalau kau begitu merindukannya, kenapa kau tidak pergi menghadiri pertunangannya?” tanya Alvin lembut.
Sivia menggeleng. “Aku belum siap menghadapi Papa!” Sivia membersihkan kain pel yang sudah dipakainya dan mengembalikan tongkat pel itu ke tempatnya semula.
“Tidak usah terburu-buru!” kata Alvin menghibur. “Kau akan tahu saat yang tepat untuk menemuinya!”
“Waktu itu aku pasti sudah siap!” kata Sivia yakin.
Alvin tersenyum. “Sudah selesai?”
“Ya!” kata Sivia mantap.
“Baiklah!” kata Alvin. “Aku pulang dulu! Pak budi, sopirku, pasti sudah menunggu dari tadi! Kau mau kuantar pulang?”
Sivia menggeleng. “Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri!”
“Sampai jumpa besok!” ujar Alvin, membalikkan badannya dan melangkah menuju gerbang sekolah.
“Alvin!!” teriak Sivia.
Alvin berbalik menghadap Sivia lagi. “Apa?”
“Aku mau jadi temanmu!” kata Sivia keras.
Alvin tersenyum dan berjalan mendekati Sivia lagi. “Terima kasih!”
“Hanya satu yang membuatku penasaran,” lanjut Sivia.
“Apa itu?”
“Kenapa kau mau berteman denganku?”
Alvin menjawab dengan yakin, “Alasan yang sama kau ingin berteman denganku! Karena tidak ada yang mau berteman dengan orang yang penyakitan!”
“Dan tidak ada yang mau berteman dengan anak berandalan!” tandas Sivia menyelesaikan.
Mereka berdua tersenyum.
“Bye!” ujar Alvin akhirnya.
Sivia memandang punggung Alvin yang menjahuinya. Untuk pertama kali dalam setahun ini dia merasa gembira.
Setelah meletakkan tasnya di kamarnya, Sivia bersiap-siap berganti pakaian untuk pergi ke sebuah kelab. Ketika melihat uang di dompetnya habis, dia menuju kamar mamanya. Satu-satunya saat dia melihat kamar mamanya adalah saat dia membutuhkan uang. Sivia membuka lemari dan laci-lacinya. Dia tidak menemukan apa yang dicarinya di sana.
Lalu dia melangkah ke atas meja rias mamanya. Sivia menarik lacinya. Tidak ada uang, tetapi ada kartu kredit dan jam tangan emas mamanya. Sivia tersenyum. Diambilnya kartu kredit tersebut dan dikenakannya jam tangan emas itu di tangannya. Apa yang akan dipikirkan mamanya kalau dalam satu hari dia menghabiskan limit kartu kredit itu. Ketika Sivia hendak menutup laci itu lagi, pandangannya jatuh pada selembar undangan yang ada di sana, yang baru ia perhatikan keberadaannya.
Karena penasaran Sivia mengambilnya dan membuka isinya. Rasa terkejut menerjangnya hingga ia terduduk di kursi rias. Dia tidak memercayai isi undangan itu. Sivia menarik napas pendek-pendek untuk menahan amarahnya. Dia meremas tangannya lalu memorak-porandakan seluruh barang yang ada di meja rias mamanya. Dan berteriak keras.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi. Sivia melihat dengan kesal. Papanya menelepon lagi. Dia langsung memutuskan hubungan telepon itu. Setelah tiga kali mencoba menghubungi Sivia dan terus ditolak, papa Sivia akhirnya memutuskan untuk mengirim SMS.
Hubungi Papa. Papa ingin berbicara denganmu.
Sivia membacanya lalu langsung menghapus pesan itu. Setelah itu ia mematikan HP-nya. Sivia benar-benar sebal pada papanya. Dengan perasaan marah, ia berjalan ke ruang tamu dan duduk di sana sampai mamanya pulang.
Ketika Ginapulang dari kantor sore harinya, ia mendapati Sivia duduk dengan tenang di ruang tamu. Ia terkejut karena Sivia menungguinya.
“Ada apa?” Gina meletakkan tas kerja dan kunci pintu rumah di meja lalu berjalan ke arah putrinya.
Sivia melemparkan undangan yang ditemuinya siang tadi ke meja. Ia melihat undangan tersebut dan wajahnya langsung memucat.
“Apa ini?” tanya Sivia dingin.
“Sivia….,” katanya dengan lemah.
“Mama mau menyimpannya sampai kapan?” teriak Sivia. “Kapan Mama mau memberitahu aku!?”
“Sivia…,” ujarnya berusaha menenangkan Sivia, “Mama akan memberitahumu besok!”
“Mama bohong!!!!” teriak Sivia. “Undangan itu dikirim seminggu lalu. Kenapa Mama tidak memberitahuku saat itu? Aku benci Mama!!!!!!!”
Sivia berlari ke luar ruangan sambil membanting pintu. Di dalam rumah, Gina duduk dengan lelah di ruang tamu. Dia melihat undangan di depannya sambil mendesah. Dia tahu cepat atau lambat Siviaakan mengetahuinya juga. Hanya saja dia mencari waktu yang tepat untuk mengatakannya.
Tak berapa lama kemudian, Sivia tiba di sebuah kelab. Ditunjukkannya KTP palsu yang pernah ia buat unttuk memalsukan umurnya yang sebenarnya. Sivia tidak menyangka membuat KTP palsi begitu mudah ketika uang tidak menjadi masalah. KTP palsu itu sering dia perlukan kalau ingin memesan minuman keras. Penjaga kelab memerhatikan KTP di tangannya dan melihat orang di hadapannya.
Sivia balas menatap penjaga kelab tersebut dengan tenang. Dia sudah sering melakukan ini puluhan kali san selalu berhasil. Sivia selalu terlihat percaya diri dan tidak panic. Si penjaga kelab mengembalikan KTP Sivia dan mempersilahkannya masuk.
“Terima kasih!” kata Sivia dengan sopan.
Sivia duduk di restoran klab itu, dan beberapa saat kemudian seorang pelayan menawarkan menu padanya.
“Saya minta semua yang ada di menu!” kata Sivia langsung tanpa basa-basi.
“Semua?” tanya pelayan itu bingung.
“Iya! Semuanya! Sekarang juga!” kata Sivia kesal.
Si pelayan pergi tanpa berkata-kata lagi.
Sivia mengeluarkan bungkus rokok dari tasnya dan mulai merokok. Dia tidak tahu lagi sudah mengisap rokok beberapa banyak hari itu, tetapi kegalauan hatinya tidak kunjung mereda. Akhirnya Sivia memejamkan mata, mencoba melupakan segalanya. Ketika dia membuka matanya kembali, meja di depannya sudah penuh dengan berbagai macam makanan dan minuman.
Sivia bangkit berdiri dan menghampiri kasir. Dia mengeluarkan kartu kredit mamanya. Saat penjaga kasir menyodorkan bonnya, Sivia dengan mudah meniru tanda tangan mamanya, seperti yang tertera di kartu kredit tersebut. Dia sudah sering kali meniru tanda tangan mamanya. Terutama jika guru-gurunya yang terdahulu memintanya untuk mendapatkan tanda tangan tersebut saat nilai ulangan Sivia jelek. Sivia tidak merasa menyesal ketika dia keluar dari kelab itu tanpa menyentuh makanan yang dipesannya sama sekali.
***
Keesokan harinya Alvin mengunjungi kelas Sivia.
Kedatangan Alvin membuat semua murid kelas 3 IPA2 memandang ke arahnya. Pandangan Alvin menyapu seluruh ruangan, tetapi dia tidak menemukan orang yang dicarinya.
“Permisi!” kata Alvin pada seorang murid kelas itu. “Kau tahu Sivia di mana?”
Murid di hadapan Alvin merasa heran. “Aku tidak tahu! Hari ini dia tidak masuk sekolah lagi!”
Perasaan kecewa menghinggapi diri Alvin. Kenapa dia bolos lagi?
“Terima kasih!” kata Alvin sambil berjalan keluar dari kelas.
Siang itu Alvin hanya bisa mengikuti pelajaran setengah hari karena harus melakukan pemeriksaan lagi di rumah sakit. Alvin berharap bisa bertemu dengan Sivia hari itu. Alvin tidak bisa menggambarkan perasaannya saat bertemu gadis itu. Yang pasti bukan perasaan hampa.
Sewaktu Alvin keluar dari sekolah, Pak Budi, sopir keluarganya, sudah menunggunya di depan gerbang. “Siang, Pak!” sapa Alvin.
“Siang, Alvin!” kata Pak Budi.
Pak Budi sudah menjadi sopir keluarganya semenjak Alvin lahir, jadi beliau sudah tahu segalanya tentang Alvin dan dia merasakan simpati yang mendalam terhadapnya. Ia teringat saat Alvin kecil menangis ketika diajak ke rumah sakit, Alvin kecil yang berusaha kabur setiap kali dokter datang, atau bagaimana Alvin meminta untuk dibawa pergi ke tempat yang tidak seorang pun mengetahuinya.
Pak Budi sangat menyayangkan pemuda sebaik dan sepintar Alvin mendapat penyakit yang mematikan. Sesudah membukakan pintu untuk Alvin, Pak Budi beralih ke kursi kemudian dan menjalankan mobil.
Di tengah perjalanan, Alvin melihat Sivia memasuki tempat biliar. Alvin pasti tidak salah melihat karena dia bisa mengenali rambut merah itu di mana saja.
“Pak! Berhenti dulu!” kata Alvin pada Pak Budi tiba-tiba.
Pak Budi menghentikan mobilnya di tempat parkir terdekat.
“Ada apa, Alvin?” tanya Pak Budi panik.
“Tolong Pak Budi tunggu di sini sebentar!” kata Alvin sambil keluar dari mobil.
Alvin berjalan menuju tempat biliar dan masuk ke dalamnya. Dilihatnya Sivia sedang memainkan bola biliar di meja paling ujung. Ketika merasa seseorang melagkah mendekatinya, Sivia langsung menoleh. Alvin adalah salah satu orang yang tidak ingin dilihatnya hari ini.
“Apa yang kaulakukan di sini?” bentak Sivia. “Keluar! Aku tidak mau melihatmu!”
Alvin berdiri di seberang Sivia.
“Mengapa kau bolos sekolah hari ini?”
Sivia berkonsentrasi pada sebuah bola tanpa menyimak perkataan Alvin. Disodoknya bola itu hingga keluar papan dan menuju ke arah perut Alvin.
“Aku sudah bilang jangan pernah campuri urusanku!” kata Sivia dingin.
Alvin mengambil bola yang jatuh di sebelahnya dan meletakkannya kembali di papan biliar sambil memandang Sivia dengan tajam. Alvin memandangnya beberapa saat seperti itu tanpa berkata apa-apa.
Sivia yang tidak senang diperhatikan seperti itu lama-lama membanting tongkat yang dipegangnya dan berjalan mendekati Alvin.
“Kau bisa main biliar?” tantang Sivia.
“Tidak,” jawab Alvin.
“Punya uang untuk taruhan?” tantang Sivia lagi.
“Tidak,” jawab Alvin lagi.
“Kalau begitu apa yang kau lakukan di sini?” teriak Sivia di depan hidung Alvin.
“Menemunimu,” Alvin menjabnya dengan sederhana.
“Kau memang penguntit,” gerutu Sivia sambil merengut. “Tidak punya kerjaan lain, ya?”
Alvin tidak menjawab.
“Baik!” kata Sivia ketus. “Kalau kau tidak mau leuar, terserah.” Lalu tatapan Sivia beralih pada orang di sebelahnya. “Ayo, kita lanjutkan!”
“Kita mau bertaruh apa?” tanya orang di sebelahnya.
Sivia melirik jam tangan emas mamanya yang diambilnya kemarin, lalu melemparnya kepada orang itu. “Kalau kau menang, kau boleh memiliki jam tangan emas ini!”
“Kalau aku kalah?” tanya orang itu balik.
“Kau boleh memiliki jam tangan emas ini juga! Bukankah itu tawaran yang menarik?” jelas Sivia.
“Menang atau kalah aku tetap dapat jam tangan emas inni!” kata orang itu sambil mengangguk. Dia memerllihatkan jam tersebut dengan teliti. Matanya sudah terlatih untuk melihat benda-benda berharga. Dia yakin jam tangan yang dipegangnya adalah emas asli. “Setuju!” katanya kemudian.
Sivia mengambil tongkat biliarnya lalu mulai bersiap-siap untuk memukul bola. Tangan Alvin sudah berada di tangan Sivia sebelum dia sempat menggerakkan tongkatnya.
“Apakah kau tidak lelah menyakiti dirimu sendiri?” kata Alvin perlahan.
Sivia menyentakkan tangannya dengan kasar. “Cukup! Aku sudah tidak tahan lagi denganmu! Apa kau berpikir dengan bertemu satu-dua kali kau sudah mengenalku? Jangan kaukira karena kau penyakitan maka aku tidak bisa memukulmu! Aku tidak peduli!” Sivia menunjuk dada Alvin. “Apa mungkin itu yang harus kulakukan? Memukulmu supaya aku dikeluarkan dari sekolah?”
Alvin hanya terdiam mengamati Sivia.
Lama-kelamaan Sivia menjadi semakin kesal. Tiba-tiba ia mengeluarkan sebatang rokok.
“Kau mau coba?” tanya Sivia sinis sambil mengulurkan rokok tersebut pada Alvin. “Toh jantungmu sudah sakit, jadi apa salahnya mengisap satu saja?”
Alvin mengambil rokok yang diulurkan Sivia dan membuangnya ke tempat sampah. “Tampaknya hari ini suasana hatimu sedang buruk!”
“Bukankah kau ingin jadi temanku?” tanya Sivia mengejek Alvin lagi. “Kalau begitu temani aku main biliar ini!”
Alvin tergoda untuk menyanggupinya tetapi dia teringat Pak Budi yang sedang menunggunya di depan. “Maaf, hari ini aku tidak bisa! Aku ada janji lain!”
Sivia tertawa terbahak-bahak. “Aku sudah menyangkanya. Pasti kau mau kabur ke Pak Duta dan memberitahu dia kalau aku ada di sini sedang main biliar. Silakan saja beritahu. Aku tidak peduli. Malah bagus, aku sudah tidak sabar ingin keluar dari sekolah itu!”
Alvin menatap Sivia dengan sedih. “Kau salah. Aku tidak akan mengadu pada siapa pun tentang keberadaanmu!”
“Ha ha ha!” tawa Sivia singkat. “Aku tidak percaya padamu! Aku tidak percaya pada semua orang! Jadi pergi saja dari hadapanku!”
Alvin menarik napas panjang. “Aku harap bertemu denganmu di sekolah besok!” Dia lalu berjalan ke arah pintu.
Sivia tersenyum pendek. “Jangan terlalu berharap banyak, anak teladan. Kalau aku pergi ke sekolah besok, pasti aku akan berbuat onar. Nanti kau akan kecewa dan jantungmu tidak kuat menahannya!”
Alvin menoleh, sekali lagi menatap Sivia. “Lalu kenapa kau tidak datang ke sekolah besok dan melihatnya sendiri?” setelah itu Alvin membuka pintu dan pergi dari hadapan Sivia.
Alvin masuk ke mobil.
“Ayo, jalan, Pak!” kata Alvin lemah.
Pak Budi belum pernah melihat Alvin seaneh itu.
“Kau tidak apa-apa?” tanya Pak Budi khawatir.
“Tidak apa-apa,” jawab Alvin menenangkan. “Mari kita ke rumah sakit! Papa pasti sudah menunggu!”
Pak Budi segera menjalankan mobilnya.
Melihat kepergian Alvin, Sivia tidak punya keinginan lagi untuk meneruskan permainannya. Lalu dia melemparkan tongkat biliar ke atas meja.
“Aku tidak mau main lagi!” kata Sivia.
Sekeluarnya dari tempat biliar, Sivia mendesah. Dia tahu tadi dia telah bersikap keterlaluan terhadap Alvin, tetapi dia kan sudah beberapa kali memperingatkan pemuda itu. Sivia masih tidak bisa memikirkan alasan kenapa Alvin ingin berteman dengannya, padahal jelas-jelas dia tidak mau berteman dengan Alvin. Ada sesuatu dari tatapan mata Alvin yang membuat Sivia merasa bersalah. Seakan-akan Alvin telah melihat jiwanya. Sesaat tadi, Sivia sempat memercayai perkataan Alvin bahwa dia tidak akan mengadukan Sivia pada Pak Duta tentang pertemuan mereka di tempat biliar.
Baiklah, anak teladan. Besok aku akan membuat onar lagi dan kita lihat sejauh mana kau mau menjadi temanku! Tekad Sivia dalam hari.
***
Sudah malam saat Sivia memasuki rumahnya setelah bermain seharian. Mama, seperti biasa sudah duduk di kursi tamu.
“Dari mana saja?” tanya Gina. “Tadi siang Mama mendapat telepon dari sekolahmu, katanya kau membolos lagi!”
Sivia menatap mamanya dengan santai. “Jadi kenapa? Toh itu bukan hal baru lagi!”
Gina menghela napas panjang. “Apakah kau masih mau seperti ini, Sivia?”
“Ya!” kata Sivia. “Aku memang tidak mau berubah!”
Gina ingin mengatakan sesuatu lagi tetapi dering telepon menghentikan perkataannya. “Jangan pergi dulu! Mama belum selesai berbicara denganmu!”
Ia mengangkat telepon di dampingnya. “Halo!”
Untuk sesaat ia mendengarkan suara si penelpon. “Ya, benar!” katanya kemudian. “Kemarin sore saya memang melaporkan bahwa saya telah kehilangan kartu kredit!”
Beberapa detik kemudian, ia mengerutkan dahinya dengan bingung. “Apa maksud anda? Kartu kredit saya baru saja digunakan kemarin!? Tapi saya sama sekali tidak menggunakannya kemarin. Saya yakin kartu kredit saya sudah dicuri.”
Sivia dengan tenang mengampiri mamanya dan memutuskan pembicaraan telepon itu.
“Apa yang kaulakukan?” protes Gina. “Mama sedang menelepon!”
Sivia mengambil kartu kredit mamanya dari sakunya dan melemparnya ke meja telepon. “Aku yang mencuri kartu kredit Mama. Dan aku menggunakannya kemarin malam di kelab!”
Gina terpana tidak percaya. “Kenapa kau tega melakukan hal seperti ini, Sivia? Sekarang kau berani mencuri dari Mama?”
“Seharusnya Mama tidak heran lagi!” kata Sivia. “Mungkin suatu hari aku akan berakhir di penjara!”
Secepat kilat tamparan Gina mengenai pipi Sivia. Tetapi secetat itu pula dia menyesali perbuatannya.
Sivia menyentuh pipinya dan tertawa. “Ayo, tampar aku! Pasti Mama sudah ingin melakukannya dari dulu!”
Gina menatap putrinya dengan sedih. “Mama tidak bermaksud demikian, Sivia. Hanya saja perkataanmu tadi sudah keterlaluan. Mama sudah bingung harus berbuat apa. Mama kira dengan pindah ke kota baru dan rumah baru kau akan mendapatkan lingkungan baru dan memulai dari awal lagi!”
Sivia tertawa sinis. “Memulai baru? Satu-satunya alasan kenapa Mama mau pindah ke kota ini adalah untuk membuka cabang hotel baru Mama.”
“Itu tidak benar!”
“Seakan-akan lima hotel masih kurang!” kata Sivia. “Mama harus menambah satu lagi?”
“Tampaknya apa pun yang Mama katakana, kau tidak akan mendengarnya!” Gina menatap Sivia sedih. “Mama hanya mau kau percaya bahwa kau satu-satunya yang terpenting bagi mama! Mama berharap suatu hari kau dapat mengerti ini.”
“Aku capek!” kata Sivia. “Aku tidak mau mendengar omongan Mama lagi!”
“Sivia…”
Tetapi Sivia sudah menaiki tangga menuju kamarnya.
“Oh ya, satu hal lagi!” kata Sivia menoleh ke arah mamanya. “Aku juga mengambil jam tangan emas yang ada di laci Mama. Aku rasa mama tidak akan melihat jam tangan itu lagi!”
“SIVIAYY!!!” teriak Gina kesal.
Sivia masuk ke kamrnya sambil menutup pintu keras-keras.
Di lantai bawah, Gina menangis terisak-isak.
Satu hari lagi berlalu dengan pertengkaran hebat.
***
Keesokan paginya Sivia sudah mempersiapkan apa saja yang akan dilakukannya di sekolah supaya dia dikeluarkan hari itu juga. Ada sejumput perasaan aneh yang menghinggapi hatinya saat terpikir dia tidak akan bertemu Alvin lagi. Suka atau tidak, Alvin adalah satu-satunya orang yang peduli padanya setelah sebelum tidak akan seorang pun yang berani mendekatinya.
Ketika bel tanda pelajaran berbunyi, Pak Duta mendekati Sivia.
“Istirahat nanti temui Bapak di ruang guru!” kata Pak Duta tegas. “Kau sudah membolos seharian kemarin untuk pergi ke tempat biliar! Coba renungkan hukuman apa yang pantas untukmu”
Setelah berkata demikian, Pak Duta pergi meninggalkannya.
Sivia terkejut bercampur marah mendengar perkataan wali kelasnya.
Percaya pada Alvin??? Betapa bodohnya aku sempat berpikir untuk memercayai anak penyakitan itu, teriak Sivia dalam hati, semua orang sama saja, tidak bisa dipercaya. Teman apanya? Dia hanya ingin jadi anak teladan kesayangan guru
Saat Istirahat, sebelum menemui Pak Duta, Sivia melabrak Alvin di kelasnya. Saat itu Alvin sedang duduk seorang diri sambil menulis sesuatu di bukunya.
“Aku salut padamu!” kata Sivia keras. “Bagaimana kau bisa munafik seperti ini? Dengan memakai alasan teman segala!”
Alvin tidak mengerti perkataan Sivia. Maksudnya?”
Sivia tertawa sinis. “Masih pura-pura tidak mengerti, lagi! Aktingmu hebat sekali! Kau memberitahu Pak Duta kalau aku ke tempat biliar kemarin!”
Kali ini giliran Alvin yang terkejut. Dia meletakkan bolpoinnya dan menatap Sivia dengan serius. “Aku tidak memberitahu siapa pun!”
“Bohong!” teriak Sivia. “Wali kelasku baru saja memanggilku pagi ini, memintaku menemuinya karena aku berada di tempat biliar kemarin. Kalau bukan kau siapa lagi yang mengatakannya, hah?!”
“Aku benar-benar tidak mengadukanmu!” tegas Alvin.
“Yah! Aku tidak percaya padamu!” Sivia berjalan keluar dari kelas Alvin. “Aku hanya ingin melihat tampangmu saat aku memberitahu hal tadi. Dan percayalah ini adalah hari terakhir kalinya kau melihatku karena sudah pasti hari ini aku akan dikeluarkan dari sekolah! Kau pasti senang, kan?”
“Sivia!” teriak Alvin.
Teriakan Alvin berhasil membuat Sivia menghentikan langkahnya, tetapi ua tidak membalikkan badannya.
“Aku tidak peduli kau percaya atau tidak, tetapi aku benar-benar tidak memberitahu Pak Guru soal kemarin. Kau temanku dan aku tidak mau melihatmu pergi dari sekolah!”
Sivia berbalik dan melihat tatapan sedih memancar dari mata Alvin. “Yah, kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?”
Sesudahnya Sivia menemui Pak Duta di ruangannya.
“Duduk, Sivia!”
Sivia duduk menghadap wali kelasnya.
“Apakah kau mau mengakui kalau kemarin kau bolos dan main ke tempat biliar?” tanya Pak Duta tanpa basa basi.
“Ya, benar!” sahut Sivia. “Apakah sekarang Bapak akan mengeluarkan saya?”
Pak Duta tersenyum. “Kau benar-benar berpikir Bapak akan mengeluarkanmu? Aku masih belum menyerah menghadapimu, Sivia! Mengeluarkanmu adalah langkah terakhir. Bapak masih ingin memberimu kesempatan. Jadi mulai hari ini hukuman membersihkan WC-mu akan diperpanjang jadi enam minggu!”
“Saya lebih suka dikeluarkan!” kata Sivia tenang.
“Bapak tahu!” kata Pak Duta sambil tertawa. “Tapi Bapak lebih sukahukuman yang ini! Kalau kau tidak mau melakukannya, Bapak akan tembah lagi dua minggu sampai kau mau melakukannya!”
Sivia mendesah.
“Kalau tidak ada pertanyaan lagi, kau boleh keluar!” kata Pak Duta.
Sivia bangkit dan melangkah ke luar.
“Oh ya, satu hal lagi,” lanjut Pak Duta, “kalau kau mau main biliar, jangan lakukan lagi di dekat rumah Bapak kalau tidak mau ketahuan!”
Sivia berhenti melangkah dan berbalik menghadap Pak Duta. “Maksud Bapak, kemarin Bapak melihat saya di tempat biliar?”
“Iya!” kata Pak Duta.
Sivia tertawa. “Wow, saya tidak menyangka Bapak membolos juga kemarin!”
Pak Duta menatap Sivia dengan tajam. “Kemarin Bapak memang izin dari sekolah karena urusan keluarga! Bapak tidak membolos, Sivia. Bapak benar-benar ingin melihatmu berubah menjadi lebih baik. Bapak harap kau bisa menerima hukuman dari Bapak dan melaksanakannya!”
Sivia hanya mendengus, namun dia akhirnya tahu kalau ternyata bukan Alvin yang memberitahu pak Duta. Beliau tahu karena melihatnya sendiri. Tampaknya Sivia telah salah sangka.
Sepulang sekolah, Sivia melihat Alvin yang sedang duduk sambil melamun sedih. Kelas sudah kosong karena para murid yang lain sudah pulang semua. Sivia mendekati Alvin dan berdiri di depannya.
“Bukan kau yang memberitahu Pak Guru!” kata Sivia member pernyataan.
Alvin tersadar dari lamunannya dan menatap Sivia dengan pandangan, “kan sudah kubilang”.
“Aku minta maaf,” lanjut Sivia.
Alvin bangkit dari kursinya dan meletakkan tasnya di punggungnya. “Jadi aku tidak akan melihatmu lagi karena kau akan dikeluarkan dari sekolah!”
Sivia tersenyum. “Sebetulnya aku tidak dikeluarkan dari sekolah. Hanya disuruh membersihkan WC enam minggu!”
Alvin tertawa balik. “Enam minggu? Lama sekali. Kau akan melakukannya?”
Sivia nyengir. “Tidak!”
Alvin mendesah. “Sayang sekali!”
“Kenapa?” tanya Sivia heran.
“Karena tadinya aku mau menemanimu!”
Siang itu, sepulang sekolah Sivia membersihkan toilet ditemani Alvin. Tanpa sepengetahuan mereka, Pak Duta melihatnya dari jauh dan tersenyum.
Alvin memerhatikan Sivia yang sedang membersihkan WC dengan senang. Tiba-tiba Sivia tertawa.
“Apa yang kautertawakan?” tanya Alvin ingin tahu.
“Aku hanya memikirkan perkataan yang dulu!” kata Sivia.
“Yang mana?”
“Kau bilang hidupmu hanya berkisar di rumah sakit, sekarang aku merasa hidupku hanya akan berkisar di toilet!”
Alvin terbahak mendengarnya.
“Kau tidak akan membersihkan WC kalau kau tidak melakukan kesalahan lagi!”
“Yah, benar!” kata Sivia malas. “Tapi aku punya perasaan aku akan melakukannya lagi!”
“Berhentilah menyakiti dirimu sendiri!” kata Alvin serius. “Rasanya tidak enak. Aku pernah mengalaminya waktu berumur dua belas tahun. Papa melarangku pergi ke taman bermain bersama teman-teman karena aku tidak cukup sehat. Aku mengamuk seharian. Ketika melihat Papa dan Mama menangis, akhirnya aku berhenti mengamuk dan sadar bahwa mereka juga sedih!”
Sivia terdiam mendengar cerita Alvin. Sivia membayangkan Alvin yang berusia dua belas tahun mengamuk karena tidak bisa pergi ke tempat bermain seperti anak yang lainnya. Di lain pihak, dirinya mungkin sedang bersenang-senang di taman bermain tersebut bersama papa dan mamanya. Kenangan akan papanya membuat Sivia sedih lagi.
“Setahun yang lalu orangtuaku bercerai! Aku tidak pernah dekat dengan Mama, dan Papa malah meninggalkan aku dengannya! Aku benci mereka berdua!”
Begitu rupanya, kata Alvin dalam hati.
“Aku marah sekali dan berusaha sekeras mungkin untuk menyakiti Mama dan orang-orang yang kutemui!” lanjut Sivia.
“Tetapi kau malah menyakiti dirimu sendiri lebih dalam lagi!” Alvin menyelesaikan perkataan Sivia.
“Ya!” Sivia mengangguk. “Dua hari yang lalu aku menemukan undangan pertunangan papaku! Papa akan bertunangan di luar negeri! Itulah sebabnya aku marah sekali dan membolos untuk pergi ke tempat biliar. Tapi betapapun aku membencinya, aku tetap merindukannya!”
“Kalau kau begitu merindukannya, kenapa kau tidak pergi menghadiri pertunangannya?” tanya Alvin lembut.
Sivia menggeleng. “Aku belum siap menghadapi Papa!” Sivia membersihkan kain pel yang sudah dipakainya dan mengembalikan tongkat pel itu ke tempatnya semula.
“Tidak usah terburu-buru!” kata Alvin menghibur. “Kau akan tahu saat yang tepat untuk menemuinya!”
“Waktu itu aku pasti sudah siap!” kata Sivia yakin.
Alvin tersenyum. “Sudah selesai?”
“Ya!” kata Sivia mantap.
“Baiklah!” kata Alvin. “Aku pulang dulu! Pak budi, sopirku, pasti sudah menunggu dari tadi! Kau mau kuantar pulang?”
Sivia menggeleng. “Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri!”
“Sampai jumpa besok!” ujar Alvin, membalikkan badannya dan melangkah menuju gerbang sekolah.
“Alvin!!” teriak Sivia.
Alvin berbalik menghadap Sivia lagi. “Apa?”
“Aku mau jadi temanmu!” kata Sivia keras.
Alvin tersenyum dan berjalan mendekati Sivia lagi. “Terima kasih!”
“Hanya satu yang membuatku penasaran,” lanjut Sivia.
“Apa itu?”
“Kenapa kau mau berteman denganku?”
Alvin menjawab dengan yakin, “Alasan yang sama kau ingin berteman denganku! Karena tidak ada yang mau berteman dengan orang yang penyakitan!”
“Dan tidak ada yang mau berteman dengan anak berandalan!” tandas Sivia menyelesaikan.
Mereka berdua tersenyum.
“Bye!” ujar Alvin akhirnya.
Sivia memandang punggung Alvin yang menjahuinya. Untuk pertama kali dalam setahun ini dia merasa gembira.
Rabu, 30 Mei 2012
3600 Detik (versi Alvia) Part2
SIVIA membuka matanya dengan perlahan. Mentari sudah terang
menyilaukan ketika memasuki jendela kamar tidurnya. Dilihatnya jam
dinding. Jam sepuluh lebih lima belas menit. Yang pasti, sekolah sudah
dimulai beberapa jam yang lalu. Sivia heran mamanya tidak
membangunkannya pagi-pagi untuk berangkat sekolah. Yang pasti, jam
sekian ini mamanya pastisudah pergi ke kantor. Pekerjaan selalu lebih
penting dari apa pun baginya.
Sivia bangkit dari tempat tidurnya dengan perlahan. Selesai mandi dia mengenakan baju seragamnya dan dengan sengaja mengeluarkan bajunya, membuatnya jadi terlihat berantakan. Ketika Sivia tiba di sekolahnya, gerbang sekolah sudah ditutup. Dia memanjat gerbang tersebut tanpa masalah.
Sesaat setelah kaki Sivia menyentuh lapangan sekolah, seorang satpam berjalan menghampirinya. Sial, gerutu Sivia dalam hati. Sebetulnya dia senang-senang saja aksi mmanjatnya diketahui seseorang. Semakin cepat dia membuat kesalahan, semakin cepat dia akan dikeluarkan dari sekolah ini. Tetapi perutnya sedang keroncongan karena tadi pagi belum makan. Saat ini yang dipikirkannya adalah bagaimana dia bisa menuju kantin secepatnya.
“Selamat pagi!” kata si satpam. “Apakah kau tidak tahu jika gerbang sudah ditutup, para siswa dilarang memasuki sekolah tanpa seizing guru?”
“Saya tahu kok!” kata Sivia dengan enteng. “Pertama-tama Bapak akan menanyakan nama saya, lalu melapporkan saya pada guru piket hari ini, kemudian guru tersebut akan menentukan hukuman untuk saya.”
Si bapak satpam mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia menemui seorang murid yang tidak merasa bersalah setelah melakukan pelanggaran sekolah. Dilihatnya Sivia dari atas sampai bawah dengan teliti.
“Tunggu dulu!” kata Pak Satpam mengenali. “Kau murid baru itu, bukan? Baru masuk kemarin?”
Sivia mengangguk. “Begini saja, Pak, bagaimana kalau Bapak berpura-pura tidak tahu tentang pelanggaran saya ini? Sebetulnya saya tidak keberatan kalau saya dihukum. Malah itu lebih baik. Tapi perut saya lapar saat ini, jadi saya tidak punya waktu untuk berbasa-basi lagi.”
Si bapak satpam mendesah. “Baiklah!” katanya menyerah. “Karena kau masih murid baru di sekolah ini, Bapak akan mengabaikan pelanggaranmu kali ini. Tapi lain waktu kau tidak boleh melakukannya lagi.”
Siviatersenyum. “Saya yakin saya akan melakukan hal ini lagi kapan-kapan. Saat itu Bapak boleh melaporkan saya pada para guru. Saya tidak keberatan sama sekali!”
Sivia berlari meninggalkan pak satpam yang kebingungan mencerna arti perkataan tersebut. Dalam hati Sivia menyadari bahwa mencari cara untuk membuat onar ternyata lebih mudah daripada menjadi murid terladan. Sama halnya dengan membuat kenangan buruk lebih mudah daripada membuat kenangan baik.
Perutnya berbunyi lagi. Sivia berlari ke arah kantin. Tak berapa lama kemudia, dia duduk di bangku kantin sambil menimati makanannya. Setelah selesai, dia berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Langkahnya terhenti saat melihat Alvin yang duduk di bangku taman sekolah. Dilihatnya teman-teman sekelas cowok itu sedang berolahraga tak jauh dari sana.
Sivia berjalan mendekati lalu duduk di sebelahnya. “Wah! Rupanya si anak teladan bisa membolos pelajaran juga!”
Alvin menoleh ke arah Sivia tapi tidak berkata apa-apa.
“Kau memang anak aneh! Tidak mau bicara lagi?” tanya Sivia. “Bagaimana kalau aku beritahu Pak Guru kau bolos pelajaran olahraga?”
Kali ini Alvin menatap mata Sivia. “Bukankah kau juga bolos?”
Sivia tertawa. “Ya! Itu maksudku! Apakah sebaiknya kita memberitahu Pak Guru kalau kita berdua membolos? Aku jadi penasaran hukuman apa yang akan diberikan oleh mereka!”
“Aku tidak tahu!” kata Alvin jujur. “Aku belum pernah dihukum!”
Sivia menggeleng-geleng. “Ya! Aku yakin begitu! Kau tidak pernah melakukan kesalahan makanya tidak pernah dihukum. Apakah kau tidak bosan menjadi anak teladan terus-menerus? Cobalah sekali-sekali menjadi anak nakal dan melihat betapa kreatifnya para guru membuat hukuman!”
“Kreatif?” tanya Alvin bingung.
“Dari lari keliling lapangan, mengecat meja sekoalh, menulis ‘aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi’ di atas seratus lembar kertas, membereskan buku perpustakaan, sampai membersihkan WC!”
Alvin tertawa. “Dan kau merasakan semuanya?”
Sivia menggeleng. “Tidak! Aku bilang aku melihat, bukan merasakan! Aku sudah keburu drop out sebelum hukuman itu dilaksanakan!”
“Kenapa kau tidak terkejut mendengarnya?” bisik Alvin perlahan.
Tangan Sivia mengeluarkan sebatang rokok dan pematik api yang memang sudah dia bawa di sakunya. Sivia menyelipkan rokok di bibirnya. Sebelum dia sempat menyulutnya, Alvin menatapnya dan berkata, “Tolong jangan merokok!”
Sivia tertawa pendek. “Kenapa? Mau menasehatiku kalau merokok tidak bagus buat kesehatanku?”
Alvin menggeleng. “Tidak! Sebenarnya justru tidak bagus buat kesehatanku!”
Sivia tertegun mendengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Sivia bingung.
“Aku sakit!” jelas Alvin sederhana.
“Sakit?” tanya Sivia lagi.
Alvin mengangguk. “Aku tidak membolos pelajaran olahraga. aku memang tidak bisa mengikutinya.”
“Memangnya kau sakit apa?” tanya Sivia penasaran. “Flu, sakit perut, demam, atau apa?”
Alvin menatap Sivia dengan serius dan berkata tenang. “Aku punya kelainan jantung sejak lahir!”
Untuk sesaat Sivia tidak sanggup berkata-kata. Mereka berdiam diri selama beberapa saat.
“Mengapa kau memperhatikanku kemarin sewaktu aku berolahraga?” tanya Sivia tiba-tiba.
Alvin menatap Sivia.
“Asal tahu saja, aku benar-benar tidak suka kalau ada orang yang memperhatikanku tanpa sepengetahuanku,” lanjut Sivia lagi. “Apa kerena kau ingin melihat si anak baru yang berandalan, dan berfikir betapa beruntungnya kau menjadi murid teladan?”
“Tidak,” jawab Alvin singkat.
“Lalu kenapa?” tanya Sivia penasaran.
Alvin terdiam sesaat, tapi kemudian menjawab, “Karena aku iri.”
“Iri?” Sivia bingung.
“Ya! Aku iri padamu! Kau bisa bermain voli dengan senang. Aku tidak pernah bisa bermain seperti itu. Hidupku hanya berkisar di sekolah dan di rumah sakit. Tidak boleh berolahraga sekali pun karena itu bisa membahanyakan jantungku.”
Sivia tidak menyangka Alvin akan berpikiran seperti itu. Baru pertama kali ada orang yang iri padanya hanya karena ia bermain voli. Sesaat Sivia merasakan kasihan pada pemuda ini. Sivia berusaha keras untuk menghancurkan hidupnya, dilain pihak Alvin justru berusaha keras untuk mempertahankan hidupnya.
Tiba-tiba saja Pak Duta muncul di hadapan mereka berdua. “Di sini kau rupanya! Sivia, kenapa kau membolos? Dan apa itu? Rokok! Kau merokok juga? Apa yang kaulakukan bersama Alvin di sini? Sekarang juga kalian ikut ke ruangan Bapak!”
Pak Duta langsung mencabut rokok yang ada di tangan Sivia dan membuangnya. Sivia dan Alvin mengikuti Pak Duta ke ruangannya. Setibanya di sana, Pak Duta duduk dan tanpa basa-basi memulai pembicaraan.
“Sivia!” katanya sambil menatap mata Sivia. “Ini hari keduamu di sekolah, dan kau sudah membolos. Bapak sudah melihat data dirimu dari sekolah-sekolah sebelumnya. Banyak sekali pelanggaran yang kaulakukan. Merokok, bertengkar dengan temanmu, berpakaian tidak pantas di sekolah, membolos sampai kau dikeluarkan dari sana! Pihak sekolah sana tidak mau memberitahukan hal tersebut kepada Bapak!”
Sivia tersenyum perlahan. “Saya menyebabkan ruangan olahraga nereka rusak terbakar!”
“Benarkah?” tanya Pak Duta terkejut.
“Kalau Bapak mau mengunjungi sekolah tersebut pastinya Bapak masih bisa melihat hasil pengecatan kembali ruang olahraganya!”
Pak Duta terdiam sesaat mendengar penjelasan Sivia. “Menurutmu itu sesuatu yang membanggakan?”
Sivia tidak menjawab pertanyaan Pak Duta.
“Baiklah!” desah Pak Duta. “Kira-kira apa hukuman yang layak untukmu, Sivia?”
Sivia tertawa. “Saya tidak tahu, Pak. Saya rasa Bapak lebih ahli soal hukuman daripada saya!”
“Kalau bagitu mulai besok kamu Bapak hokum untuk membersihkan toilet selama dua minggu!” kata Pak Duta tergas.
“Baiklah!” kata Sivia enteng, “Tapi Bapak tahu kalau saya tidak akan melakukannya!”
“Kalau kau tidak mau melaksanakannya,” kata Pak Duta, “hukumannya bertambah menjadi tiga minggu!”
“Kenapa tidak dikeluarkans aja sekalian?” tanya Sivia akhirnya.
Pak Duta menatap Sivia dengan tegas. “Karena mengeluarkanmu adalah perkara yang terlalu mudah dan itu justru sesuai dengan keinginanmu, bukan?” saying sekali, Sivia, kau tidak akan semudah itu dikeluarkan!”
“Kita lihat saja nanti!” kata Sivia tenang.
Pak Duta juga membalasnya sambil tersenyum, “Bapak tidak sabar untuk melihatnya!” Tatapannya beralih pada Alvin. “Sekarang kau, Alvin, apa yang kau lakukan bersama Sivia?”
Alvin menjawab dengan tenang, “Tidak ada, Pak!”
“Benarkah tidak ada apa-apa?” tanya Pak Duta sekali lagi.
Alvin mengangguk.
“Bapak percaya padamu!” kata Pak Duta.
Sivia memandang Alvin dan Pak Duta dengan sinis. Begitu mudahnya wali kelasnya itu percaya pada Alvin. Tidak pernah ada yang percaya pada Sivia. Tidak seorang pun.
Pak Duta melirik Sivia lagi. “Cobalah untuk bersikap baik, Sivia. Masa muda hanya terjadi sekali seumur hidup. Kau akan menyesal kalau menyia-nyia-kannya!”
Kenapa sih guru-guru selalu berpetuah panjang-lebar? Tanya Sivia dalam hati.
“Nikmati masa mudamu! Bertemanlah sebanyak-banyaknya!” kata Pak Duta.
“Bapak pasti bercanda!” kata Sivia ketus. “Tidak ada seorang pun yang mau berteman dengan saya!”
Alvin tiba-tiba berkata, “Aku mau berteman denganmu!”
“Sayang sekali.” Balas Sivia, “aku tidak mau berteman denganmu!”
Pak Duta berdiri dari kursinya. “Bapak harus menghentikan perdebatan kalian karena harus masuk kelas untuk mengajar, dan sebaiknya kau juga berada di sana, Sivia!”
Sivia dan Alvin keluar dari ruangan Pak Duta.
“Benarkah semua data tentang dirimu tadi?” tanya Alvin penasaran di luar kantor.
Sivia tersenyum. “Sebetulnya ada satu yang tidak akurat! Aku tidak membolos lima kali, aku membolos setiap hati!”
Alvin tertawa. “Tiap hari?”
“Ya!” kata Sivia. “Kau yakin kau mau jadi temanku, anak teladan?”
“Perkataan terakhir tadi membuatku yakin untuk menjadi temanmu!” Alvin berkata tulus.
“Oh! Perkataan yang manis!” ejek sivia. “Tapi saying sekali, aku tidak mau jadi temanmu. Tidak sekarang, tidak juga nanti!”
“Aku hanya ingin menjadi temanmu. Kalau kau tidak mau jadi temanku, tidak apa-apa! Aku mengerti. Aku akan tunggu sampai kau mau jadi temanku!”
“Itu tidak akan terjadi!” kata Sivia ketus.
“Aku orang yang optimis, Sivia! Aku punya keyakinan hal itu akan terjadi,” kata Alvin yakin sambil berlalu dari hadapan Sivia.
***
Sivia memainkan makanan dipiringnya. Dia memandang mamanya dengan kesal. Malam ini, saat Sivia sedang makan, mamanya tiba-tiba masuk dan duduk di seberangnya.
“Jadi kau membuat masalah lagi di sekolah!” kata Mama langsung.
Sivia tertawa. “Wow! Aku kira Mama datang mau makan malam bersamaku, ternyata Mama hanya mau menegurku lagi! Jadi apa yang terjadi? Wali kelasku menelpon Mama?”
“Sivia!”
Sivia membalas teriakan mamanya dengan menusukkan garpunya pada lauk di piringnya dan mengunyahnya.
“Merokok dan bolos pelajaran?” tanya mamanya marah. “Apakah kau tidak kapok juga?” apa ini caramu menarik perhatian Mama?”
“Aku rasa Mama salah!” kata Sivia. “Aku tidak bermaksud menarik perhatian Mama!” kata Sivia tanang. “Aku hanya bermaksud membuat Mama marah! Dan tampaknya itu berhasil!”
Mama Sivia langsung menggebrak meja. “Mama tidak mau melihat kelakukanmu seperti ini lagi, Sivia! Hentikan sifat kekanak-kanakan ini! Mau sampai kapan kau begini?”
Sivia tertawa lebar.
“Kenapa kau tertawa?” teriak mamanya kesal.
“Aku merasa lucu sekali!” kata Sivia. “Mama toh tidak akan sempat melihat kenakalanku karena Mama tidak akan beraa di sini saat aku melakukannya! Bukankah Mama mau pergi ke luar kota lagi?”
“Sivia!!!!” teriak mamanya kehilangan kesabaran. Sivia memandang mamanya dengan bosan dan bangkit dari tempat duduknya di meja makan. Dilihatnya vas bunga kesayangan mamanya di buffet dekat pintu, dan dengan sengaja Sivia menjatuhkannya. Vas bunga itu pecah berkeping-keping.
Mama Sivia semakin murka. “Cukup, Sivia! Hentikan semua ini sekarang juga! Kau tahu itu vas bunga kesayangan Mama!”
“Ya, aku tahu!” kata Sivia. “Toh Mama bisa membelinya lagi, iya kan?” Lalu dengan manisnya Sivia berkata, “Permisi Ma, Sivia capek, mau istirahat dulu!”
“Tunggu, Sivia!” kata mamanya perlahan. “Kenapa kita selalu saja berteriak satu sama lain? Tidak bisakah kita berbicara dengan tenang?”
Sivia menggeleng. “Aku rasa tidak. Lagi pula hanya inilah satu-satunya persamaan yang kita miliki! Berteriak satu sama lain! Aku tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun dari Mama. Karena aku tidak akan memercayai satu pun perkataan Mama saat ini. Mama kan tahu hanya Papa yang bisa menenangkanku!”
“Tapi papamu sekarang tidak ada di sini!” jawab mamanya.
“Dan salah siapakah itu?” cemooh Sivia.
Mamanya menarik napas. “Kalau kau merasa lebih baik dengan menyalahkan Mama atas kepergian papamu, Mama tidak keberatan! Silahkan salahkan Mama sepuasmu! Tapi hal itu tetap tidak membuatmu puas, bukan? Mama berpisah dengan papamu karena kami berdua menginginkan hal yang berbeda. Tentu saja Mama mencintai papamu, tadi kadang urusannya tidak sesederhana itu!”
“Kalau Mama mencintai Papa, Mama tidak akan berpisah dengannya!” kata Sivia tegas. “Apa pun yang Mama katakana tidak akan membuatku lebih baik. Mama tahu kenapa? Karena semakin Mama bicara seperti itu, semakin aku membenci Mama!”
Setelah itu Sivia bergegas ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang terdiam di ruang makan. Tak berapa lama kemudian, telepon berdering. Mama Sivia mengangkatnya.
“Halo!”
“Ini aku!” kata suara di telepon. “Bagaimana keadaanmu, Gina?”
Mama Sivia, yang bernama Gina Sonia, mendesah. Dia tidak siap menerima telepon mantan suaminya saat ini. Selama satu tahun ini, mantan suaminya sudah sering menghubunginya untuk menanyakan keadaan dirinya dan Sivia. Terutama Sivia. Dan siring waktu keduanya sudah bisa berteman baik.
“Seperti biasa!” keluh Widia. “Anak kita masih tidak bisa menerima perceraian kita!”
Suara di ujung telepon mendesah, “Aku akan mencoba bicara padanya, Gina!”
Mama sivia menyetujui, “Sebaiknya begitu. Dia tidak mau bicara denganku sama sekali.”
“Aku akan coba, Gina. Oh iya, aku sudah mengirimkan undangan pertunanganku seminggu yang lalu!” kata mantan suaminya.
“Aku belum sempat mengucapkan selamat padamu!” kata mama Sivia. “Aku harap kau berbahagia dengan calon istri barumu!”
“Terima kasih!” balas papa Sivia. “Semoga kau juga cepat menemukan kebahagiaanmu!”
“Lebih baik kau tidak membicarakan pertunangan ini pada Sivia!” kata mantan istrinya. “Dia sedang benar-benar marah saat ini. Aku rasa berita ini akan membatnya semakin marah. Aku rasa sebaiknya kita menunggu sampai dia tenang dahulu baru memberitahunya.”
“Setuju!” kata papa Sivia. “Aku akan menelponnya sekarang. Selamat malam, Gina!”
“Selamat malam!” balas mama Sivia lalu menutup teleponnya.
Mama Sivia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya. Di benaknya tergambar kembali perpisahan mereka satu tahun yang lalu.
“Aku ingin Sivia ikut denganku, Gina!” kata suaminya waktu itu.
“Aku tahu!” kata Gina. “Tapi aku ingin memohon satu hal padamu. Aku tahu ini pasti sangat berat untuk kaulakukan.”
“Apa itu?” tanya papa Sivia lagi.
“Biarkan Sivia tinggal di sini bersamaku!” kata Gina.
“Tapi…”
“Aku ingin kau memberiku kesempatan supaya aku bisa dekat dengan Sivia. Aku tahu selama ini aku selalu sibuk, sehingga kaulah yang lebih dekat dengannya.”
“Aku tidak begitu yakin Sivia akan menerimanya dengan baik.” Papa Sivia menatap mantan istrinya dengan cemas.
Gina tidak kuasa menahan tangisnya. “Tolong kabulkan permintaanku ini. Aku ingin Sivia tinggal bersamaku. Sampai dia lulus SMA saja. Setelah itu kau bisa tinggal bersamanya.”
Papa Sivia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah.”
“Satu hal lagi,” kata Gina, “aku ingin permintaanku ini dirahasiakan dari Sivia. Aku mohon padamu! Aku ingin Sivia member kesempatan untuk membuka hatinya padaku. Kalau dia tahu dia akan pergi bersamamu setelah lulus SMA, dia pasti tidak akan memedulikan aku sama sekali. Aku ingin anakku mencintaiku seperti aku mencintainya.”
Melihat kesedihan di mata mantan istrinya, papa Sivia tidak kuasa menolak permintaannya. “Baiklah!” katanya.
Sangat tidak mudah memberitahukan perpisahan mereka pada Sivia. Dari awal Sivia sudah bersikap keras kepala dan tidak menerima perpisahan kadua orangtuanya. Apalagi setelah tahu Papa akan pergi meninggalkannya untuk pekerjaan barunya di luar negeri. Saat itu Sivia menatap papanya dengan tajam.
“Kenapa Papa tega melakukan hal ini padaku?” tanya Sivia. “Kenapa Papa harus meninggalkanku?”
“Sivia…,” kata suaminya, “mamamu dan papa sudah tidak bisa bersama lagi. Kami merasa ini jalan yang terbaik buat kami.”
Sivia menangis dengan keras. “Tapi bukan jalan terbaik untukku, Pa!”
“Maaf!” kata suaminya.
“Maafkan kami, Sivia!” kata Gina sambil menyentuh tangan anaknya. Sivia langsung menepis tangan mamanya.
“Ini pasti karena Mama, bukan?” Sivia menatapnya dengan marah. “Semua pasti karena Mama!”
“Sivia!” teriak suaminya. “Jangan berbicara seperti itu pada mamamu!”
Sivia menatap kedua orangtuanya dengan putus asa. Lalu dia menatap papanya. “Papa mau pisah dengan Mama?!! Aku tidak terima. Pokoknya Sivia ingin Papa tinggal di sini. Jangan pergi ke luar negeri.”
Suaminya menatap Sivia dengan gelisah. “Sivia… Papa…”
“Pilih!” teriak Sivia. “Pekerjaan Papa di luar negeri atau Sivia!”
“Sivia! Masalahnya tidak sesederhana itu!”
Sivia menatap papanya untuk pertama kalinya dengan tatapan kosong. Lalu dia tersenyum sedih. “Jadi… Papa lebih memilih pekerjaan Papa.”
“Tidak!”
“Kalau begitu tinggal!” kata Sivia.
Suaminya terdiam. Pekerjaan barunya ini benar-benar berarti baginya. Dia mendapatkannya dengan susah payah. Dia juga ingin memberitahu Sivia bahwa setelah lulus SMA, Sivia akan tinggal bersamanya. Tapi dia sudah berjanji pada Gina untuk merahasiakan hal tersebut dari Sivia.
Sivia tertawa histeris. “Sekarang Papa sudah sama seperti Mama. Pekerjaan lebih oenting daripada anak sendiri. Tak akan satu pun dari kalian yang memedulikan perasaanku saat ini.”
Setelah itu Sivia berlari masuk ke kamar tidurnya dan membanting pintunya. Dia menutup diri dan berkurung di kamarnya selama dua minggu. Sekeras apa pun orangtuanya membujuknya, Sivia tetap tinggal di kamarnya. Kecuali jika ingin membeli makanan, itu pun dilakukan dengan diam-diam. Saat akhirnya Sivia kelaur dari kamarnya, dia tidak mengucapkan satu patah kata pun. Dia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan orangtuanya. Satu hari sebelum keberangkatannya ke luar negeri, suaminya menunggui Sivia di luar kamanya. Sivia malah tidak keluar sama sekali.
Keesokan paginya, suaminya berkata dari balik pintu. Ia benar-benar sedih. Air mata tergenang di matanya.
“Sivia… Papa harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik! Papa pasti akan meneleponmu setiap hari!”
Di kamanya, Sivia juga menangis. Tetapi tangisannya dia redam dengan bantal tidurnya. Dia tidak menyangka Papa benar-benar akan pergi meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dia percayai telah membuatnya kecewa dan terluka.
Sejak saat itu, mantan suaminya memang menelepon putrinya setiap hari. Tetapi Sivia tidak mau mengangkat teleponnya. Bagi Sivia kebutusan papanya untuk meninggalkan dirinya tidak bisa dimaafkan sama sekali. Sivia tidak ingin berbicara apa-apa lagi. Awalnya Sivia merasa rindu dan ingin menelepon papanya. Tetapi rasa benci yang selalu muncul ke permukaan mengalahkan parasaan rindunya. Untuk melupakan masalah orangtuanya, Sivia mulai membolos dan berubah menjadi anak berandalan.
Gina merasa cemas melihat perubahan tingkah laku putinya. Ia langsung menelepon mantan suaminya karena merasa khawatir. Keesokan harinya papa Sivia langsung datang.
Tapi, kedatangan papanya tidak membuat Sivia menjadi tenang, mallah kebalikannya. Dia bahkan tidak mau berbicara sepatah kata pun pada mantan suaminya itu karena masih kecewa dan sakit hati. Usulan mengunjungi psikiater yang disarankannya, dan disetujui oleh papa Sivia, tidak digubris. Ia malah semakin jauh dari kedua orangtuanya. Tak terasa sudah satu tahun berlalu, Sivia masih tetap keras kepala dan tidak mau berbicara pada papanya.
***
Gina membuka matanya dan menatap sedih ke kamar anaknya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia hanya berharap semoga Sivia mau berbicara dengan papanya di telepon kali ini..
***
Terdegar HP Sivia berbunyi di kamarnya. Sivia mengangkat HP-nya dari meja dan melihat siapa yang meneleponnya. Papa. Sivia membiarkannya berdering tanpa henti selama lima menit. Dia tidak mau berbicara pada siapa pun juga saat ini. Dan Sivia tahu Papa hanya akan menyuruh untuk melunak pada Mama. Satu hal yang tidak ingin ia lakukan. Saat ini dia malas berbicara pada kedua orangtuanya. Dia tidak butuh nasihat apa pun. Dia hanya ingin sendirian.
Ketika berdering lagi, Sivia memutuskan untuk mematikan HP dan menaruhnya kembali ke meja. Sivia berusaha memejamkan matanya, dan tak lama kemudian dia tertidur.
***
Keesokan harinya Sivia menemukan Alvin di ruang musik.
“Hai!” sapa Alvin ketika melihat kedatangan Sivia.
“Kau selalu main setiap hari?” tanya Sivia
“Tidak juga!” kata Alvin. “Kau bisa main piano?”
“Dulu waktu kecil!” kata Sivia jujur. “Sekarang aku sudah lupa semuanya!”
Sivia tidak tahu mengapa dia berada di sini, tetapi suara music Alvin anehnya telah membuat hatinya tenang dan nyaman. Bukan reaksi yang ia harapkan sebelumnya.
“Tidak apa-apa!” kata Alvin tersenyum. “Aku bisa mengingatkanmu lagi!”
“Aku tidak mau main piano!” kata Sivia tegas. “Aku sudah bilang, jangan pernah ikut campur urusanku!”
Alvin memainkan lagu baru. “Aku hanya mau menjadi temanmu!”
“Sudah berapa kali kubilang, aku tidak mau!” kata Sivia keras.
Alvin malaha tersenyum lagi mendengarnya. “Aku kan sudah bilang tidak apa-apa!”
Mereka terdiam sesaat sambil beradu pandang.
“Ada satu hal yang menarik perhatianku kemarin!” lanjut Alvin.
Sivia tersenyum sinis. “Kenapa? Kau tidak pernah melihat orang mencuri sebelumnya?”
Alvin menggeleng lalu berkata lagi, “Kau bisa mencuri CD lagu apa saja, tetapi kenapa memilih The Sound of Music?”
Tatapan mata Alvin membuat Sivia brdiri dengan gelisah. “Karena aku menyukai salah satu lagu di dalamnya!”
“Lagu yang mana?” tanya Alvin sambil menatap Sivia lagi dengan lembut.
“Do-Re-Mi!” jawab Sivia.
“Alvin mengangguk lalu dia memainkan lagu tersebut dengan pianonya. Mendengar lagu terseut setelah sekian lama membuat Sivia mengenang masa lallu. Perlahan-lahan Sivia melangkah mendekati Alvin. Kemudian duduk di sampingnya.
“Sudah lama aku tidak mendengar lagu ini!” ujar Sivia lemah. “Papa sering memainkannya untukku sewaktu aku kecil!”
Dan hal itu selalu membuatku nyaman, renung Sivia dalam hati.
Ketika dentingan piano berakhir, Sivia memandang Alvin dengan lembut.
“Bisakah kau memainkannya lagi?” pintanya.
Tanpa berkata apa-apa Alvin memainkannya lagi.
Lama-kelamaan kenangan lama bermunculan di benak Sivia. Kenangan bahagia dan juga kenangan pahit ketika Papa meninggalkannya. Semua itu membuat Sivia ingin menangis. Perasaan itu muncul kembali. Sakit hati. Kecewa. Marah. Sedih.
Merasa tidak tahan lagi, Sivia menghentikan permainan piano Alvin dengan menekan tuts piano di depannya dengan keras.
Seketika itu juga Alvin menghentikan permainannya. “Ada apa?”
Sivia menatapnya dengan tajam, “Apakah menurutmu seseorang bisa mencintai dan membenci orang yang sama pada saat yang bersamaan?”
Alvin tidak menjawab.
Sivia bangkit dari kursinya dan berlari keluar dari ruangan.
Alvin terdiam tidak bergerak. Sesaat tadi Sivia sempat merasa tenang di samping Alvin, tetapi tiba-tiba sesuatu telah membuatnya gusar. Ketika Alvin mengatakan dia iri pada Sivia, dia mengatakan yang sebenarnya. Pertama kali Sivia muncul di ruang music ini, Alvin merasakan energy kehidupan terpancar dari gadis itu. Sewaktu mengamatinya main voli, energy itu semakin bersinar. Dan Sivia satu-satunya orang yang tidak memperlakukannya seperti seseorang yang lemah, walaupun dia sudah mengatakan penyakit yang dideritanya.
Sementara itu, Sivia berlari menuju kelasnya. Napasnya terengah-engah. Berapa kali pun kenangan itu muncul, perasaan Sivia tetap kacau. Karena sesungguhnya sebenci apa pun dia pada papanya, dia tetap merindukannya.
Selama pelajaran berlangsung, Sivia tidak mendengarkan satu pun perkataan para guru yang mengajar di depannya. Ketika salah satu guru mennyakan sesuatu kepadanya, Sivia tidak menjawab sama sekali. Guru tersebut marah karena merasa diabaikan.
Sivia tetap berdiam diri. Malah dirinya sengaja menggambar seorang murid yang sedang mengantuk di mejanya dengan bolpoin. Melihat hal itu guru tersebut langsung mengusir Sivia keluar dari kelas, karena jelas-jelas Sivia tidak berkonsentrasi mengikuti pelajaran.
Sivia malah tersenyum kurang ajar, “kenapa tidak bilang dari tadi?” Lalu dengan santainya dia keluar dari kelas.
Pelajaran selanjutnya Sivia sama sekali tidak memerhatikan dan sengaja tidur di bangkunya. Ketika istirahat tiba, salah seorang murid, yang ternyata si ketua kelas, berkata kepadanya.
“Bisakah kau menghapus papan tulis? Kami sudah memutuskan kalau hari ini giliranmu piket!”
Sivia melotot memandangnya.
Si ketua kelas mengurungkan niatnya melihat tatapan mata Sivia. Dia tidak mau bermasalah dengan Sivia. Akhirnya dia berjalan menjahui Sivia dan menghapus sendiri papan tulis tersebut. Sivia merebahkan diri di mejanya dan menutup matanya. Hari ini berjalan lambat sekali, keluhnya dalam hati.
“He, tebak, siapa yang mendapat nilai paling tinggi saat ujian uji coba EBTANAS minggu lalu?” salah seorang murid di depan Sivia berkata dengan antusias.
“Siapa?” tanya murid di sebelahnya.
“Alvin! Anak 3 IPA 1,” katanya, “hebat sekali dia!”
“Bukankah sejak kelas satu dia selalu mendapat juara satu? Lalu minggu kemarin juga dia menjuarai lomba piano itu, kan?”
“Wah, seandainya saja aku punya otak sehebat dia! Pasti mamaku tidak akan rewel, ketakutan aku tidak lulus!”
“Memangnya Cuma mamamu yang rewel? Mamaku malah mengancam akan menghukumku kalau sampai tidak lulus!”
Pembicaraan kedua orang itu membuat Sivia terdiam. Ternyata Alvin adalah murid yang pandai. Jadi sekarang selain tukang ikut campur, disukai guru, jago main piano, ternyata dia pandai juga? Keluh Sivia. Benar-benar tipe murid teladan sejati.
Sivia penasaran apa yang akan dipikirkan kedua orang di depannya kalau dia mengatakan si teladan yang dibicarakan mereka setelah meminta dirinya untuk menjadi temannya. Pasti mereka tidak akan percaya. Ada satu hal yang mengganggu perasaan Sivia. Tadi untuk sesaat, dia benar-benar tersentuh mendengar permainan piano Alvin dan tatapannya yang tulus. Satu hal yang jarang Sivia rasakan selama satu tahun ini.
Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, Sivia bangkit dari tempat duduknya dan berlari menuju gerbang sekolah. Tentu saja dia tahu kalau hari ini dia harus membersihkan WC sepulang sekolah sebagai hukuman merokok dan membolos kemarin, tetapi Sivia tidak akan melakukannya.
Sepulang sekolah Pak Duta mendatangi WC sekolah dan tidak melihat seorang pun di dalamnya. Dia mengangkat bahu. Dalam hati merasa kecewa. Tak lama setelah Pak Duta meninggalkan WC, Alvin melangkah ke tempat itu. Dia juga tidak melihat Sivia di sana. Alvin terdiam. Perkataan Sivia saat pertemuan pertama terngiang-ngiang di benaknya.
“Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi saat kau mengucapkan selamat tinggal padaku!”
Kini Alvin tahu apa maksudnya.
Sivia bangkit dari tempat tidurnya dengan perlahan. Selesai mandi dia mengenakan baju seragamnya dan dengan sengaja mengeluarkan bajunya, membuatnya jadi terlihat berantakan. Ketika Sivia tiba di sekolahnya, gerbang sekolah sudah ditutup. Dia memanjat gerbang tersebut tanpa masalah.
Sesaat setelah kaki Sivia menyentuh lapangan sekolah, seorang satpam berjalan menghampirinya. Sial, gerutu Sivia dalam hati. Sebetulnya dia senang-senang saja aksi mmanjatnya diketahui seseorang. Semakin cepat dia membuat kesalahan, semakin cepat dia akan dikeluarkan dari sekolah ini. Tetapi perutnya sedang keroncongan karena tadi pagi belum makan. Saat ini yang dipikirkannya adalah bagaimana dia bisa menuju kantin secepatnya.
“Selamat pagi!” kata si satpam. “Apakah kau tidak tahu jika gerbang sudah ditutup, para siswa dilarang memasuki sekolah tanpa seizing guru?”
“Saya tahu kok!” kata Sivia dengan enteng. “Pertama-tama Bapak akan menanyakan nama saya, lalu melapporkan saya pada guru piket hari ini, kemudian guru tersebut akan menentukan hukuman untuk saya.”
Si bapak satpam mengerutkan keningnya. Baru kali ini dia menemui seorang murid yang tidak merasa bersalah setelah melakukan pelanggaran sekolah. Dilihatnya Sivia dari atas sampai bawah dengan teliti.
“Tunggu dulu!” kata Pak Satpam mengenali. “Kau murid baru itu, bukan? Baru masuk kemarin?”
Sivia mengangguk. “Begini saja, Pak, bagaimana kalau Bapak berpura-pura tidak tahu tentang pelanggaran saya ini? Sebetulnya saya tidak keberatan kalau saya dihukum. Malah itu lebih baik. Tapi perut saya lapar saat ini, jadi saya tidak punya waktu untuk berbasa-basi lagi.”
Si bapak satpam mendesah. “Baiklah!” katanya menyerah. “Karena kau masih murid baru di sekolah ini, Bapak akan mengabaikan pelanggaranmu kali ini. Tapi lain waktu kau tidak boleh melakukannya lagi.”
Siviatersenyum. “Saya yakin saya akan melakukan hal ini lagi kapan-kapan. Saat itu Bapak boleh melaporkan saya pada para guru. Saya tidak keberatan sama sekali!”
Sivia berlari meninggalkan pak satpam yang kebingungan mencerna arti perkataan tersebut. Dalam hati Sivia menyadari bahwa mencari cara untuk membuat onar ternyata lebih mudah daripada menjadi murid terladan. Sama halnya dengan membuat kenangan buruk lebih mudah daripada membuat kenangan baik.
Perutnya berbunyi lagi. Sivia berlari ke arah kantin. Tak berapa lama kemudia, dia duduk di bangku kantin sambil menimati makanannya. Setelah selesai, dia berjalan-jalan mengelilingi sekolah. Langkahnya terhenti saat melihat Alvin yang duduk di bangku taman sekolah. Dilihatnya teman-teman sekelas cowok itu sedang berolahraga tak jauh dari sana.
Sivia berjalan mendekati lalu duduk di sebelahnya. “Wah! Rupanya si anak teladan bisa membolos pelajaran juga!”
Alvin menoleh ke arah Sivia tapi tidak berkata apa-apa.
“Kau memang anak aneh! Tidak mau bicara lagi?” tanya Sivia. “Bagaimana kalau aku beritahu Pak Guru kau bolos pelajaran olahraga?”
Kali ini Alvin menatap mata Sivia. “Bukankah kau juga bolos?”
Sivia tertawa. “Ya! Itu maksudku! Apakah sebaiknya kita memberitahu Pak Guru kalau kita berdua membolos? Aku jadi penasaran hukuman apa yang akan diberikan oleh mereka!”
“Aku tidak tahu!” kata Alvin jujur. “Aku belum pernah dihukum!”
Sivia menggeleng-geleng. “Ya! Aku yakin begitu! Kau tidak pernah melakukan kesalahan makanya tidak pernah dihukum. Apakah kau tidak bosan menjadi anak teladan terus-menerus? Cobalah sekali-sekali menjadi anak nakal dan melihat betapa kreatifnya para guru membuat hukuman!”
“Kreatif?” tanya Alvin bingung.
“Dari lari keliling lapangan, mengecat meja sekoalh, menulis ‘aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi’ di atas seratus lembar kertas, membereskan buku perpustakaan, sampai membersihkan WC!”
Alvin tertawa. “Dan kau merasakan semuanya?”
Sivia menggeleng. “Tidak! Aku bilang aku melihat, bukan merasakan! Aku sudah keburu drop out sebelum hukuman itu dilaksanakan!”
“Kenapa kau tidak terkejut mendengarnya?” bisik Alvin perlahan.
Tangan Sivia mengeluarkan sebatang rokok dan pematik api yang memang sudah dia bawa di sakunya. Sivia menyelipkan rokok di bibirnya. Sebelum dia sempat menyulutnya, Alvin menatapnya dan berkata, “Tolong jangan merokok!”
Sivia tertawa pendek. “Kenapa? Mau menasehatiku kalau merokok tidak bagus buat kesehatanku?”
Alvin menggeleng. “Tidak! Sebenarnya justru tidak bagus buat kesehatanku!”
Sivia tertegun mendengarnya. “Apa maksudmu?” tanya Sivia bingung.
“Aku sakit!” jelas Alvin sederhana.
“Sakit?” tanya Sivia lagi.
Alvin mengangguk. “Aku tidak membolos pelajaran olahraga. aku memang tidak bisa mengikutinya.”
“Memangnya kau sakit apa?” tanya Sivia penasaran. “Flu, sakit perut, demam, atau apa?”
Alvin menatap Sivia dengan serius dan berkata tenang. “Aku punya kelainan jantung sejak lahir!”
Untuk sesaat Sivia tidak sanggup berkata-kata. Mereka berdiam diri selama beberapa saat.
“Mengapa kau memperhatikanku kemarin sewaktu aku berolahraga?” tanya Sivia tiba-tiba.
Alvin menatap Sivia.
“Asal tahu saja, aku benar-benar tidak suka kalau ada orang yang memperhatikanku tanpa sepengetahuanku,” lanjut Sivia lagi. “Apa kerena kau ingin melihat si anak baru yang berandalan, dan berfikir betapa beruntungnya kau menjadi murid teladan?”
“Tidak,” jawab Alvin singkat.
“Lalu kenapa?” tanya Sivia penasaran.
Alvin terdiam sesaat, tapi kemudian menjawab, “Karena aku iri.”
“Iri?” Sivia bingung.
“Ya! Aku iri padamu! Kau bisa bermain voli dengan senang. Aku tidak pernah bisa bermain seperti itu. Hidupku hanya berkisar di sekolah dan di rumah sakit. Tidak boleh berolahraga sekali pun karena itu bisa membahanyakan jantungku.”
Sivia tidak menyangka Alvin akan berpikiran seperti itu. Baru pertama kali ada orang yang iri padanya hanya karena ia bermain voli. Sesaat Sivia merasakan kasihan pada pemuda ini. Sivia berusaha keras untuk menghancurkan hidupnya, dilain pihak Alvin justru berusaha keras untuk mempertahankan hidupnya.
Tiba-tiba saja Pak Duta muncul di hadapan mereka berdua. “Di sini kau rupanya! Sivia, kenapa kau membolos? Dan apa itu? Rokok! Kau merokok juga? Apa yang kaulakukan bersama Alvin di sini? Sekarang juga kalian ikut ke ruangan Bapak!”
Pak Duta langsung mencabut rokok yang ada di tangan Sivia dan membuangnya. Sivia dan Alvin mengikuti Pak Duta ke ruangannya. Setibanya di sana, Pak Duta duduk dan tanpa basa-basi memulai pembicaraan.
“Sivia!” katanya sambil menatap mata Sivia. “Ini hari keduamu di sekolah, dan kau sudah membolos. Bapak sudah melihat data dirimu dari sekolah-sekolah sebelumnya. Banyak sekali pelanggaran yang kaulakukan. Merokok, bertengkar dengan temanmu, berpakaian tidak pantas di sekolah, membolos sampai kau dikeluarkan dari sana! Pihak sekolah sana tidak mau memberitahukan hal tersebut kepada Bapak!”
Sivia tersenyum perlahan. “Saya menyebabkan ruangan olahraga nereka rusak terbakar!”
“Benarkah?” tanya Pak Duta terkejut.
“Kalau Bapak mau mengunjungi sekolah tersebut pastinya Bapak masih bisa melihat hasil pengecatan kembali ruang olahraganya!”
Pak Duta terdiam sesaat mendengar penjelasan Sivia. “Menurutmu itu sesuatu yang membanggakan?”
Sivia tidak menjawab pertanyaan Pak Duta.
“Baiklah!” desah Pak Duta. “Kira-kira apa hukuman yang layak untukmu, Sivia?”
Sivia tertawa. “Saya tidak tahu, Pak. Saya rasa Bapak lebih ahli soal hukuman daripada saya!”
“Kalau bagitu mulai besok kamu Bapak hokum untuk membersihkan toilet selama dua minggu!” kata Pak Duta tergas.
“Baiklah!” kata Sivia enteng, “Tapi Bapak tahu kalau saya tidak akan melakukannya!”
“Kalau kau tidak mau melaksanakannya,” kata Pak Duta, “hukumannya bertambah menjadi tiga minggu!”
“Kenapa tidak dikeluarkans aja sekalian?” tanya Sivia akhirnya.
Pak Duta menatap Sivia dengan tegas. “Karena mengeluarkanmu adalah perkara yang terlalu mudah dan itu justru sesuai dengan keinginanmu, bukan?” saying sekali, Sivia, kau tidak akan semudah itu dikeluarkan!”
“Kita lihat saja nanti!” kata Sivia tenang.
Pak Duta juga membalasnya sambil tersenyum, “Bapak tidak sabar untuk melihatnya!” Tatapannya beralih pada Alvin. “Sekarang kau, Alvin, apa yang kau lakukan bersama Sivia?”
Alvin menjawab dengan tenang, “Tidak ada, Pak!”
“Benarkah tidak ada apa-apa?” tanya Pak Duta sekali lagi.
Alvin mengangguk.
“Bapak percaya padamu!” kata Pak Duta.
Sivia memandang Alvin dan Pak Duta dengan sinis. Begitu mudahnya wali kelasnya itu percaya pada Alvin. Tidak pernah ada yang percaya pada Sivia. Tidak seorang pun.
Pak Duta melirik Sivia lagi. “Cobalah untuk bersikap baik, Sivia. Masa muda hanya terjadi sekali seumur hidup. Kau akan menyesal kalau menyia-nyia-kannya!”
Kenapa sih guru-guru selalu berpetuah panjang-lebar? Tanya Sivia dalam hati.
“Nikmati masa mudamu! Bertemanlah sebanyak-banyaknya!” kata Pak Duta.
“Bapak pasti bercanda!” kata Sivia ketus. “Tidak ada seorang pun yang mau berteman dengan saya!”
Alvin tiba-tiba berkata, “Aku mau berteman denganmu!”
“Sayang sekali.” Balas Sivia, “aku tidak mau berteman denganmu!”
Pak Duta berdiri dari kursinya. “Bapak harus menghentikan perdebatan kalian karena harus masuk kelas untuk mengajar, dan sebaiknya kau juga berada di sana, Sivia!”
Sivia dan Alvin keluar dari ruangan Pak Duta.
“Benarkah semua data tentang dirimu tadi?” tanya Alvin penasaran di luar kantor.
Sivia tersenyum. “Sebetulnya ada satu yang tidak akurat! Aku tidak membolos lima kali, aku membolos setiap hati!”
Alvin tertawa. “Tiap hari?”
“Ya!” kata Sivia. “Kau yakin kau mau jadi temanku, anak teladan?”
“Perkataan terakhir tadi membuatku yakin untuk menjadi temanmu!” Alvin berkata tulus.
“Oh! Perkataan yang manis!” ejek sivia. “Tapi saying sekali, aku tidak mau jadi temanmu. Tidak sekarang, tidak juga nanti!”
“Aku hanya ingin menjadi temanmu. Kalau kau tidak mau jadi temanku, tidak apa-apa! Aku mengerti. Aku akan tunggu sampai kau mau jadi temanku!”
“Itu tidak akan terjadi!” kata Sivia ketus.
“Aku orang yang optimis, Sivia! Aku punya keyakinan hal itu akan terjadi,” kata Alvin yakin sambil berlalu dari hadapan Sivia.
***
Sivia memainkan makanan dipiringnya. Dia memandang mamanya dengan kesal. Malam ini, saat Sivia sedang makan, mamanya tiba-tiba masuk dan duduk di seberangnya.
“Jadi kau membuat masalah lagi di sekolah!” kata Mama langsung.
Sivia tertawa. “Wow! Aku kira Mama datang mau makan malam bersamaku, ternyata Mama hanya mau menegurku lagi! Jadi apa yang terjadi? Wali kelasku menelpon Mama?”
“Sivia!”
Sivia membalas teriakan mamanya dengan menusukkan garpunya pada lauk di piringnya dan mengunyahnya.
“Merokok dan bolos pelajaran?” tanya mamanya marah. “Apakah kau tidak kapok juga?” apa ini caramu menarik perhatian Mama?”
“Aku rasa Mama salah!” kata Sivia. “Aku tidak bermaksud menarik perhatian Mama!” kata Sivia tanang. “Aku hanya bermaksud membuat Mama marah! Dan tampaknya itu berhasil!”
Mama Sivia langsung menggebrak meja. “Mama tidak mau melihat kelakukanmu seperti ini lagi, Sivia! Hentikan sifat kekanak-kanakan ini! Mau sampai kapan kau begini?”
Sivia tertawa lebar.
“Kenapa kau tertawa?” teriak mamanya kesal.
“Aku merasa lucu sekali!” kata Sivia. “Mama toh tidak akan sempat melihat kenakalanku karena Mama tidak akan beraa di sini saat aku melakukannya! Bukankah Mama mau pergi ke luar kota lagi?”
“Sivia!!!!” teriak mamanya kehilangan kesabaran. Sivia memandang mamanya dengan bosan dan bangkit dari tempat duduknya di meja makan. Dilihatnya vas bunga kesayangan mamanya di buffet dekat pintu, dan dengan sengaja Sivia menjatuhkannya. Vas bunga itu pecah berkeping-keping.
Mama Sivia semakin murka. “Cukup, Sivia! Hentikan semua ini sekarang juga! Kau tahu itu vas bunga kesayangan Mama!”
“Ya, aku tahu!” kata Sivia. “Toh Mama bisa membelinya lagi, iya kan?” Lalu dengan manisnya Sivia berkata, “Permisi Ma, Sivia capek, mau istirahat dulu!”
“Tunggu, Sivia!” kata mamanya perlahan. “Kenapa kita selalu saja berteriak satu sama lain? Tidak bisakah kita berbicara dengan tenang?”
Sivia menggeleng. “Aku rasa tidak. Lagi pula hanya inilah satu-satunya persamaan yang kita miliki! Berteriak satu sama lain! Aku tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun dari Mama. Karena aku tidak akan memercayai satu pun perkataan Mama saat ini. Mama kan tahu hanya Papa yang bisa menenangkanku!”
“Tapi papamu sekarang tidak ada di sini!” jawab mamanya.
“Dan salah siapakah itu?” cemooh Sivia.
Mamanya menarik napas. “Kalau kau merasa lebih baik dengan menyalahkan Mama atas kepergian papamu, Mama tidak keberatan! Silahkan salahkan Mama sepuasmu! Tapi hal itu tetap tidak membuatmu puas, bukan? Mama berpisah dengan papamu karena kami berdua menginginkan hal yang berbeda. Tentu saja Mama mencintai papamu, tadi kadang urusannya tidak sesederhana itu!”
“Kalau Mama mencintai Papa, Mama tidak akan berpisah dengannya!” kata Sivia tegas. “Apa pun yang Mama katakana tidak akan membuatku lebih baik. Mama tahu kenapa? Karena semakin Mama bicara seperti itu, semakin aku membenci Mama!”
Setelah itu Sivia bergegas ke kamarnya, meninggalkan ibunya yang terdiam di ruang makan. Tak berapa lama kemudian, telepon berdering. Mama Sivia mengangkatnya.
“Halo!”
“Ini aku!” kata suara di telepon. “Bagaimana keadaanmu, Gina?”
Mama Sivia, yang bernama Gina Sonia, mendesah. Dia tidak siap menerima telepon mantan suaminya saat ini. Selama satu tahun ini, mantan suaminya sudah sering menghubunginya untuk menanyakan keadaan dirinya dan Sivia. Terutama Sivia. Dan siring waktu keduanya sudah bisa berteman baik.
“Seperti biasa!” keluh Widia. “Anak kita masih tidak bisa menerima perceraian kita!”
Suara di ujung telepon mendesah, “Aku akan mencoba bicara padanya, Gina!”
Mama sivia menyetujui, “Sebaiknya begitu. Dia tidak mau bicara denganku sama sekali.”
“Aku akan coba, Gina. Oh iya, aku sudah mengirimkan undangan pertunanganku seminggu yang lalu!” kata mantan suaminya.
“Aku belum sempat mengucapkan selamat padamu!” kata mama Sivia. “Aku harap kau berbahagia dengan calon istri barumu!”
“Terima kasih!” balas papa Sivia. “Semoga kau juga cepat menemukan kebahagiaanmu!”
“Lebih baik kau tidak membicarakan pertunangan ini pada Sivia!” kata mantan istrinya. “Dia sedang benar-benar marah saat ini. Aku rasa berita ini akan membatnya semakin marah. Aku rasa sebaiknya kita menunggu sampai dia tenang dahulu baru memberitahunya.”
“Setuju!” kata papa Sivia. “Aku akan menelponnya sekarang. Selamat malam, Gina!”
“Selamat malam!” balas mama Sivia lalu menutup teleponnya.
Mama Sivia menarik napas dalam-dalam, lalu memejamkan matanya. Di benaknya tergambar kembali perpisahan mereka satu tahun yang lalu.
“Aku ingin Sivia ikut denganku, Gina!” kata suaminya waktu itu.
“Aku tahu!” kata Gina. “Tapi aku ingin memohon satu hal padamu. Aku tahu ini pasti sangat berat untuk kaulakukan.”
“Apa itu?” tanya papa Sivia lagi.
“Biarkan Sivia tinggal di sini bersamaku!” kata Gina.
“Tapi…”
“Aku ingin kau memberiku kesempatan supaya aku bisa dekat dengan Sivia. Aku tahu selama ini aku selalu sibuk, sehingga kaulah yang lebih dekat dengannya.”
“Aku tidak begitu yakin Sivia akan menerimanya dengan baik.” Papa Sivia menatap mantan istrinya dengan cemas.
Gina tidak kuasa menahan tangisnya. “Tolong kabulkan permintaanku ini. Aku ingin Sivia tinggal bersamaku. Sampai dia lulus SMA saja. Setelah itu kau bisa tinggal bersamanya.”
Papa Sivia terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk. “Baiklah.”
“Satu hal lagi,” kata Gina, “aku ingin permintaanku ini dirahasiakan dari Sivia. Aku mohon padamu! Aku ingin Sivia member kesempatan untuk membuka hatinya padaku. Kalau dia tahu dia akan pergi bersamamu setelah lulus SMA, dia pasti tidak akan memedulikan aku sama sekali. Aku ingin anakku mencintaiku seperti aku mencintainya.”
Melihat kesedihan di mata mantan istrinya, papa Sivia tidak kuasa menolak permintaannya. “Baiklah!” katanya.
Sangat tidak mudah memberitahukan perpisahan mereka pada Sivia. Dari awal Sivia sudah bersikap keras kepala dan tidak menerima perpisahan kadua orangtuanya. Apalagi setelah tahu Papa akan pergi meninggalkannya untuk pekerjaan barunya di luar negeri. Saat itu Sivia menatap papanya dengan tajam.
“Kenapa Papa tega melakukan hal ini padaku?” tanya Sivia. “Kenapa Papa harus meninggalkanku?”
“Sivia…,” kata suaminya, “mamamu dan papa sudah tidak bisa bersama lagi. Kami merasa ini jalan yang terbaik buat kami.”
Sivia menangis dengan keras. “Tapi bukan jalan terbaik untukku, Pa!”
“Maaf!” kata suaminya.
“Maafkan kami, Sivia!” kata Gina sambil menyentuh tangan anaknya. Sivia langsung menepis tangan mamanya.
“Ini pasti karena Mama, bukan?” Sivia menatapnya dengan marah. “Semua pasti karena Mama!”
“Sivia!” teriak suaminya. “Jangan berbicara seperti itu pada mamamu!”
Sivia menatap kedua orangtuanya dengan putus asa. Lalu dia menatap papanya. “Papa mau pisah dengan Mama?!! Aku tidak terima. Pokoknya Sivia ingin Papa tinggal di sini. Jangan pergi ke luar negeri.”
Suaminya menatap Sivia dengan gelisah. “Sivia… Papa…”
“Pilih!” teriak Sivia. “Pekerjaan Papa di luar negeri atau Sivia!”
“Sivia! Masalahnya tidak sesederhana itu!”
Sivia menatap papanya untuk pertama kalinya dengan tatapan kosong. Lalu dia tersenyum sedih. “Jadi… Papa lebih memilih pekerjaan Papa.”
“Tidak!”
“Kalau begitu tinggal!” kata Sivia.
Suaminya terdiam. Pekerjaan barunya ini benar-benar berarti baginya. Dia mendapatkannya dengan susah payah. Dia juga ingin memberitahu Sivia bahwa setelah lulus SMA, Sivia akan tinggal bersamanya. Tapi dia sudah berjanji pada Gina untuk merahasiakan hal tersebut dari Sivia.
Sivia tertawa histeris. “Sekarang Papa sudah sama seperti Mama. Pekerjaan lebih oenting daripada anak sendiri. Tak akan satu pun dari kalian yang memedulikan perasaanku saat ini.”
Setelah itu Sivia berlari masuk ke kamar tidurnya dan membanting pintunya. Dia menutup diri dan berkurung di kamarnya selama dua minggu. Sekeras apa pun orangtuanya membujuknya, Sivia tetap tinggal di kamarnya. Kecuali jika ingin membeli makanan, itu pun dilakukan dengan diam-diam. Saat akhirnya Sivia kelaur dari kamarnya, dia tidak mengucapkan satu patah kata pun. Dia tidak menjawab apa pun yang ditanyakan orangtuanya. Satu hari sebelum keberangkatannya ke luar negeri, suaminya menunggui Sivia di luar kamanya. Sivia malah tidak keluar sama sekali.
Keesokan paginya, suaminya berkata dari balik pintu. Ia benar-benar sedih. Air mata tergenang di matanya.
“Sivia… Papa harus pergi sekarang. Jaga dirimu baik-baik! Papa pasti akan meneleponmu setiap hari!”
Di kamanya, Sivia juga menangis. Tetapi tangisannya dia redam dengan bantal tidurnya. Dia tidak menyangka Papa benar-benar akan pergi meninggalkannya. Satu-satunya orang yang dia percayai telah membuatnya kecewa dan terluka.
Sejak saat itu, mantan suaminya memang menelepon putrinya setiap hari. Tetapi Sivia tidak mau mengangkat teleponnya. Bagi Sivia kebutusan papanya untuk meninggalkan dirinya tidak bisa dimaafkan sama sekali. Sivia tidak ingin berbicara apa-apa lagi. Awalnya Sivia merasa rindu dan ingin menelepon papanya. Tetapi rasa benci yang selalu muncul ke permukaan mengalahkan parasaan rindunya. Untuk melupakan masalah orangtuanya, Sivia mulai membolos dan berubah menjadi anak berandalan.
Gina merasa cemas melihat perubahan tingkah laku putinya. Ia langsung menelepon mantan suaminya karena merasa khawatir. Keesokan harinya papa Sivia langsung datang.
Tapi, kedatangan papanya tidak membuat Sivia menjadi tenang, mallah kebalikannya. Dia bahkan tidak mau berbicara sepatah kata pun pada mantan suaminya itu karena masih kecewa dan sakit hati. Usulan mengunjungi psikiater yang disarankannya, dan disetujui oleh papa Sivia, tidak digubris. Ia malah semakin jauh dari kedua orangtuanya. Tak terasa sudah satu tahun berlalu, Sivia masih tetap keras kepala dan tidak mau berbicara pada papanya.
***
Gina membuka matanya dan menatap sedih ke kamar anaknya. Dia tidak tahu lagi harus berbuat apa. Dia hanya berharap semoga Sivia mau berbicara dengan papanya di telepon kali ini..
***
Terdegar HP Sivia berbunyi di kamarnya. Sivia mengangkat HP-nya dari meja dan melihat siapa yang meneleponnya. Papa. Sivia membiarkannya berdering tanpa henti selama lima menit. Dia tidak mau berbicara pada siapa pun juga saat ini. Dan Sivia tahu Papa hanya akan menyuruh untuk melunak pada Mama. Satu hal yang tidak ingin ia lakukan. Saat ini dia malas berbicara pada kedua orangtuanya. Dia tidak butuh nasihat apa pun. Dia hanya ingin sendirian.
Ketika berdering lagi, Sivia memutuskan untuk mematikan HP dan menaruhnya kembali ke meja. Sivia berusaha memejamkan matanya, dan tak lama kemudian dia tertidur.
***
Keesokan harinya Sivia menemukan Alvin di ruang musik.
“Hai!” sapa Alvin ketika melihat kedatangan Sivia.
“Kau selalu main setiap hari?” tanya Sivia
“Tidak juga!” kata Alvin. “Kau bisa main piano?”
“Dulu waktu kecil!” kata Sivia jujur. “Sekarang aku sudah lupa semuanya!”
Sivia tidak tahu mengapa dia berada di sini, tetapi suara music Alvin anehnya telah membuat hatinya tenang dan nyaman. Bukan reaksi yang ia harapkan sebelumnya.
“Tidak apa-apa!” kata Alvin tersenyum. “Aku bisa mengingatkanmu lagi!”
“Aku tidak mau main piano!” kata Sivia tegas. “Aku sudah bilang, jangan pernah ikut campur urusanku!”
Alvin memainkan lagu baru. “Aku hanya mau menjadi temanmu!”
“Sudah berapa kali kubilang, aku tidak mau!” kata Sivia keras.
Alvin malaha tersenyum lagi mendengarnya. “Aku kan sudah bilang tidak apa-apa!”
Mereka terdiam sesaat sambil beradu pandang.
“Ada satu hal yang menarik perhatianku kemarin!” lanjut Alvin.
Sivia tersenyum sinis. “Kenapa? Kau tidak pernah melihat orang mencuri sebelumnya?”
Alvin menggeleng lalu berkata lagi, “Kau bisa mencuri CD lagu apa saja, tetapi kenapa memilih The Sound of Music?”
Tatapan mata Alvin membuat Sivia brdiri dengan gelisah. “Karena aku menyukai salah satu lagu di dalamnya!”
“Lagu yang mana?” tanya Alvin sambil menatap Sivia lagi dengan lembut.
“Do-Re-Mi!” jawab Sivia.
“Alvin mengangguk lalu dia memainkan lagu tersebut dengan pianonya. Mendengar lagu terseut setelah sekian lama membuat Sivia mengenang masa lallu. Perlahan-lahan Sivia melangkah mendekati Alvin. Kemudian duduk di sampingnya.
“Sudah lama aku tidak mendengar lagu ini!” ujar Sivia lemah. “Papa sering memainkannya untukku sewaktu aku kecil!”
Dan hal itu selalu membuatku nyaman, renung Sivia dalam hati.
Ketika dentingan piano berakhir, Sivia memandang Alvin dengan lembut.
“Bisakah kau memainkannya lagi?” pintanya.
Tanpa berkata apa-apa Alvin memainkannya lagi.
Lama-kelamaan kenangan lama bermunculan di benak Sivia. Kenangan bahagia dan juga kenangan pahit ketika Papa meninggalkannya. Semua itu membuat Sivia ingin menangis. Perasaan itu muncul kembali. Sakit hati. Kecewa. Marah. Sedih.
Merasa tidak tahan lagi, Sivia menghentikan permainan piano Alvin dengan menekan tuts piano di depannya dengan keras.
Seketika itu juga Alvin menghentikan permainannya. “Ada apa?”
Sivia menatapnya dengan tajam, “Apakah menurutmu seseorang bisa mencintai dan membenci orang yang sama pada saat yang bersamaan?”
Alvin tidak menjawab.
Sivia bangkit dari kursinya dan berlari keluar dari ruangan.
Alvin terdiam tidak bergerak. Sesaat tadi Sivia sempat merasa tenang di samping Alvin, tetapi tiba-tiba sesuatu telah membuatnya gusar. Ketika Alvin mengatakan dia iri pada Sivia, dia mengatakan yang sebenarnya. Pertama kali Sivia muncul di ruang music ini, Alvin merasakan energy kehidupan terpancar dari gadis itu. Sewaktu mengamatinya main voli, energy itu semakin bersinar. Dan Sivia satu-satunya orang yang tidak memperlakukannya seperti seseorang yang lemah, walaupun dia sudah mengatakan penyakit yang dideritanya.
Sementara itu, Sivia berlari menuju kelasnya. Napasnya terengah-engah. Berapa kali pun kenangan itu muncul, perasaan Sivia tetap kacau. Karena sesungguhnya sebenci apa pun dia pada papanya, dia tetap merindukannya.
Selama pelajaran berlangsung, Sivia tidak mendengarkan satu pun perkataan para guru yang mengajar di depannya. Ketika salah satu guru mennyakan sesuatu kepadanya, Sivia tidak menjawab sama sekali. Guru tersebut marah karena merasa diabaikan.
Sivia tetap berdiam diri. Malah dirinya sengaja menggambar seorang murid yang sedang mengantuk di mejanya dengan bolpoin. Melihat hal itu guru tersebut langsung mengusir Sivia keluar dari kelas, karena jelas-jelas Sivia tidak berkonsentrasi mengikuti pelajaran.
Sivia malah tersenyum kurang ajar, “kenapa tidak bilang dari tadi?” Lalu dengan santainya dia keluar dari kelas.
Pelajaran selanjutnya Sivia sama sekali tidak memerhatikan dan sengaja tidur di bangkunya. Ketika istirahat tiba, salah seorang murid, yang ternyata si ketua kelas, berkata kepadanya.
“Bisakah kau menghapus papan tulis? Kami sudah memutuskan kalau hari ini giliranmu piket!”
Sivia melotot memandangnya.
Si ketua kelas mengurungkan niatnya melihat tatapan mata Sivia. Dia tidak mau bermasalah dengan Sivia. Akhirnya dia berjalan menjahui Sivia dan menghapus sendiri papan tulis tersebut. Sivia merebahkan diri di mejanya dan menutup matanya. Hari ini berjalan lambat sekali, keluhnya dalam hati.
“He, tebak, siapa yang mendapat nilai paling tinggi saat ujian uji coba EBTANAS minggu lalu?” salah seorang murid di depan Sivia berkata dengan antusias.
“Siapa?” tanya murid di sebelahnya.
“Alvin! Anak 3 IPA 1,” katanya, “hebat sekali dia!”
“Bukankah sejak kelas satu dia selalu mendapat juara satu? Lalu minggu kemarin juga dia menjuarai lomba piano itu, kan?”
“Wah, seandainya saja aku punya otak sehebat dia! Pasti mamaku tidak akan rewel, ketakutan aku tidak lulus!”
“Memangnya Cuma mamamu yang rewel? Mamaku malah mengancam akan menghukumku kalau sampai tidak lulus!”
Pembicaraan kedua orang itu membuat Sivia terdiam. Ternyata Alvin adalah murid yang pandai. Jadi sekarang selain tukang ikut campur, disukai guru, jago main piano, ternyata dia pandai juga? Keluh Sivia. Benar-benar tipe murid teladan sejati.
Sivia penasaran apa yang akan dipikirkan kedua orang di depannya kalau dia mengatakan si teladan yang dibicarakan mereka setelah meminta dirinya untuk menjadi temannya. Pasti mereka tidak akan percaya. Ada satu hal yang mengganggu perasaan Sivia. Tadi untuk sesaat, dia benar-benar tersentuh mendengar permainan piano Alvin dan tatapannya yang tulus. Satu hal yang jarang Sivia rasakan selama satu tahun ini.
Saat bel tanda pulang sekolah berbunyi, Sivia bangkit dari tempat duduknya dan berlari menuju gerbang sekolah. Tentu saja dia tahu kalau hari ini dia harus membersihkan WC sepulang sekolah sebagai hukuman merokok dan membolos kemarin, tetapi Sivia tidak akan melakukannya.
Sepulang sekolah Pak Duta mendatangi WC sekolah dan tidak melihat seorang pun di dalamnya. Dia mengangkat bahu. Dalam hati merasa kecewa. Tak lama setelah Pak Duta meninggalkan WC, Alvin melangkah ke tempat itu. Dia juga tidak melihat Sivia di sana. Alvin terdiam. Perkataan Sivia saat pertemuan pertama terngiang-ngiang di benaknya.
“Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi saat kau mengucapkan selamat tinggal padaku!”
Kini Alvin tahu apa maksudnya.
3600 Detik (versi Alvia) Part 1
SIVIA berjalan memasuki sekolah barunya. Hari masih pagi. Dia tidak
melihat seorang murid pun disekitarnya. Matahari pagi menyinari
rambutnya yang dicat merah, sangat sesuai dengan kukunya yang juga dicat
dengan warna serupa. Sivia memandang sekolah barunya sepintas lalu.
Beberapa kali pun ia pindah sekolah, hasilnya hanya membuatnya semakin
kesal. Toh dia sudah tak berminat sekolah.
Sebenarnya Sivia merasa bosan karena harus mengulang pelajaran yang sama di tahun ini, karena tahun kemarin dia tidak lulus ujian SMA. Mama benar-benar kecewa terhadapnya. Setelahberpikir matang-matang dan karena hotelnya membuka cabang baru, beliau pun memutuskan untuk pindah ke luar kota dan menyekolahkan Sivia di kota baru tersebut. Sivia tahu ibunya berharap awal yang baru dan lingkungan yang baru dapat membuatnya barubah.
Sivia berhenti di lorong kelas barunya.
“Jadi ini sekolah baruku!” katanya dalam hati.
Sivia tahu saat itu juga bahwa dia tidak akan bertahan lama. paling satu atau dua minggu. Tiba-tiba kupingnya menangkap suara merdu yang mengalun dari ruang di lorong itu. Suara piano itu sangat jernih dan indah, membuat Sivia bergerak mendekati.
Di dalam ruangan itu ia melihat seorang murid cowok sedang memainkan piano.
Setiap dentingan tuts piano yang dimainkan membuat perasaan Sivia berangsur tenang. Setelah lagu berakhir, Sivia terdiam sambil memandangi pemuda itu. Seolah merasa ada yang memperhatikan, pemain piano tersebut menoleh ke belakang, tatapannya bertemu dengan Sivia.
Dia tersenyum.
Sivia balas tersenyum sambil menyapa, “Hai!”
“Hai!”
Sivia memperhatikan cowok itu dari atas sampai bawah. Pakaiannya sangat rapi, rambutnya juga dipotong pendek di atas kerah. Sangat kontras dengan Sivia yang berantakan. “Tipe murid baik!” desahnya dalam hati.
“Eh, kau murid baru, ya?” tanya cowok itu. “Rasanya aku belum pernah melihatmu!”
Sivia tersenyum kecil. “Ya! Baru pindah hari ini!”
“kalau begitu, selamat datang!” katanya lagi.
Sivia mendesah. Dia tidak mau bergaul dengan murid seperti cowok di hadapannya itu. Terlalu membosankan.
“Nggak usah bersikap ramah!” tegas Sivia.
Kata-kata itu membuat si pemain piano kaget. “Kenapa?”
Sivia menatapnya tajam. “Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi, saat kau mengucapkan selamat tinggal padaku!”
Setelah itu Sivia membalikkan tubunya dan berjalan keluar dari ruangan.
Sementara itu Alvin, si pemain piano, tertawa perlahan. Baru kali ini dia bertemu cewek yang sikapnya lain dari yang lain.
Ketika bel tanda masuk berbunyi, Sivia melenggang masuk kelas dengan santai. Teman-teman sekelasnya menoleh ke arahnya dengan tatapan ingin tahu. Sivia yakin mereka pasti akan membicarakan dirinya seharian ini. Matanya melirik pakaian seragam yang dikenakan teman-teman perempuannya. Semua baju seragam dimasukkan ke dalam rok dengan rapi, dan di pinggang mereka melingkar ikat pinggang hitam serupa. Rupanya Mama Sivia telah memasukkan dia ke sekolah beretiket tinggi. Sivia jadi ingin tersenyum sendiri.
Pak Duta, guru wali kelas 3 IPA2, yang juga guru fisika, mengenalkan Sivia pada teman-teman sekelasnya.
“Ada yang mau kausampaikan, Sivia?” lanjut Pak Duta. Ia sudah tahu bahwa murid bari ini murid bermasalah.
Sivia menjawab dengan singkat. “Tidak!”
Pak Duta sedikit terkejut. “Tidak ada? Tidak mau menjelaskan tentang hobimu atau yang lainnya?”
Sivia memandang Pak Duta dengan tatapan bosan. “Tidak!”
“baiklah.” kata Pak Duta, menyerah. “Kau boleh duduk.”
Ketika Sivia berjalan ke arah tempat duduknya, Pak Duta melihat blus seragam Sivia yang setengah keluar dari roknya.
“Sivia!” katanya lagi. “Bisakah kau merapikan pakaian seragammu?”
Guru wali kelas yang cerewet sekali! keluh Sivia dalam hati.
Sivia menoleh ke arah Pak Duta, lalu dengan tenang sengaja mengeluarkan seluruh blus seragamnya dari roknya. Setelah itu dia duduk di tempat duduknya.
Pak Duta mendesah melihat tingkah laku murid barunya itu tetapi tidak mengatakan apa-apa. Tak berapa lama kemudian dia sibuk menjelaskan rumus-rumus di depan papan tulis. Sivia mendengarkan penjelasan tersebut sambil menguap lebar. Hari ini bakal lama sekali, pikir Sivia tidak tenang.
***
Pelajaran olahraga adalah satu-satunya pelajaran yang menarik minat Sivia. Dia tidak perlu merasa bosan mendengarkan rumus-rumus aneh di dalam ruangan sementara semua orang memperhatikan sang guru. Sivia lebih suka udara terbuka. Dan satu-satunya kesempatan hanya saat pelajaran olahraga. Dia memukul bola voli di tangannya keras-keras. Bola tersebut melambung tinggi ke daerah lawan dan jatuh tanpa ada yang bisa mengembalikannya. Sivia tertawa. Dia suka saat-saat seperti ini. Sivia menutup matanya dan menghirup udara segar. Setelah itu dibukanya mata dan tanpa sengaja tatapannya beradu dengan seseorang. Si cowok pemain piano itu memperhatikan dirinya dari lantai dua gadung sekolah.
Sivia tidak senang kalau ada orang yang diam-diam memperhatikannya. Dibalasnya tatapn cowok itu dengan sinis. Sivia mengalihkan pandangannya pada teman di sebelahnya.
“Hei!” katanya. “Kau tahu nama cowok itu?”
Temannya, yang memang agak takut dengan perangai Sivia, langsung menjawab, “Ya. Alvin!”
Sivia menatap cowok yang bernama Alvin itu sekali lagi dan memberikan tatapan peringatan padanya. Saat Sivia mendapat giliran untuk serve bola, dia melambungkan bola tersebut tepat ke arah muka Alvin.
Di lantai dua, dalam perjalanannya kembali dari toilet, Alvin tidak menyangka akan melihat si Rambut Merah yang ditemuinya tadi pagi di lapangan voli. Ia menatap gadis itu. Namun gadis itu marah dan melambungkan bola ke arahnya.
Sesaat sebelum bola tersebut mengenai mukanya. Alvin menghindar. Bola tersebut jatuh tak jauh dari tempatnya berdiri. kemudian dia mengambil bola voli tersebut dan menatap si Rambut Merah. Dengan tenang dilemparnya bola tersebut padanya sambil tersenyum, lalu masuk ke kelasnya.
Sivia dengan segera menangkap bola tersebut dengan wajah kesal.
***
Pulang sekolah, Sivia terkejut melihat ibunya sudah menunggunya.
“Jadi, bagaimana hari pertamamu?” tanya Mama tanpa basa-basi.
Sivia menatap ibunya tanpa ekspresi.
“Kau masih tidak mau bicara sama Mama?”
Sivia tetap diam.
“Mama mengerti kau sedih. Tapi setidaknya bicaralah pada Mama. Sudah hampir satu tahun kelakukanmu tidak berubah. Mama perduli padamu!”
“Benarkah?” tanya Sivia kamudian.
“Ya! Tentu saja Sivia! Bagaimanapun kau anak Mama!”
“Mama lebih peduli pada pekerjaan Mama daripada aku!” jawab Sivia ketus.
“Itu tidak benar!” kata Mama keras.
Sivia menatap wajah ibunya tanpa emosi. “Tentu saja itu benar! Itu sebabnya Papa pergi meninggalkan Mama!”
“Sivia! Cukup!”
“Mama ingin aku mengatakan perasaanku?” balas Sivia sambil berteriak juga. “Oke! aku tidak sedih, aku marah. Aku marah pada Papa karena dia meninggalkan aku, dan aku marah pada Mama karena membuatku tinggal di sini! Puas?”
Sivia berlari keluar sambil membanting pintu depan. Dia tidak mau lagi bertatap muka dengan mamanya hari ini.
Dua jam kemudian, Sivia menatap dirinya di cermin kamar mandi sebuah mal. Dia beru saja menindik hidungnya dengan anting-anting kecil yang di lihatnya beberapa saat lalu. Sivia yakin teman-teman sekolahnya akan sangat terkejut besok. Terus terang Sivia tidak perduli, dia memang tidak ingin bertahan lebih lama lagi di sekolahnya. Semakin cepat dikeluarkan semakin bagus. Biar saja Mama kalang kabut mencari sekolah baru.
Sivia keluar dari kamar mandi dan berjalan-jalan di dalam mal. Dia melihat toko musik dan memasukinya. Pandangan matanya jatuh pada sebuah CD dan dia mengambilnya. Tiba-tiba saja Sivia mendapat ide dan tersenyum. Dia akan membawa CD itu keluar dan sengaja dan membiarkan dirinya tertangkap. Pasti Mama akan sangat marah padanya. Siapa tahu hal itu juga bisa membuatnya dikeluarkan dari sekolah lebih cepat dari rencana semula.
Dengan langkah santai, Sivia keluar membawa CD di tangannya. Saat tiba di pintu kaluar, seorang satpam menghampirinya.
“Maaf,” katanya, “tapi Anda belum membayar CD yang Anda bawa!”
Sivia tersenyum manis. “Memang! Jadi kenapa?”
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan berkata, “Di sini kau rupanya!”
Sivia menatap orang yang menepuk pundaknya. Cowok itu lagi! Si pemain piano sekolahnya.
Alvin menatap Sivia sambil tersenyum. Dia sudah memerhatikan Sivia sejenak gadis itu memasuki toko musik. Dan dia tahu Sivia melakukan hal tadi dengan sengaja.
“Maaf, Pak!” lanjut Alvin. “Dia teman saya! Saya menyuruhnya membawakan CD ini ke kasir, tapi sepertinya dia keluapaan berjalan ke pintu keluar!”
Si satpam terlihat curiga. “Apa benar begitu?”
Saat Sivia mau bicara, Alvin langsung memotongnya. “Ya benar! Lagi pula kalau dia memang berniat mencuri CD, kenapa dia tidak memasukkannya saja ke tas biar tidak terlihat? Teman saya ini malah membawanya secara terang-terangan.”
Si satpam terdiam mendengar penjelasan Alvin. Di sampinya, Sivia benar-benarterlihat kesal. Dia tidak suka orang yang mencampuri urusannya. Tetapi sebelum Sivia berkata sesuatu, Alvin sudah mengambil CD di tangannya dan berkata lagi pada pak satpam.
“Kalau begitu saya bayar dahulu CD ini, Pak! Sekali lagi saya minta maaf” Alvin berkata dengan tulus sehingga mau tak mau pak satpan tersenyum padanya.
“Tidak apa-apa!” katanya.
Sivia menatap Alvin yang berjalan ka arah kasir. Saat kaluar dan menjahui toko musik, Sivia mencekal lengan Alvin, memaksa pemuda itu menghentikan langkahnya.
“Heh! Kurang kerjaan, ya?” teriaknya. “Untuk apa ikut campur urusan orang?”
Alvin tersenyum. “Seharusnya kau bilang terima kasih dan aku akan membalasnya dengan bilang sama-sama!”
Sivia berkacak pinggang sambil mengacung-acungkan telunjuknya. “Dengar, ya! Aku tidak suka orang sepertimu! Aku hanya akan memperingatkan sekali ini saja! Jangan ikut campur urusanku, atau kau akan menyesal!”
Sivia terengah-engah setelah berteriak pada Alvin. Ditatapnya Alvin yang hanya berdiri dengan tenang mendengarkan semua teriakannya.
“Heh! Denger tidak?” teriak Sivia lagi.
Alvin mengangguk.
Sivia memandang Alvin dengan bingung “Kenapa dia hanya diam seperti patung?” pikirnya.
“Kau ngerti maksudku nggak?” seru Sivia lagi.
Alvin mengangguk untuk kedua kalinya.
Sivia menjadi semakin bingung. “Mana suaramu? Kenapa sekarang kau cuma diam? mendadak bisu ya?”
Alvin menggeleng.
“Jadi kenapa diam saja sekarang?”
Alvin masih diam.
Benar-benar orang aneh, kata Sivia dalam hati. Tadi di toko musik biacara panjang-lebar, sekarang malah diam seribu bahasa.
“Kenapa? Kau sakit?” tanya Sivia, suaranya agak lembut.
Pertanyaannya itu sempat membuat Alvin terjekut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Pertanyaan itu sempat membuat Alvin terkejut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Sivia tidak mau melayani permainan Alvin lagi. Untuk terakhir kalinya ia mengancam, “Pokoknya aku tidak mau kau ikut campur urusanku lagi!! Awas saja!”
Setelah berkata demikian Sivia memutar tubunya, menginggalkan Alvin.
Alvin tersenyum kecil. Diandanginya CD yang ada di tangannya. The Sound of Music. Dia memasukkan CD tersebut ke tasnya lalu keluar dari mal. Tak berapa lama kemudian, Alvin memasuki rumah sakit yang jauhnya hanya 500 meter dari sana.
“Dari mana saja kau?”
Sang dokter menghampiri Alvin dengan wajah panik.
“Jalan-jalan!” kata Alvin.
“Alvin…,” kata dokter itu.
“Aku tahu tidak seharusnya aku kabur!” kata Alvin. “Tapi aku bosan sekali! Maafkan aku, Pa!”
Sang dokter yang ternyata ayah Alvin mendesah, “Tidak apa-apa! Lain kali kalau mau jalan-jalan bilang Papa dulu! Sudah makan belum?”
Alvin menggeleng.
Papa tersenyum sambil merangkul pundak putranya “Ayo, kita cari makan!”
Alvin mengikuti langkah papanya. Kalau dia tidak kabur dari rumah sakit, pasti dia tidak akan bertemu dengan si Rambut Merah. Alvin menyebutnya seerti itu sejak pertama kali bertemu dengannya. Kemudian dia tahu dari teman-teman sekelasnya bahwa si Rambut Merah itu bernama Sivia. Dia juga mendengar kekanak-kanakaan apa saja yang sudah diperbuat Sivia. Gosip memang menyebar dengan cepat.
Sewaktu Sivia marah-marah di mal tadi, Alvin benar-benar terkejut. Seumur hidup belum pernah ada orang yang berteriak di depannya. Pengalaman baru tadi membuatnya merasa asing sekaligus terkesan. Yang pasti bukan perasaan takut, tapi lebih pada perasaan senang.
“Apa yang membuatmu tersenyum-senyum seperti itu?” Suata papanya memasuki pikiran Alvin.
Alvin meneguk minuman di depannya.
“Siapa?” Papa bertanya seraya mengangkat alis.
“Teman sekolah!” jawab Alvin singkat. “Dia anak baru!”
“Kau mau membicarakannya dengan Papa?”
Alvin menggeleng. “Tidak! Nanti saja, bukankah sekarang waktunya pemeriksaan?”
Papa menatap jam yang ada di kantin, lalu mengangguk. “Ayo!”
Alvin sudah mengenal rumah sakit ini sejak kecil. Bisa dikatakan rumah sakit ini adalah rumah keduanya, karena sejak kecil ia sudah keluar-masuk rumah sakit. Alvin tak banyak mengenal kagiatan lain selain berobat, belajar di sekolah, les di rumah, dan sesekali ke mal.
Bunga mawar merah di taman rumah sakit mengingakannya pada rambut Sivia. Alvin tertawa kecil. Entah mengapa ingatan akan Sivia membuatnya lebih rileks dalam menjalani pemeriksaan.
***
Suasana kelab di malam hari tampak ramai . Sivia mengamati keadaan di sekelilingnya dengan bosan. Alasan satu-satunya dia berada di sini adalah karena tidak ingin pulang ke rumah dan berhadapan dengan ibunya. Suara musik yang sangat keras benar-benar sesuai dengan hatinya saat ini. Dinyalakannya sebatang rokok untuk melepas ketegangan. Sivia ingat ketika pertama kali mencoba merokok. Ia melakukannya sewaktu ayahnya pergi ke luar negri tidak berapa lama sesudah sidang perceraian. Karena belum pernah merokok, dia batuk-batuk sampai keluar air mata. Keesokan harinya dia malah mencoba mengisap dua batang rokok sekaligus. Lama-kelamaan Sivia mencoba segala jenis merek rokok yang ditemuinya, tetapi tidak ada satu pun yang bisa mengobati rasa sakit hatinya.
Hatinya nyeri luar biasa setelah kehilangan satu-satunya orang yang dia percayai. Dia tidak menyangka ayahnya akan setega itu meninggalkannya dengan Mama. Padahal Papa tahu dia tidak pernah aku dengan Mama. Mulai saat itu, Sivia tidak pernah lagi percaya pada siapa pun. Dia berhenti peduli pada orang-orang di sekitarnya. Dia juga berhenti peduli terhadap dirinya sendiri. Luka di dalam hatinya tidak kunjung sembuh.
Tiba-tiba pikirannya melayang pada kejadian siang tadi di toko musik. Rencananya pasti berhasil jika saja Alvin tidak menghalanginya. Ada sesuatu yang aneh pada diri Alvin yang tidak dimengerti oleh Sivia. Tapi pikirannya itu hanya singgap sejenak di benaknya, karena perhatian Sivia langsung beralih pada orang-orang yang bergoyang mengikuti irama musik. Dimatikannya rokok yang masih tinggal setengah, dan silangkahkannya kaki menuju lantai dansa. Selama satu jam dia bergoyang tanpa henti. Setelah puas, Sivia kembali ke tempat duduknya.
Seorang pria menghampirinya.
“Hai!” katanya. “Goyanganmu boleh juga.”
Sivia menoleh acuh tak acuh pada pria itu.
Si pria duduk di sebelah Sivia. “Mau ikut jalan-jalan denganku?”
“Tidak!” jawab Sivia ketus.
Si pria tersenyum menggoda. “Ayolah!” katanya. Tangan pria itu memegang tangan Sivia dengan lembut. “Kau pasti tidak akan menyesal!”
Sivia menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam.”Lepaskan tanganmu!”
Pria tersebut malah menggenggam tagan Sivia semakin erat. “Oh! Kau sok jual mahal! Tidak apa-apa, aku suka kok cewek yang tidak gampang menyerah!”
“Aku bilang jangan sentuh tanganku!!!!” teriaknya pada pria itu.
Sivia menarik tangannya dari genggaman pria itu lalu berdiri. Dilemparnya kursi yang tadi didudukinya ke arah pria itu. Si pria terkejut bukan main dan langsung menghindar. Kursi tadi bisa saja mengenai kakinya.
“Kau gila, ya????” tanya pria itu.
Sivia memandang pria itu tanpa ekspresi lalu berbalik dan melangkah pergi. Si pria yang tidak puas diperlakukan seperti itu merenggut baju Sivia, membalikkan tubuhnya sampai berhadapan dengan tangan siap menampar gadis itu.
“Kurang ajar sekali kau!” katanya kemudian.
Sivia menatap lurus pria di depannya. “Silahkan! Pukul saja aku!”
Si pria terpaku mendengar perkataan Sivia.
“Kenapa?” tanya Sivia lagi. “Ayo pukul! Semakin keras semakin baik!”
Si pria sudah nyaris menamparnya menjadi ragu mendengar perkataan Sivia yang terakhir tadi. Ia melepas cengkramannya di baju Sivia.
“Cewek aneh!” desis pria itu sambil berlalu dari hadapan Sivia.
Sivia sungguh berharap orang tersebut memukulnya tadi. Toh hal itu tidak akan bisa menandingi sakit hatinya. Kerumunan orang yang berada di sekitar Sivia terdiam. Saat Sivia melemparkan kursi ke arah pria tadi, semua mata memandangnya.
“APA!!!” teriak Sivia pada mereka. “Kalian mau memukulku juga?!! Ayo, pukul aku!”
Sivia berjalan ke arah penontonnya dan memandang salah seorang di antaranya, “Ayo, coba kaupukul aku!” Sivia mengatakannya dengan santai.
Si penonton malah beranjak darinya, dan perlahan-lahan kerumunan tersebut bubar. Sivia tertawa sendiri dan keluar dari kelab. Ketika melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ketika sampai di rumah, orang yang tidak ingin ia temui sedang menunggunya di ruang tamu.
“Dari mana saja kau?” teriak Mama saat Sivia memasuki rumah.
Sivia tidak menjawab.
“Apa itu?” tanya Mama lagi saat melihat anting-anting di hidung Sivia. “Kau menindik hidungmu?!”
“Ya!” kata Sivia enteng. “Keren, kan?”
“Mama mau kau melepaskan anting-anting itu sekarang juga!” Ibunya histeris.
Sivia tertawa sinis. “Yeah! aku juga mau Papa berada di sini! Tapi kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?”
Sivia berlari ke lantai atas, ke kamarnya.
“Sivia!” teriak Mama sambil menyusul Sivia ke lantai atas.
Sivia menerjang masuk ke kamarnya sambil membanting pintu di depan Mama dan menguncinya.
“Sivia! Buka pintunya! Mama belum selesai berbicara!” Ibunya menggedor-gedor pintu kamar Sivia dengan kencang.
“Tapi aku sudah selesai bicara!” balas Sivia.
Sivia duduk di kursi meja belajarnya dengan napas terengah-engah. Dan ia semakin kesal begitu melihat foto keluarganya. Dalam foto tersebut Papa memeluk Sivia yang masih balita; di sebelah Papa, Mama memegang tangannya sambil tersenyum. Salah satu kenangan bahagia yang diingat Sivia.
Gedoran di pintu kamarnya membuat Sivia kesal. Dibantingya foto tersebut ke arah pintu sampai pecah berantakan. “Pergi!!” teriaknya. “Jangan ganggu aku lagi!”
Seketika itu juga gedoran berhanti. Lalu terdengar langkah kaki menuruni tangga.
Sivia menatap wajahnya di cermin. Tampangnya sangat berantakan. Tangannya merogoh kantong celananya, mengeluarkan bungkus rokok. Diambilnya satu dan dinyalakannya rokok tersebut. Setelah rokok itu habis, Sivia naik ke tempat tidur dan tertidur tak beberapa lama kemudian.
Sebenarnya Sivia merasa bosan karena harus mengulang pelajaran yang sama di tahun ini, karena tahun kemarin dia tidak lulus ujian SMA. Mama benar-benar kecewa terhadapnya. Setelahberpikir matang-matang dan karena hotelnya membuka cabang baru, beliau pun memutuskan untuk pindah ke luar kota dan menyekolahkan Sivia di kota baru tersebut. Sivia tahu ibunya berharap awal yang baru dan lingkungan yang baru dapat membuatnya barubah.
Sivia berhenti di lorong kelas barunya.
“Jadi ini sekolah baruku!” katanya dalam hati.
Sivia tahu saat itu juga bahwa dia tidak akan bertahan lama. paling satu atau dua minggu. Tiba-tiba kupingnya menangkap suara merdu yang mengalun dari ruang di lorong itu. Suara piano itu sangat jernih dan indah, membuat Sivia bergerak mendekati.
Di dalam ruangan itu ia melihat seorang murid cowok sedang memainkan piano.
Setiap dentingan tuts piano yang dimainkan membuat perasaan Sivia berangsur tenang. Setelah lagu berakhir, Sivia terdiam sambil memandangi pemuda itu. Seolah merasa ada yang memperhatikan, pemain piano tersebut menoleh ke belakang, tatapannya bertemu dengan Sivia.
Dia tersenyum.
Sivia balas tersenyum sambil menyapa, “Hai!”
“Hai!”
Sivia memperhatikan cowok itu dari atas sampai bawah. Pakaiannya sangat rapi, rambutnya juga dipotong pendek di atas kerah. Sangat kontras dengan Sivia yang berantakan. “Tipe murid baik!” desahnya dalam hati.
“Eh, kau murid baru, ya?” tanya cowok itu. “Rasanya aku belum pernah melihatmu!”
Sivia tersenyum kecil. “Ya! Baru pindah hari ini!”
“kalau begitu, selamat datang!” katanya lagi.
Sivia mendesah. Dia tidak mau bergaul dengan murid seperti cowok di hadapannya itu. Terlalu membosankan.
“Nggak usah bersikap ramah!” tegas Sivia.
Kata-kata itu membuat si pemain piano kaget. “Kenapa?”
Sivia menatapnya tajam. “Kau akan tahu satu atau dua minggu lagi, saat kau mengucapkan selamat tinggal padaku!”
Setelah itu Sivia membalikkan tubunya dan berjalan keluar dari ruangan.
Sementara itu Alvin, si pemain piano, tertawa perlahan. Baru kali ini dia bertemu cewek yang sikapnya lain dari yang lain.
Ketika bel tanda masuk berbunyi, Sivia melenggang masuk kelas dengan santai. Teman-teman sekelasnya menoleh ke arahnya dengan tatapan ingin tahu. Sivia yakin mereka pasti akan membicarakan dirinya seharian ini. Matanya melirik pakaian seragam yang dikenakan teman-teman perempuannya. Semua baju seragam dimasukkan ke dalam rok dengan rapi, dan di pinggang mereka melingkar ikat pinggang hitam serupa. Rupanya Mama Sivia telah memasukkan dia ke sekolah beretiket tinggi. Sivia jadi ingin tersenyum sendiri.
Pak Duta, guru wali kelas 3 IPA2, yang juga guru fisika, mengenalkan Sivia pada teman-teman sekelasnya.
“Ada yang mau kausampaikan, Sivia?” lanjut Pak Duta. Ia sudah tahu bahwa murid bari ini murid bermasalah.
Sivia menjawab dengan singkat. “Tidak!”
Pak Duta sedikit terkejut. “Tidak ada? Tidak mau menjelaskan tentang hobimu atau yang lainnya?”
Sivia memandang Pak Duta dengan tatapan bosan. “Tidak!”
“baiklah.” kata Pak Duta, menyerah. “Kau boleh duduk.”
Ketika Sivia berjalan ke arah tempat duduknya, Pak Duta melihat blus seragam Sivia yang setengah keluar dari roknya.
“Sivia!” katanya lagi. “Bisakah kau merapikan pakaian seragammu?”
Guru wali kelas yang cerewet sekali! keluh Sivia dalam hati.
Sivia menoleh ke arah Pak Duta, lalu dengan tenang sengaja mengeluarkan seluruh blus seragamnya dari roknya. Setelah itu dia duduk di tempat duduknya.
Pak Duta mendesah melihat tingkah laku murid barunya itu tetapi tidak mengatakan apa-apa. Tak berapa lama kemudian dia sibuk menjelaskan rumus-rumus di depan papan tulis. Sivia mendengarkan penjelasan tersebut sambil menguap lebar. Hari ini bakal lama sekali, pikir Sivia tidak tenang.
***
Pelajaran olahraga adalah satu-satunya pelajaran yang menarik minat Sivia. Dia tidak perlu merasa bosan mendengarkan rumus-rumus aneh di dalam ruangan sementara semua orang memperhatikan sang guru. Sivia lebih suka udara terbuka. Dan satu-satunya kesempatan hanya saat pelajaran olahraga. Dia memukul bola voli di tangannya keras-keras. Bola tersebut melambung tinggi ke daerah lawan dan jatuh tanpa ada yang bisa mengembalikannya. Sivia tertawa. Dia suka saat-saat seperti ini. Sivia menutup matanya dan menghirup udara segar. Setelah itu dibukanya mata dan tanpa sengaja tatapannya beradu dengan seseorang. Si cowok pemain piano itu memperhatikan dirinya dari lantai dua gadung sekolah.
Sivia tidak senang kalau ada orang yang diam-diam memperhatikannya. Dibalasnya tatapn cowok itu dengan sinis. Sivia mengalihkan pandangannya pada teman di sebelahnya.
“Hei!” katanya. “Kau tahu nama cowok itu?”
Temannya, yang memang agak takut dengan perangai Sivia, langsung menjawab, “Ya. Alvin!”
Sivia menatap cowok yang bernama Alvin itu sekali lagi dan memberikan tatapan peringatan padanya. Saat Sivia mendapat giliran untuk serve bola, dia melambungkan bola tersebut tepat ke arah muka Alvin.
Di lantai dua, dalam perjalanannya kembali dari toilet, Alvin tidak menyangka akan melihat si Rambut Merah yang ditemuinya tadi pagi di lapangan voli. Ia menatap gadis itu. Namun gadis itu marah dan melambungkan bola ke arahnya.
Sesaat sebelum bola tersebut mengenai mukanya. Alvin menghindar. Bola tersebut jatuh tak jauh dari tempatnya berdiri. kemudian dia mengambil bola voli tersebut dan menatap si Rambut Merah. Dengan tenang dilemparnya bola tersebut padanya sambil tersenyum, lalu masuk ke kelasnya.
Sivia dengan segera menangkap bola tersebut dengan wajah kesal.
***
Pulang sekolah, Sivia terkejut melihat ibunya sudah menunggunya.
“Jadi, bagaimana hari pertamamu?” tanya Mama tanpa basa-basi.
Sivia menatap ibunya tanpa ekspresi.
“Kau masih tidak mau bicara sama Mama?”
Sivia tetap diam.
“Mama mengerti kau sedih. Tapi setidaknya bicaralah pada Mama. Sudah hampir satu tahun kelakukanmu tidak berubah. Mama perduli padamu!”
“Benarkah?” tanya Sivia kamudian.
“Ya! Tentu saja Sivia! Bagaimanapun kau anak Mama!”
“Mama lebih peduli pada pekerjaan Mama daripada aku!” jawab Sivia ketus.
“Itu tidak benar!” kata Mama keras.
Sivia menatap wajah ibunya tanpa emosi. “Tentu saja itu benar! Itu sebabnya Papa pergi meninggalkan Mama!”
“Sivia! Cukup!”
“Mama ingin aku mengatakan perasaanku?” balas Sivia sambil berteriak juga. “Oke! aku tidak sedih, aku marah. Aku marah pada Papa karena dia meninggalkan aku, dan aku marah pada Mama karena membuatku tinggal di sini! Puas?”
Sivia berlari keluar sambil membanting pintu depan. Dia tidak mau lagi bertatap muka dengan mamanya hari ini.
Dua jam kemudian, Sivia menatap dirinya di cermin kamar mandi sebuah mal. Dia beru saja menindik hidungnya dengan anting-anting kecil yang di lihatnya beberapa saat lalu. Sivia yakin teman-teman sekolahnya akan sangat terkejut besok. Terus terang Sivia tidak perduli, dia memang tidak ingin bertahan lebih lama lagi di sekolahnya. Semakin cepat dikeluarkan semakin bagus. Biar saja Mama kalang kabut mencari sekolah baru.
Sivia keluar dari kamar mandi dan berjalan-jalan di dalam mal. Dia melihat toko musik dan memasukinya. Pandangan matanya jatuh pada sebuah CD dan dia mengambilnya. Tiba-tiba saja Sivia mendapat ide dan tersenyum. Dia akan membawa CD itu keluar dan sengaja dan membiarkan dirinya tertangkap. Pasti Mama akan sangat marah padanya. Siapa tahu hal itu juga bisa membuatnya dikeluarkan dari sekolah lebih cepat dari rencana semula.
Dengan langkah santai, Sivia keluar membawa CD di tangannya. Saat tiba di pintu kaluar, seorang satpam menghampirinya.
“Maaf,” katanya, “tapi Anda belum membayar CD yang Anda bawa!”
Sivia tersenyum manis. “Memang! Jadi kenapa?”
Tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan berkata, “Di sini kau rupanya!”
Sivia menatap orang yang menepuk pundaknya. Cowok itu lagi! Si pemain piano sekolahnya.
Alvin menatap Sivia sambil tersenyum. Dia sudah memerhatikan Sivia sejenak gadis itu memasuki toko musik. Dan dia tahu Sivia melakukan hal tadi dengan sengaja.
“Maaf, Pak!” lanjut Alvin. “Dia teman saya! Saya menyuruhnya membawakan CD ini ke kasir, tapi sepertinya dia keluapaan berjalan ke pintu keluar!”
Si satpam terlihat curiga. “Apa benar begitu?”
Saat Sivia mau bicara, Alvin langsung memotongnya. “Ya benar! Lagi pula kalau dia memang berniat mencuri CD, kenapa dia tidak memasukkannya saja ke tas biar tidak terlihat? Teman saya ini malah membawanya secara terang-terangan.”
Si satpam terdiam mendengar penjelasan Alvin. Di sampinya, Sivia benar-benarterlihat kesal. Dia tidak suka orang yang mencampuri urusannya. Tetapi sebelum Sivia berkata sesuatu, Alvin sudah mengambil CD di tangannya dan berkata lagi pada pak satpam.
“Kalau begitu saya bayar dahulu CD ini, Pak! Sekali lagi saya minta maaf” Alvin berkata dengan tulus sehingga mau tak mau pak satpan tersenyum padanya.
“Tidak apa-apa!” katanya.
Sivia menatap Alvin yang berjalan ka arah kasir. Saat kaluar dan menjahui toko musik, Sivia mencekal lengan Alvin, memaksa pemuda itu menghentikan langkahnya.
“Heh! Kurang kerjaan, ya?” teriaknya. “Untuk apa ikut campur urusan orang?”
Alvin tersenyum. “Seharusnya kau bilang terima kasih dan aku akan membalasnya dengan bilang sama-sama!”
Sivia berkacak pinggang sambil mengacung-acungkan telunjuknya. “Dengar, ya! Aku tidak suka orang sepertimu! Aku hanya akan memperingatkan sekali ini saja! Jangan ikut campur urusanku, atau kau akan menyesal!”
Sivia terengah-engah setelah berteriak pada Alvin. Ditatapnya Alvin yang hanya berdiri dengan tenang mendengarkan semua teriakannya.
“Heh! Denger tidak?” teriak Sivia lagi.
Alvin mengangguk.
Sivia memandang Alvin dengan bingung “Kenapa dia hanya diam seperti patung?” pikirnya.
“Kau ngerti maksudku nggak?” seru Sivia lagi.
Alvin mengangguk untuk kedua kalinya.
Sivia menjadi semakin bingung. “Mana suaramu? Kenapa sekarang kau cuma diam? mendadak bisu ya?”
Alvin menggeleng.
“Jadi kenapa diam saja sekarang?”
Alvin masih diam.
Benar-benar orang aneh, kata Sivia dalam hati. Tadi di toko musik biacara panjang-lebar, sekarang malah diam seribu bahasa.
“Kenapa? Kau sakit?” tanya Sivia, suaranya agak lembut.
Pertanyaannya itu sempat membuat Alvin terjekut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Pertanyaan itu sempat membuat Alvin terkejut sejenak, sebelum ia akhirnya mengangguk.
Sivia tidak mau melayani permainan Alvin lagi. Untuk terakhir kalinya ia mengancam, “Pokoknya aku tidak mau kau ikut campur urusanku lagi!! Awas saja!”
Setelah berkata demikian Sivia memutar tubunya, menginggalkan Alvin.
Alvin tersenyum kecil. Diandanginya CD yang ada di tangannya. The Sound of Music. Dia memasukkan CD tersebut ke tasnya lalu keluar dari mal. Tak berapa lama kemudian, Alvin memasuki rumah sakit yang jauhnya hanya 500 meter dari sana.
“Dari mana saja kau?”
Sang dokter menghampiri Alvin dengan wajah panik.
“Jalan-jalan!” kata Alvin.
“Alvin…,” kata dokter itu.
“Aku tahu tidak seharusnya aku kabur!” kata Alvin. “Tapi aku bosan sekali! Maafkan aku, Pa!”
Sang dokter yang ternyata ayah Alvin mendesah, “Tidak apa-apa! Lain kali kalau mau jalan-jalan bilang Papa dulu! Sudah makan belum?”
Alvin menggeleng.
Papa tersenyum sambil merangkul pundak putranya “Ayo, kita cari makan!”
Alvin mengikuti langkah papanya. Kalau dia tidak kabur dari rumah sakit, pasti dia tidak akan bertemu dengan si Rambut Merah. Alvin menyebutnya seerti itu sejak pertama kali bertemu dengannya. Kemudian dia tahu dari teman-teman sekelasnya bahwa si Rambut Merah itu bernama Sivia. Dia juga mendengar kekanak-kanakaan apa saja yang sudah diperbuat Sivia. Gosip memang menyebar dengan cepat.
Sewaktu Sivia marah-marah di mal tadi, Alvin benar-benar terkejut. Seumur hidup belum pernah ada orang yang berteriak di depannya. Pengalaman baru tadi membuatnya merasa asing sekaligus terkesan. Yang pasti bukan perasaan takut, tapi lebih pada perasaan senang.
“Apa yang membuatmu tersenyum-senyum seperti itu?” Suata papanya memasuki pikiran Alvin.
Alvin meneguk minuman di depannya.
“Siapa?” Papa bertanya seraya mengangkat alis.
“Teman sekolah!” jawab Alvin singkat. “Dia anak baru!”
“Kau mau membicarakannya dengan Papa?”
Alvin menggeleng. “Tidak! Nanti saja, bukankah sekarang waktunya pemeriksaan?”
Papa menatap jam yang ada di kantin, lalu mengangguk. “Ayo!”
Alvin sudah mengenal rumah sakit ini sejak kecil. Bisa dikatakan rumah sakit ini adalah rumah keduanya, karena sejak kecil ia sudah keluar-masuk rumah sakit. Alvin tak banyak mengenal kagiatan lain selain berobat, belajar di sekolah, les di rumah, dan sesekali ke mal.
Bunga mawar merah di taman rumah sakit mengingakannya pada rambut Sivia. Alvin tertawa kecil. Entah mengapa ingatan akan Sivia membuatnya lebih rileks dalam menjalani pemeriksaan.
***
Suasana kelab di malam hari tampak ramai . Sivia mengamati keadaan di sekelilingnya dengan bosan. Alasan satu-satunya dia berada di sini adalah karena tidak ingin pulang ke rumah dan berhadapan dengan ibunya. Suara musik yang sangat keras benar-benar sesuai dengan hatinya saat ini. Dinyalakannya sebatang rokok untuk melepas ketegangan. Sivia ingat ketika pertama kali mencoba merokok. Ia melakukannya sewaktu ayahnya pergi ke luar negri tidak berapa lama sesudah sidang perceraian. Karena belum pernah merokok, dia batuk-batuk sampai keluar air mata. Keesokan harinya dia malah mencoba mengisap dua batang rokok sekaligus. Lama-kelamaan Sivia mencoba segala jenis merek rokok yang ditemuinya, tetapi tidak ada satu pun yang bisa mengobati rasa sakit hatinya.
Hatinya nyeri luar biasa setelah kehilangan satu-satunya orang yang dia percayai. Dia tidak menyangka ayahnya akan setega itu meninggalkannya dengan Mama. Padahal Papa tahu dia tidak pernah aku dengan Mama. Mulai saat itu, Sivia tidak pernah lagi percaya pada siapa pun. Dia berhenti peduli pada orang-orang di sekitarnya. Dia juga berhenti peduli terhadap dirinya sendiri. Luka di dalam hatinya tidak kunjung sembuh.
Tiba-tiba pikirannya melayang pada kejadian siang tadi di toko musik. Rencananya pasti berhasil jika saja Alvin tidak menghalanginya. Ada sesuatu yang aneh pada diri Alvin yang tidak dimengerti oleh Sivia. Tapi pikirannya itu hanya singgap sejenak di benaknya, karena perhatian Sivia langsung beralih pada orang-orang yang bergoyang mengikuti irama musik. Dimatikannya rokok yang masih tinggal setengah, dan silangkahkannya kaki menuju lantai dansa. Selama satu jam dia bergoyang tanpa henti. Setelah puas, Sivia kembali ke tempat duduknya.
Seorang pria menghampirinya.
“Hai!” katanya. “Goyanganmu boleh juga.”
Sivia menoleh acuh tak acuh pada pria itu.
Si pria duduk di sebelah Sivia. “Mau ikut jalan-jalan denganku?”
“Tidak!” jawab Sivia ketus.
Si pria tersenyum menggoda. “Ayolah!” katanya. Tangan pria itu memegang tangan Sivia dengan lembut. “Kau pasti tidak akan menyesal!”
Sivia menatap pria di hadapannya dengan tatapan tajam.”Lepaskan tanganmu!”
Pria tersebut malah menggenggam tagan Sivia semakin erat. “Oh! Kau sok jual mahal! Tidak apa-apa, aku suka kok cewek yang tidak gampang menyerah!”
“Aku bilang jangan sentuh tanganku!!!!” teriaknya pada pria itu.
Sivia menarik tangannya dari genggaman pria itu lalu berdiri. Dilemparnya kursi yang tadi didudukinya ke arah pria itu. Si pria terkejut bukan main dan langsung menghindar. Kursi tadi bisa saja mengenai kakinya.
“Kau gila, ya????” tanya pria itu.
Sivia memandang pria itu tanpa ekspresi lalu berbalik dan melangkah pergi. Si pria yang tidak puas diperlakukan seperti itu merenggut baju Sivia, membalikkan tubuhnya sampai berhadapan dengan tangan siap menampar gadis itu.
“Kurang ajar sekali kau!” katanya kemudian.
Sivia menatap lurus pria di depannya. “Silahkan! Pukul saja aku!”
Si pria terpaku mendengar perkataan Sivia.
“Kenapa?” tanya Sivia lagi. “Ayo pukul! Semakin keras semakin baik!”
Si pria sudah nyaris menamparnya menjadi ragu mendengar perkataan Sivia yang terakhir tadi. Ia melepas cengkramannya di baju Sivia.
“Cewek aneh!” desis pria itu sambil berlalu dari hadapan Sivia.
Sivia sungguh berharap orang tersebut memukulnya tadi. Toh hal itu tidak akan bisa menandingi sakit hatinya. Kerumunan orang yang berada di sekitar Sivia terdiam. Saat Sivia melemparkan kursi ke arah pria tadi, semua mata memandangnya.
“APA!!!” teriak Sivia pada mereka. “Kalian mau memukulku juga?!! Ayo, pukul aku!”
Sivia berjalan ke arah penontonnya dan memandang salah seorang di antaranya, “Ayo, coba kaupukul aku!” Sivia mengatakannya dengan santai.
Si penonton malah beranjak darinya, dan perlahan-lahan kerumunan tersebut bubar. Sivia tertawa sendiri dan keluar dari kelab. Ketika melihat jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari.
Ketika sampai di rumah, orang yang tidak ingin ia temui sedang menunggunya di ruang tamu.
“Dari mana saja kau?” teriak Mama saat Sivia memasuki rumah.
Sivia tidak menjawab.
“Apa itu?” tanya Mama lagi saat melihat anting-anting di hidung Sivia. “Kau menindik hidungmu?!”
“Ya!” kata Sivia enteng. “Keren, kan?”
“Mama mau kau melepaskan anting-anting itu sekarang juga!” Ibunya histeris.
Sivia tertawa sinis. “Yeah! aku juga mau Papa berada di sini! Tapi kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita inginkan, bukan?”
Sivia berlari ke lantai atas, ke kamarnya.
“Sivia!” teriak Mama sambil menyusul Sivia ke lantai atas.
Sivia menerjang masuk ke kamarnya sambil membanting pintu di depan Mama dan menguncinya.
“Sivia! Buka pintunya! Mama belum selesai berbicara!” Ibunya menggedor-gedor pintu kamar Sivia dengan kencang.
“Tapi aku sudah selesai bicara!” balas Sivia.
Sivia duduk di kursi meja belajarnya dengan napas terengah-engah. Dan ia semakin kesal begitu melihat foto keluarganya. Dalam foto tersebut Papa memeluk Sivia yang masih balita; di sebelah Papa, Mama memegang tangannya sambil tersenyum. Salah satu kenangan bahagia yang diingat Sivia.
Gedoran di pintu kamarnya membuat Sivia kesal. Dibantingya foto tersebut ke arah pintu sampai pecah berantakan. “Pergi!!” teriaknya. “Jangan ganggu aku lagi!”
Seketika itu juga gedoran berhanti. Lalu terdengar langkah kaki menuruni tangga.
Sivia menatap wajahnya di cermin. Tampangnya sangat berantakan. Tangannya merogoh kantong celananya, mengeluarkan bungkus rokok. Diambilnya satu dan dinyalakannya rokok tersebut. Setelah rokok itu habis, Sivia naik ke tempat tidur dan tertidur tak beberapa lama kemudian.
Bila (puisi kak Febiola Novita)
Bila aku adalah Bulan
Dan bila kamu Matahari
Akankah ada waktu kita berjumpa?
Bila aku adalah doa
Dan bila kamulah jawabnya
Akankah selalu demikian adanya?
Bila aku adalah mimpi
Dan bila kamu adalah harap
Akankah kita melangkah bersama hingga tujuan?
Bila aku adalah tangis
Dan bila kamu adalah tawa
Akankah selalu kamu yang sembuhkan luka hati?
Bila aku adalah esok
Dan bila kamu adalah saat ini Akankah aku bisa membuatmu melihat ke depan....
...dan melupakan kemarin?
Dan bila kamu Matahari
Akankah ada waktu kita berjumpa?
Bila aku adalah doa
Dan bila kamulah jawabnya
Akankah selalu demikian adanya?
Bila aku adalah mimpi
Dan bila kamu adalah harap
Akankah kita melangkah bersama hingga tujuan?
Bila aku adalah tangis
Dan bila kamu adalah tawa
Akankah selalu kamu yang sembuhkan luka hati?
Bila aku adalah esok
Dan bila kamu adalah saat ini Akankah aku bisa membuatmu melihat ke depan....
...dan melupakan kemarin?
3600 Detik (versi Alvia)
Aku benci hidupku!!!
Sivia berteriak dalam hati sambil memandang langit-langit ruang olahraga. Dia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana. Yang jelas, dia sudah membolos pelajaran sejak tadi pagi. tangan kanannya memegang sebatang rokok. Dia merokok sambil duduk di tepi jendela, mencoba mengingat sudah berapa banyak rokok yang diisapnya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Terus terang dia tidak ingat, sama seperti dia tidak ingat sudah berapa banyak sekolah yang dia masuki sejak tahun lalu. semuanya tidak pernah bertahan lebih dari sepuluh hari.
Sivia sudah tidak pernah mau memedulikan apa pun lagi semenjak ayahnya bercerai dengan ibunya setahun lalu. Padahal dia sangat dekat dengan ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu kalau hubungan orangtuanya bermasalah. Jadi tahun lalu tanpa adatanda apa-apa sebelumnya, Papa menjelaskan bahwa dia ingin bercerai dengan Mama dan pergi ke luar negri.
***
Pada saat yang bersamaan, di tempat lain, Alvin berjalan memasuki panggung dengan langkah perlahan. Di depannya dewan juri melihatnya dengan seksama. Ratusan penonton berada di dalam gedung. Alvin membungkuk, memberi hormat pada para juri dan penonton. Lalu dia bergerak ke depan piano yang ada di tegah panggung. Alvin duduk dengan tenang dan mempersiapkan diri. Tangannya berasa di atas tuts. Dia menarik napas beberapa saat sambil menutup matanya. Saat matanya terbuka kembali, jarinya sudah mulai menekan tuts di hadapannya. Denting musik Canon In D – Pachebel terdengar ke seluruh gedung.
***
Dari dulu Sivia tidak pernah dekat dengan Ibunya. Mama sering tidak di rumah, sibuk dengan pekerjaan kantornya. Teman tempat berbagi cerita adalah Papa. Jadi ketika Papa pergi meninggalkannya, dunia Sivia banar-banar hancur. Orang yang paling dia andalkan selama ini telah pergi dari kehidupannya. Sivia menutup diri rapat-rapat selama dua minggu. Makan ia beli dari luar. Tidak bicara. Tidak sekolah.
Setelah dua minggu, Sivia mulai keluar dari kamar. Tapi pribadinya berubah total. Dia berangkat sekolah, tapi mulai membolos sekolah, belajar merokok, dan pergi ke kelab sampai dini hari.
Mamanya tentu saja marah besar. Tetapi apa pun yang dikatakan ibunya, Sivia tidak pernah mengindahkan. Dia tidak mau peduli lagi. Padahal dulunya Sivia adalah anak yang berprestasi dan peduli pada orang lain.
Sahabatnya mulai menjauhinya, dan Sivia pun harus meninggalkan sekolah lamanya karena sudah membolos semala lebih dari satu bulan. Sejak saat itu ibunya mencoba memindahkan putrinya ke sekolah lain. Tapi tidak ada satu pun sekolah yang pernah ditinggalinya lebih dari sepuluh hari. Para guru kewalahan menghadapinya. Diberi hukuman separah apa pun Sivia tetap tidak peduli, malah hal itu membuatnya lebih nakal lagi.
Pernah sekali ibunya mencoba membawa putrinya ke psikiater, tetapi psikiater tersebut juga angkat tangan. Sivia tidak mau bicara sama sekali. Sedikit pun tidak. Dia hanya menatap sang psikiater dengan pandangan kosong. Sma sekali tidak ada reaksi.
***
Alunan lagu yang dimainkan Alvin membuat semua penonton terpana. Mama dan papanya yang berada di antara penonton menatap anak mereka dengan bangga. Di atas panggung Alvin memainkan pianonya dengan serius. para juri terlihat mengangguk tanda setuju dan berbisik perlahan satu sama lain. Alvin menyelesaikan permainannya dengan sempurna.Dia bangkit dan memberi hormat kembali kepada para juri dan penonton.
***
Sivia menatap ruang olahraga sekolahnya yang sepi sambil menikmati rokoknya. Sudah pasti beberapa saat lagi para guru akan mencarinya. Sivia membuka kaca jendela ruang olahraga. Ia berniat untuk kabur dari sekolah. Sivia membuang sisa rokoknya ke luar jendela dan mengambil rokok baru dari sakunya. Ketika menyalakan korek api ia membuangnya sembarangan. Tanpa sengaja api korek itu mengena tirai jendela. Sivia yang tidak menyadari hal itu, tidak melihat ketika api perlahan mulai menjalar. Api dengan cepat mulai membakar tirai-tirai tipis itu.
“Oh! Sial!” gerutu Sivia.
Dia berlari menuju kamar mandi yang ada di sebelah ruang olahraga, dan mengambil ember. Tapi tak ada air di bak mandinya. Sivia panik. Ia pindah ke WC di sebelahnya. Sama. Baknya kosong. Akhirnya sambil mengumpat Sivia membuka keran air, dan menatap pasrah ketika kucuran yang kecil itu masuk ke ember.
***
Melihat asap yang mengepul dari ruang olahraga, para murid terkejut. Mereka langsung berlarian keluar dan mencoba membantu memadamkan api.
***
Tepuk tangan penonton terdengar sengat keras saat Alvin berdiri di depan panggung, menerima piala sebagai pemenang pertama Lomba Piano Nasional. Mama menangis bangga, sementara Papa tersenyum padanya. Alvin menyalami para juri sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia merasa senang telah menjuarai lomba yang diikutinya.
***
Api di ruang olahraga telah padam. Sebagian dinding ruangan terlihat gosong. Pak Kepala Skolah masuk ke ruang olahraga dan terkejut menatap ruangan itu. Lalu pandangannya jatuh pada Sivia yang sedang berdiri tenang dan bermaksud menyalakan rokoknya lagi.
“SIVIAAAA!!!!!” teriaknya.
Sivia berteriak dalam hati sambil memandang langit-langit ruang olahraga. Dia tidak tahu sudah berapa lama berada di sana. Yang jelas, dia sudah membolos pelajaran sejak tadi pagi. tangan kanannya memegang sebatang rokok. Dia merokok sambil duduk di tepi jendela, mencoba mengingat sudah berapa banyak rokok yang diisapnya. Bibirnya menyunggingkan senyum sinis. Terus terang dia tidak ingat, sama seperti dia tidak ingat sudah berapa banyak sekolah yang dia masuki sejak tahun lalu. semuanya tidak pernah bertahan lebih dari sepuluh hari.
Sivia sudah tidak pernah mau memedulikan apa pun lagi semenjak ayahnya bercerai dengan ibunya setahun lalu. Padahal dia sangat dekat dengan ayahnya. Dia sama sekali tidak tahu kalau hubungan orangtuanya bermasalah. Jadi tahun lalu tanpa adatanda apa-apa sebelumnya, Papa menjelaskan bahwa dia ingin bercerai dengan Mama dan pergi ke luar negri.
***
Pada saat yang bersamaan, di tempat lain, Alvin berjalan memasuki panggung dengan langkah perlahan. Di depannya dewan juri melihatnya dengan seksama. Ratusan penonton berada di dalam gedung. Alvin membungkuk, memberi hormat pada para juri dan penonton. Lalu dia bergerak ke depan piano yang ada di tegah panggung. Alvin duduk dengan tenang dan mempersiapkan diri. Tangannya berasa di atas tuts. Dia menarik napas beberapa saat sambil menutup matanya. Saat matanya terbuka kembali, jarinya sudah mulai menekan tuts di hadapannya. Denting musik Canon In D – Pachebel terdengar ke seluruh gedung.
***
Dari dulu Sivia tidak pernah dekat dengan Ibunya. Mama sering tidak di rumah, sibuk dengan pekerjaan kantornya. Teman tempat berbagi cerita adalah Papa. Jadi ketika Papa pergi meninggalkannya, dunia Sivia banar-banar hancur. Orang yang paling dia andalkan selama ini telah pergi dari kehidupannya. Sivia menutup diri rapat-rapat selama dua minggu. Makan ia beli dari luar. Tidak bicara. Tidak sekolah.
Setelah dua minggu, Sivia mulai keluar dari kamar. Tapi pribadinya berubah total. Dia berangkat sekolah, tapi mulai membolos sekolah, belajar merokok, dan pergi ke kelab sampai dini hari.
Mamanya tentu saja marah besar. Tetapi apa pun yang dikatakan ibunya, Sivia tidak pernah mengindahkan. Dia tidak mau peduli lagi. Padahal dulunya Sivia adalah anak yang berprestasi dan peduli pada orang lain.
Sahabatnya mulai menjauhinya, dan Sivia pun harus meninggalkan sekolah lamanya karena sudah membolos semala lebih dari satu bulan. Sejak saat itu ibunya mencoba memindahkan putrinya ke sekolah lain. Tapi tidak ada satu pun sekolah yang pernah ditinggalinya lebih dari sepuluh hari. Para guru kewalahan menghadapinya. Diberi hukuman separah apa pun Sivia tetap tidak peduli, malah hal itu membuatnya lebih nakal lagi.
Pernah sekali ibunya mencoba membawa putrinya ke psikiater, tetapi psikiater tersebut juga angkat tangan. Sivia tidak mau bicara sama sekali. Sedikit pun tidak. Dia hanya menatap sang psikiater dengan pandangan kosong. Sma sekali tidak ada reaksi.
***
Alunan lagu yang dimainkan Alvin membuat semua penonton terpana. Mama dan papanya yang berada di antara penonton menatap anak mereka dengan bangga. Di atas panggung Alvin memainkan pianonya dengan serius. para juri terlihat mengangguk tanda setuju dan berbisik perlahan satu sama lain. Alvin menyelesaikan permainannya dengan sempurna.Dia bangkit dan memberi hormat kembali kepada para juri dan penonton.
***
Sivia menatap ruang olahraga sekolahnya yang sepi sambil menikmati rokoknya. Sudah pasti beberapa saat lagi para guru akan mencarinya. Sivia membuka kaca jendela ruang olahraga. Ia berniat untuk kabur dari sekolah. Sivia membuang sisa rokoknya ke luar jendela dan mengambil rokok baru dari sakunya. Ketika menyalakan korek api ia membuangnya sembarangan. Tanpa sengaja api korek itu mengena tirai jendela. Sivia yang tidak menyadari hal itu, tidak melihat ketika api perlahan mulai menjalar. Api dengan cepat mulai membakar tirai-tirai tipis itu.
“Oh! Sial!” gerutu Sivia.
Dia berlari menuju kamar mandi yang ada di sebelah ruang olahraga, dan mengambil ember. Tapi tak ada air di bak mandinya. Sivia panik. Ia pindah ke WC di sebelahnya. Sama. Baknya kosong. Akhirnya sambil mengumpat Sivia membuka keran air, dan menatap pasrah ketika kucuran yang kecil itu masuk ke ember.
***
Melihat asap yang mengepul dari ruang olahraga, para murid terkejut. Mereka langsung berlarian keluar dan mencoba membantu memadamkan api.
***
Tepuk tangan penonton terdengar sengat keras saat Alvin berdiri di depan panggung, menerima piala sebagai pemenang pertama Lomba Piano Nasional. Mama menangis bangga, sementara Papa tersenyum padanya. Alvin menyalami para juri sambil tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Dia merasa senang telah menjuarai lomba yang diikutinya.
***
Api di ruang olahraga telah padam. Sebagian dinding ruangan terlihat gosong. Pak Kepala Skolah masuk ke ruang olahraga dan terkejut menatap ruangan itu. Lalu pandangannya jatuh pada Sivia yang sedang berdiri tenang dan bermaksud menyalakan rokoknya lagi.
“SIVIAAAA!!!!!” teriaknya.
Langganan:
Postingan (Atom)